Share

Terjebak Kebohongan Sendiri

“Mama mau update status bagi-bagi sembako?” tanyaku konyol. Sebenarnya, sambil menahan tawa. Mana mau Lolita turun ke lokasi bencana yang berlumpur itu.

“Ih, ya nggaklah! Mama mau turun juga ke sana, tapi nggak perlu di foto-foto. Kan membantu demi kemanusiaan, gak perlu dipemerkan, Pa.”

“Tumben,” celetukku, karena tak menyangka.

“Papa ih, kok ngomongnya gitu, sih?” Lolita mulai memasang wajah masamnya.

“Bukan begitu. Biasanya cekrek-cekrek, langsung update status.”

“Itu ‘kan kalau dapat hadiah dari Papa. Soalnya, suka geram sama mantan-mantan Papa yang selusin itu. Suka kepoin status Mama, deh.”

“Halah, mantan yang mana?” kilahku sambil beralih hendak ke kamar mandi.

“Itu, mantan Papa yang nikah sama pemilik TV swasta. Sama yang satunya lagi, punya salon langganan para artis itu.” Lolita terus berceloteh. Kalau soal mantan, aku malas menanggapi. Sudah tutup buku soalnya.

**

Seperti rencana, Lolita mendatangi korban bencana tanah longsor. Aku memberinya sokongan dana sebagai bantuan.

Sesuai keinginannya, ia tidak mengupdate status pemberian bantuan itu ke media sosialnya. Aku saja sampai sekarang masih bertanya-tanya, apa tujuan di balik rencananya itu? Tapi, ya sudahlah. Apapun alasan Lolita, yang penting dia tidak bertingkah macam-macam. Itu saja.

Paginya.

Aku bersiap-siap untuk pergi menyambangi dua perusahaan kecil di Sumatra. Persiapan sudah kulakukan sejak tadi, sebelum Lolita pulang. Sekarang, dia tengah membersihkannya diri.

“Papa Cuma dua hari ‘kan?” tanyanya sambil menekan-nekan rambut yang basah menggunakan handuk.

“Iya,” jawabku sambil sibuk berbalas pesan dengan seorang teman.

“Tadinya kalau mama gak ada acara, mama mau ikut juga,” ucapnya dengan nada sangat manja. Seperti biasa, ia mulai bergelayut di lenganku.

“Gak usah. Di sana banyak nyamuk.”

“Papa, ih. Di mana-mana ya memang banyak nyamuk. Di belakang sono juga banyak nyamuk.”

“Bukan begitu, Ma. Di sana ‘kan area perkebunan. Lagian, papa malas saja ngajakin Mama pergi jauh kalau persiapannya minim waktu. Mama barang bawaannya banyak.”

“Nah, di bilang begitu pun mama gak marah, kok. Pakai bawa-bawa nyamuk segala, kayak kesannya mama ini manja banget.”

“Iya, maaf, Sayang.”

Aku memeluknya untuk berpamitan.

“Kasih tau Tiara kalau papa gak pulang dua hari. Nanti pulangnya papa bawakan oleh-oleh untuknya.”

Aku meninggalkan sebuah kecupan di kening. Lalu, bergegas pergi. Lolita mengantarkan aku sampai di sisi mobil.

“Hati-hati ya, Pa? Kabari kalau sampai,” ucapnya mengingatnya.

“Iya,” balasku santai.

Mobil yang membawaku perlahan meninggalkan rumah mewah atas nama Lolita. Masih kulihat lambaian tangannya sebelum benar-benar menghilang terhalang oleh jarak pandang.

**

Debur ombak terdengar hingga puluhan meter dari bibir pantai. Angin pagi yang bertiup kencang menjadikanku malas untuk keluar dari hotel ini.

Kebetulan berhasil memboking sebuah kamar yang menghadap ke pantai. Di bagian belakang, dari balkon ini tampak ombak yang bergulung saling berkejaran.

“Teh hangat.”

Namira membawakan dua cangkir teh. Lalu, menyodorkan ke hadapanku. Aku menerima dan langsung menyerutupnnya pelan-pelan.

“Terima kasih, Sayang.”

Aku menariknya dalam pelukan. Dengan santai menunjuk objek yang sama di bibir pantai.

“Kelapa muda,” gumamnya.

“Nanti kita datang ke sana sambil jalan-jalan.”

Namira mengumbar senyum. Kemudian menelusupkan diri dalam dekapanku.

Ini hari kedua di kota yang sama. Hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat kota. Berada di pinggiran, hotel ini dikhususkan bagi para wisatawan.

Kemarin, aku dan Namira datang ke sini. Seharian hanya berkutat di dalam kamar. Sebab, aku lebih memilih melepas rindu pada wanita kedua ini dari pada harus melanglang buana di luaran sana.

Namira mengajukan protes pagi ini. Ia ingin ke area pantai dan aku memenuhinya. Dengan syarat, tidak membawa ponsel. Sebab, karena benda itu bisa menganggu keromantisan kami berdua.

.

“Mas Tama, kapan kira-kira kita datang ke sini lagi?” tanya Namira sambil menyuap es degan.

“Tenang saja, Sayang. Kita bakal sering ke sini. Lagian Cuma perjalanan satu setengah jam.”

“Janji jangan lama-lama, ya”

“Semoga gak banyak kesibukan.”

