Share

(7) Rumah Den

Author: SyasaRanni
last update Last Updated: 2024-06-25 21:04:10

"Ya ... kalau gue jadi Rana juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa gue tolong orang yang enggak akrab sampai harus mengancam karir? Kan gitu, logika dasar saja, Kal," ujar seorang pria bersetelan celana pendek dan tanpa baju, setelan dasar untuk pria saat bermalasan di malam hari, "menolong orang itu pasti, tapi bukan berarti harus mengancam karir," lanjutnya sambil berbaring.

"Tapi wajar buat Rana begitu ke gue yang berstatus sebagai suaminya?" tanya Kal seraya bergerak mundur untuk bersandar ke dinding terdekatnya.

"Wajar saja menurut gue, kalian nikah juga karena tujuan masing-masing, kan? Kenapa lo jadi terpengaruh ke status pernikahan kalian? Itu memang resmi tapi enggak benar-benar mengikat kalian, kan?" sahut teman dari Kal, pria yang dikenal Kal sejak di bangku kuliah, Denandra Jamali.

Terdiam sejenak Kal saat mendengar ungkapan dari temannya, "lo benar, bisa jadi juga Rana berpikir kayak lo. Tapi, perilaku Rana begitu bisa bikin pertanyaan ke orang-orang, kenapa dia enggak mencoba buat bertingkah normal? Bertingkah kayak istri pada umumnya pas suami dipecat."

"Rana anggap lo sebagai suami kagak?" timpal pria yang akrab disapa Den.

Membisu Kal saat mendengar pertanyaan singkat itu, ada begitu banyak pertanyaan yang rasanya hampa dan asing. Kenapa diri ini jadi mempertanyakan perilaku Rana dalam pernikahan? Sejak kapan diri ini mempertanyakannya?

"Lo juga anggap Rana sebagai istri kagak?" sambung Den mengalihkan pandangan kosong Kal yang tertuju lurus pada pendingin ruangan, "pertimbangkan lagi saja keadaan, hati, dan pikiran lo."

"Hm," deham singkat Kal lalu berbaring di lantai kamar, "gue pulang besok," lanjutnya memberitahu bahwa ingin menginap.

Obrolan yang dengan cepat berakhir karena tanggapan singkat, dan tanggapan yang cukup menggambarkan pasrahnya diri pada suatu keadaan. Hening tercipta di antara kedua pria itu, saling berfokus pada ponsel dan pikiran masing-masing, tidak saling mengabaikan dan tidak juga saling peduli.

Sampai waktu terus berjalan, jarum jam terus berputar, dan keadaan terus bergulir pada setiap waktu. Malam yang sunyi perlahan menghilang, suara bising dan bunyi deru mesin terdengar bersahutan.

"Oi Kal ... Kalil."

Kaki di atas bokong dan kedua tangan yang memasang dasi cukup menunjukkan kesibukan, "hm ...," deham Kal menjawab panggilan atas namanya.

"Bangun oi bangun, gue mau berangkat kerja."

"Hm," deham singkat lagi Kal perdengarkan pada Den, begitu malas rasanya untuk sekadar membuka mata atau berpindah posisi, "jam berapa?" tanya Kal memaksa dirinya untuk duduk meski masih menundukkan kepala dengan mata terpejam erat.

"Sepuluh," jawab Den singkat, "gue mau ada rapat nanti habis jam makan siang, jadi agak santai tadi pagi," lanjutnya kemudian beralih ke cermin yang melekat di dinding, cermin berukuran sedang yang hanya memperlihatkan diri sebatas dada.

"Sepuluh?" sentak Kal terkejut dan dengan cepat mengangkat kepala sekaligus membuka matanya lebar, teralih pandangannya ke arah jam dinding dan membuat mulut spontan terbuka sedikit untuk menarik napas singkat, "mampus gue."

"Lo ke sini pakai mobil Rana, kan?" Melirik sedikit Kal pada Den yang terkekeh, "gue sudah coba bangunkan lo tadi jam enam, mau ajak beli sarapan tapi lo malah simulasi mati," sambungnya membuat Kal mengernyit, antara percaya dan tidak dengan ungkapan itu.

