Waktu terus berjalan tak mengenal lelah, tidak peduli seberapa banyak hal yang telah dilalui, jika kehidupan belum waktu berakhir maka semua harus tetap dijalani, terlepas dari segala yang diakhiri paksa. Berbicara paksaan, bukankah hidup memang seharusnya dipenuhi paksaan? Konon katanya, lebih baik dipaksa dari pada dibiarkan agar semua berkembang karena terbiasa. Nyatanya, perkataan itu tidak mengenal kata 'terpaksa' yang hanya akan dijalani selama dipaksa, yang tentu artinya tidak akan pernah ada perkembangan yang diharap.Sama halnya yang dilakukan wanita berusia dua enam tahun lebih beberapa bulan, hidup yang selalu dipenuhi paksaan demi ekspektasi keluarga, demi harapan hidup lebih baik, dan kini memaksa diri lagi demi keinginan fana yang belum pernah dirasa atas nama penasaran. Tidak menyukai kehidupan sosial dan kebersamaan, tapi berlandaskan pada arti manusia adalah makhluk sosial, harus memaksa diri untuk hidup normal sebagaimana arti yang menjadi landasan banyak orang.Memi
"Fafa masih hubungi kamu?" tanya seorang wanita seraya meluruskan kakinya di balik selimut, bersandar santai ke kepala ranjang dengan memangku satu bungkus camilan asin berukuran besar, dan menunggu pria yang sedang mengatur sambungan televisi dengan internet tanpa kabel.Menoleh pria yang sedikit menunduk dan berjongkok di bawah televisi yang menggantung di dinding, menyipit matanya memperhatikan wanita di atas ranjang yang masih santai menyuap camilan. "Masih," jawabnya mengangguk dan kembali memfokuskan diri pada televisi. "Buat minta uang dan layanan ranjang, tapi enggak aku kasih. Uang dari mana dan buat apa juga," lanjutnya terdengar jelas di telinga si wanita."Layanan ranjangnya?""Aku tolak, aku sudah bilang tadi buat apa juga," tanggap si pria yang kembali menoleh ke arah ranjang tapi kali ini sambil berdiri. "Remot," katanya singkat dan mengulurkan tangan, menerima benda yang diberikan si wanita berjari lentik itu."Kok bisa gitu? Banyak orang bilang, cowok itu candu kalau
Sunyi, hampa, dan lebih dari kata hening suasana dalam ruang kerja yang terasa gelap meski cahaya banyak yang meringsak masuk. Banyaknya suara dari luar ruangan pun tidak cukup membuat wanita di balik meja kerja itu berkutik, hanya diam termenung seorang diri, memikirkan banyak hal secara berlebih meski kunci keluar sudah ditemukan. Terlampau khawatir pada banyak hal yang dirasa akan jadi menakutkan, yang dirasa akan jadi bumerang, dan yang dirasa akan jadi penyesalan tak berujung.Terputar lagi dan lagi percakapan ia dengan orang kepercayaannya sejak satu jam lalu, bermula dan kebencian bila harus membawa latar belakang, berlanjut menjadi rasa nyaman untuk jadi diri sendiri, dan haruskah diakhiri demi kembali pada keluarga yang sudah menunjukkan tanda membaik dengan mengorbankan segalanya?---"Apa benar kamu si bungsu dari perusahaan manufaktur terbesar di negeri ini? Si bungsu yang pernah dapat isu kabur dari rumah dan menyamarkan identitasnya?" tanya Nifa menurunkan tangannya yang
Kecanggungan yang tentu membuat Rana terdiam bingung, "Ran, kenapa tiba-tiba kamu mau berhenti? Okelah kamu belum tentu mau, tapi kenapa kepikiran begitu?" tanya Nifa memecah keheningan keduanya, hening yang diciptakan cepat dari kebingungan Rana dan kecanggungan Nifa."Kayaknya aku mau lanjutkan bisnis keluarga.""Hah?" tukas Nifa cukup keras, terkejut pada ungkapan sang pimpinan tim, "s-serius? Buat apa? Posisi kamu di sini sudah enak, Rana.""Ah sudahlah," pungkas Rana mengakhiri obrolan keduanya lalu bergegas menuju meja kerja, "balik kerja saja, Nifa," ucapnya lagi setelah duduk di kursi kerja yang tinggi itu, kursi serupa dan terasa seperti singgasana neraka yang panas dan memuakkan, penuh tuntutan dan pemaksaan."Enggak mau! Aku mau tahu alasanmu dulu," jawab Nifa menatap kesal Nifa dan menarik kursi di depan meja kerja itu, duduk dan merengut, "sekarang aku sebagai teman, bukan rekan kerja atau anggota tim," lanjutnya menegaskan situasi yang dirasa."Sete
"Gimana cara buktikan kasih sayang orang tua saat usiaku saja sudah hampir tiga puluh?" kata Rana pelan cenderung berbisik, hanya isak tangis yang sesekali terdengar lebih jelas dari pada perkataan itu."Enggak ada cara spesifik yang bisa kujelaskan, dan memang enggak ada cara ideal yang bisa diungkapkan," jawab Nifa menepuk pundak pimpinan tim dari tempatnya bekerja, "kalau kamu tanya alasannya, karena setiap orang tua punya cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayang. Sama kayak kamu, di saat banyak perempuan menunjukkan sedih dan amarah dengan tangis, dulu kamu tunjukkan perasaan itu dengan apa? Diam saja, kan? Ya itu caramu," lanjutnya menjelaskan dan memberi contoh, membuat Rana kian mengeratkan dekapan yang amat dibutuhkan kini.Eratnya dekapan yang jelas membuat Nifa untuk pertama kalinya merasakan sisi feminin dari seorang Kirana Zendaya, senguk napas tak sengaja dari tangis yang menyesakkan. Kirana memang sesekali menceritakan konflik keluarganya, betapa keras dan banyaknya t
Terdiam membisu seorang wanita menatap kosong ke benda pipih di atas meja kerjanya, perasaan hampanya terlihat jelas dari ekspresi datar yang kian menggelapkan ruang kerjanya. Boleh jadi, ruangan itu memang terang dari cahaya luar gedung dan cahaya area humas, tapi tidak cukup menerangkan nuansa yang mengikat kuat di dalamnya."Nak, iya bunda tahu selama ini salah, salah banget malah, sudah usir kamu, jadikan kamu musuh, biarkan kamu hampir mati di luar sana. Maaf sayang, maaf." Suara dari benda pipih di atas meja kerja terdengar lagi, walau mengacaukan hari yang baru dimulai, tapi enggan rasanya untuk memutus panggilan seperti yang pernah terjadi dulu.Telepon dari orang tua adalah salah satu musuh besar dan terberat dalam jiwa seorang Kirana Zendaya, katakan saja itu memang bagian dari kelemahannya, tapi bukan kelemahan karena rasa cinta, justru kelemahan karena rasa takut. Takut jika harus mendengar makian, amarah, dan sumpah serapah. Walau usia sudah hampir memasuki kepa