“Tapi gak adil, ah. Mbak Lolita saja di kasih uang banyak, masa aku nggak? Minimal banyakin waktu bersamaku sebagai gantinya.”

Kening mengeryit mendengar rengekan Namira. Perasaan akhir-akhir ini, aku tak pernah memberikan uang lebih kepada Lolita.

“Uang yang mana?” tanyaku heran.

“Itu, uang untuk bantuan korban longsor.”

Namira semakin memperlihatkan kekesalannya.

“Oh, itu ‘kan bukan Lolita yang pakai,” jawabku memberi alasan, tetapi memang benar adanya.

“Tapi keuntungannya untuk Lolita loh, Mas? Namira masih memprotes.

“Keuntungan apa?”

“Ck, beritanya ‘kan sudah sampai di mana-mana. Masa Mas gak paham bagaimanapun kelakuan istrimu itu. Biasa kan, semua yang dia lakukan Cuma pencitraan.”

“Maksudnya?”

“Lolita mungkin membayar orang untuk mengupdate beritanya ke publik. Sayang ‘kan kalau kegiatannya gak dipamer-pamerin.”

Aku mulai mencerna ucapan Namira.

“Bisa jadi, tapi bantuan itu memang Mas yang nyuruh, kok.”

“Tuh ‘kan, Mas Tama gak adil.”

“Tenang, ntar kamu dapat bonus dari batubara yang di Sumatera.”

“Serius?”

“Iya, Sayang.”

Tak ada protes lagi. Namira cukup mengerti jika diajak berbicara tentang ... uang.

**

Dua hari sudah cukup untuk merefresh otakku. Bersama Namira, membuat hari-hari terasa lebih hidup.

Aku membuka layar ponsel. Ada sebuah panggilan dari seorang yang kuutus untuk menggantikan aku ke Riau. Mengurus dua perkebunan di sana. Kuputuskan untuk menghubunginya nanti. Setelah sampai di rumah, karena aku harus mampir ke toko mainan.

Seperti janjiku pada Lolita, bahwa akan membawakan hadiah untuk putri kami, Tiara.

Dua buah boneka barbie, cukup sebagai penambah koleksi mainan Tiara. Aku sudah bisa menebak, bagaimana ekspresi gadis mungilku itu setelah melihat boneka favoritnya.

Kondisi rumah tampak lengang saat aku melangkahkan kaki memasuki rumah yang sudah dua hari aku tinggalkan. Seorang ART memberitahukan, bahwa Lolita dan Tiara sedang ada di kamar.

Aku memutuskan langsung memasuki kamar kami, aku dan Lolita. Begitu membuka pintu, tampak pemandangan yang menyejukkan. Tiara sedang belajar menghafal bacaan surat-surat pendek menggunakan ponsel Lolita.

Seketika, keduanya terkejut saat aku memasuki kamar.

“Papa ...!” teriak si kecil sambil meletakkan ponsel, lalu berlari. Aku menyambut kedatangan Tiara dengan merentangkan tangan. Kemudian, menangkap bocah berkuncit dua ini dalam pelukan.

Seperti biasa, wangi bedak bayi menguar dari tubuh Tiara. Aku menunjukkan dua boneka yang kemudian disambut dengan tawa riangnya. Ia segera melepas pelukan dan menjauhiku. Ia membawa mainannya ke karpet bulu yang tebal dan memainkannya di sana.

Lolita tampak menyeret koper yang tadi aku bawa. Ia meletakkannya di sudut ruangan. Kali ini, tidak kutemukan senyumnya, bahkan keriangan juga tak ia tampakkan sejak aku memasuki kamar ini.

“Papa kangen.”

Aku memeluknya dari belakang. Ia menepis. Tumben.

Ada apa dengannya?

Aku melepas pelukan karena Lolita terus meronta minta dilepaskan. Anehnya, ia sama sekali tak mengucapkan apa-apa.

“Kenapa, Ma?” tanyaku.

Lolita tak menjawab. Ia malah menjauh dan bergerak ke lemari, meraih handuk, lalu menyuruhku mandi.

“Kenapa, Ma?”

Aku menerima handuk darinya, kubawa duduk di atas ranjang. Memperhatikan setiap gerak Lolita yang sedang menyiapkan pakaian ganti.

“Ngomong dong, Ma!”

Tiba-tiba Lolita menoleh. “Aku tadi menelpon Roy di Riau,” ucapnya.

Roy, untuk apa menelpon ke sana? Aku mulai khawatir.

“Terus?” tanyaku berusaha santai.

“Tebak aja sendiri.”

“Lah, apa salahnya tinggal ngomong, sih?” Aku malas menebak-nebak. Padahal dalam hati sangat khawatir.

“Dia bilang Papa sudah pulang saat mama tanya di mana di mana.”

Syukurlah, Roy bisa dipercaya. Tak sia-sia membayarnya.

“Lalu?” tanyaku lagi.

“Papa ke mana?” Pertanyaan Lolita membuatku terheran-heran.

“Lah, Roy ‘kan sudah bilang kalau papa pulang. Ya dalam perjalanalah.”

“Mama nonton TV loh, Pa. Seluruh bandara di pulau itu di tutup dari pagi karena cuara buruk, hujan dan badai. Pertanyaan mama, Papa pulang naik apa, hah?”

Mati.

Melihatnya berkacak pinggang, mendadak nyaliku langsung menciut.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status