"Sudah sana lo balik, gue mau berangkat," ucap Den jelas mengusir Kal agar dirinya cepat berangkat, begitu pula dengan Kal yang terpaksa bergerak cepat untuk menuju mobilnya, dan membiarkan Den berangkat kerja.

Sepanjang hari yang begitu dahsyat membosankan terhias dengan aktivitas tidak berguna, kunci rumah yang tertinggal di tas kerja membuatnya tidak bisa pulang, bangun kesiangan dengan puluhan pesan teks, pesan suara, dan panggilan tak terjawab menghiasi ponsel. Kal tahu, sangat tahu jika dirinya dalam masalah karena sudah membawa mobil Rana dan mengabaikan panggilannya.

Berkeliling kota tanpa tujuan, mencari berbagai kesibukan demi menekan rasa lapar yang sudah bergemuruh dalam perut, hingga menghasilkan suara menyedihkan. Sampai Kal memutuskan berhenti di salah satu taman pinggir kota yang terbilang sepi, tidur lagi menjadi tujuannya saat pusing hasil dari menahan lapar mulai menggelora.

Belasan notifikasi dan undangan bermain gim terus berbunyi, tapi pikiran Kal kini hanya terfokus pada saat dirinya bertemu Rana nanti dan kondisi perut. Satu hari setelah dipecat, sungguh hari menyedihkan dan hari yang mengenaskan.

Berbaring Kal di bangku taman yang sepi ini, mengisi tengah hari hingga sore nanti dengan tidur atau setidaknya sampai rasa sakit kepala sedikit berkurang. Kosongnya pikiran membawa Kal pada kehampaan yang terpendam, membuat pria itu berusaha menghampiri kegelapan untuk menggapai segala imajinasi tidak terbatas.

***

Jingga sedikit ungu telah mewarnai sebagian langit, memperindah pemandangan bagi sebagian orang yang ingin memandangnya, dan memberi tanda bagi sebagian orang yang lalai pada waktu karena aktivitas harian. Sama halnya dengan seorang wanita cantik berpakaian formal, "loh sudah sore," ucapnya seorang diri dan terkekeh pelan, menertawakan dirinya yang sangat fokus pada berbagai laporan menjelang perilisan produk baru.

"Bu Rana, saya pamit pulang."

"Saya juga pamit ya, Bu."

"Saya pam ...."

"Iya, hati-hati di jalan," potong Rana pada anggota tim humas lainnya yang hendak berpamitan, senyum ramah Rana lakukan untuk mencegah omongan buruk yang akan didengarnya.

Walau dirinya tidak peduli dan tidak ingin tahu, tapi bukan berarti pula telinga tidak panas saat mendengar gosip tentangnya. Senyum ramah lain pun turut diterima Rana, sampai pada seorang anggota humas terakhir yang justru melangkah masuk ke dalam ruangan Rana, "kenapa?"

"Enggak pulang?" tanya orang yang juga Rana anggap sebagai asisten untuk urusan kantor, dan menjadi temannya bila tidak melibatkan urusan kantor. Sungguh harus dapat menempatkan diri dan membaca situasi.

"Sebentar lagi," jawab Rana acuh tak acuh sambil merapikan meja kerja.

"Kal ada di bawah deh kayaknya, tadi aku sudah turun terus lihat lampu mobil kamu menyala di parkiran belakang. Kal biasanya parkir di belakang, kan?"

Mengernyit Rana saat temannya berkata demikian, tapi jika memang Kal ada di parkiran belakang. Kenapa Kal tidak menelepon atau sekadar memberi kabar? Kenapa tidak memberitahu resepsionis atau satpam? Kenapa tidak langsung ke ruangannya?

"Kamu kenapa di parkiran belakang?" tanya Rana menolak dirinya untuk lengah pada keadaan.

"Aku kan memang suka parkir di belakang, tadi juga sudah enggak ada kerjaan jadi pengen pulang duluan, eh malah lihat mobil kamu menyala," jawab wanita bernama Nifa itu dengan santainya terkekeh, jawaban yang sontak membuat Rana teringat kebiasaan Nifa yang cukup bertentangan dengannya. Rana lebih suka parkiran bawah tanah, membuat mobilnya dapat terhindar dari panas dan hujan.

"Terus kamu naik lagi buat kabarin aku tentang itu?" Mengangguk pelan Nifa dengan senyum yang terukir tipis, "oh paham, biar aku enggak langsung pulang karena di belakang sudah ada yang jemput," kata Rana membuat Nifa mengangguk lagi.

"Ya sudah kalau gitu aku pulang duluan ya," ucap Nifa hendak bergegas keluar ruangan Rana, sebab tujuannya kembali ke atas untuk mengabari Rana telah tuntas. Tidak ada alasan khusus lain yang membuatnya harus lebih lama bersama Rana.

"Ayo turun bareng," ajak Rana kemudian berjalan di samping Nifa setelah menutup pintu ruangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gara-gara Teman, Rumah Tanggaku Berantakan   (152) Hasil dua pekan lalu

    "Intinya apa mau kamu dari kami?" pungkas Arhan sebagai penengah, memangkas habis niat berucap Fafa membalas ujaran Rana di tengah tangisnya yang mulai membasahi pipi."Aku cuma mau tetap bisa hidup karena sebatang kara di dunia, aku sadar enggak bisa terus membebani teman-temanku yang baik ini, tapi aku juga enggak mau bayi ini tumbuh tanpa sosok ayah," ucap Fafa menunduk dan mengusap perutnya."Kalau gitu, kita buat kesepakatan sebagai jalan tengah." Arhan berucap tegas dan menatap orang di ruangan itu dengan keyakinan yang jelas tersorot dari netranya, "kita tes paternitas alias tes DNA dulu buat anaknya Fafa. Jika hasilnya positif anak Kalil, maka Kalil akan ceraikan Rana dan menikahi Fafa untuk bentuk tanggung jawab. Dan untuk Rana jika itu anak Kalil, apa kamu akan tetap melanjutkan laporan hukum?"Terdiam sejenak Rana dan tersenyum masam seraya melihat suaminya, ia tahu kegugupan yang dirasakan Kalil, sebab Rana tahu betul perjuangan Kalil selama ini untuk menjadi

  • Gara-gara Teman, Rumah Tanggaku Berantakan   (151) Dua pekan lalu-3

    "Sudah selesai bercelotehnya?" kata Rana penuh penekanan yang berhasil mencekamkan suasana, menggelapkan keadaan, dan mengakhiri semua celoteh dan drama yang baru dibangun dari tiga wanita dalam satu geng itu, "kalau belum selesai, lanjutkan sampai puas.""Bacot," ketus Fafa melihat Rana dengan pandangan merendahkan, ketus yang membuat Rana hanya tersenyum simpul tanpa memberi ekspresi apapun.Bukan karena emosi sudah berhasil ditahan, bukan juga karena rasa lelah sudah menguasai hati dan pikiran. Hanya karena Rana tahu, masalah yang ia hadapi kini bersumber dari orang yang sebenarnya tidak setara, dari orang yang sebenarnya tidak bisa dijadikan saingan, dan dari orang yang akan selalu ingin jadi pemenang dengan sejuta keegoisannya yang bersifat permanen. Apa harus mengalah? Tidak, tapi hanya harus terus melawan tanpa benar-benar melawan."Balik ke topik saja, biar cepat selesai," pungkas Arhan berkata setelah saling terdiam satu sama lain, setelah tidak banyak kata yang

  • Gara-gara Teman, Rumah Tanggaku Berantakan   (150) Dua pekan lalu-2

    "Apa maksudmu ingin dapat uang tetap demi si bayi, dan hidup bahagia sama suami saya tanpa memikirkan biaya hidup? Tanpa berjuang bertahan hidup? Begitu?" sambung Jessica turut merasakan lelah dan emosi, membuat tekanan darahnya naik dan harus sering kontrol ke dokter kandungan demi menjaga kesehatan jabang bayi.Memang sial wanita bernama Fauziah Aini, pikir Jessica dalam diamnya usai turut mengungkapkan isi pikiran. Menjelajah matanya melihat bentuk kepala, rambut yang terurai, bentuk dan tekstur wajah, warna kulit, sampai aura hampa yang terpojok, rasanya sama sekali tidak ada yang bisa dicintai dari wanita ini. Kenapa bisa Kalil dan Tomi jatuh cinta sampai mengorbankan segalanya? Apa yang dilihat dari wanita pendendam tanpa sebab yang jelas? Beralih pandang netra Jessica melihat adik iparnya yang juga terdiam, lagi dan lagi pikirannya menjadi rumit hanya karena memikirkan cara lelaki memandang seorang Fauziah Aini."Yang bilang siap membebaskan Tomi asal aku mau tes pate

  • Gara-gara Teman, Rumah Tanggaku Berantakan   (149) Dua pekan lalu

    (Dua pekan lalu)"Ini serius kita mau ketemu mereka? Enggak bakal jadi masalah, Ran? Mereka pernah ke kantor yang tempat formal saja bisa gaduh, yakin?" cecar wanita bersetelan santai dengan kemeja biru muda dan celana hitam panjang, duduk di salah satu jok mobil belakang dan sedikit mencondongkan badan, bertanya pada wanita yang duduk di sebelah pengemudi.Pertemuan terakhir yang mendadak dan terpaksa, tidak menemukan banyak solusi karena rasa lelah satu sama lain. Anggapan untuk berpasrah pada tindakan pihak berwajib dan tenaga profesional lebih terdengar rasional, dari pada tentang menjaga nama baik keluarga, mempertahankan pernikahan, atau sekadar mengakhiri keadaan secara kekeluargaan.Anggapan tentang menjaga nama baik keluarga, apa yang harus dijaga bila media publik tetap memberi info yang benar? Apa yang harus dijaga bila saham perusahaannya saja tidak terganggu? Apa pula yang harus dijaga jika dari media publik, banyak orang yang jadi empati atas kejadian ini? Rasanya sepert

  • Gara-gara Teman, Rumah Tanggaku Berantakan   (148) Di rumah sakit

    Bisik dan obrolan pelan terdengar bersahutan, tidak bisa dikatakan bising tapi cukup ramai. Dari pria muda yang berbincang di depan perut membesar wanita muda, wanita yang terlihat merajuk dengan bersedekap dada dan rayuan kecil dari pria yang terkekeh ringan, celotehan kecil pria yang berandai bersama wanita dengan perut yang belum begitu besar, dan hal lain yang sebenarnya terlihat menarik dan romantis. Namun sayang sejuta sayang, suasana hati tidak cukup menyenangkan untuk berkata itu semua menarik, beratnya pikiran tidak mampu memikirkan perandaian yang begitu romantis, bila sadar pada fakta bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan hampa.Membisu seorang diri di kursi tunggu yang berbaris secara horizontal, melihat lurus ke salah satu ruang periksa dokter di rumah sakit. Hanya terpaku diam seolah ruang periksa dokter kandungan sangat lah menarik, hingga tidak adanya niat bermain gim dalam ponsel, menjelajah media sosial, membaca grup perpesanan, mengirim pesan, atau sekadar berte

  • Gara-gara Teman, Rumah Tanggaku Berantakan   (147) Kumpul lagi?

    Tok ... Tok.Cklek!Dua kali ketukan pintu terdengar jelas, belum juga Rana menyambut, pintu sudah terbuka dan cepat kembali tertutup setelah Kalil masuk. Beranjak Rana dari kursinya usai melihat sang suami lebih pilih untuk duduk di sofa, "kenapa? Kalau memang ada yang mau dibahas, kan bisa di rumah.""Fafa siap tes paternitas kandungannya." Terdiam membisu Rana mendengarnya, tidak terkejut dan tidak juga khawatir. Rana lebih dari pada terkejut dan khawatir, andai ada kata yang cocok untuk mengungkapkan perasaan kini, tapi itu hanya akan jadi hal tidak berguna. Sejak kapan ada hal yang benar-benar berguna di dunia ini? Semua hanya bersifat subjektif dan terbatas pada waktu."Gimana cara dia kasih tahu kamu?" tanya Rana berulang kali mengubah posisi duduknya, tidak ada kekhawatiran khusus tapi rasanya begitu gelisah untuk sekadar tenang. Ingin membuat rencana baru lagi, ingin memperkirakan hal terjadi tanpa rencana agar bisa bersiap diri, tapi harus apa? Mulai dari mana? Dan bagaimana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status