Share

Bab 3. Dibentak

"Hanin ... Buka pintunya!" Aku terperanjat kaget mendengar teriakan di luaran sana. Aku tahu siapa yang datang, mertuaku.

"Sebentar, Bu," sahutku berjalan setengah berlari.

Kret!

"Dasar menantu tidak tahu diri, kenapa kamu usir anak saya? Hah? Jawab? Makin hari saya lihat, kau makin k*r*ng ajar ya." serang ibu.

Tanpa ucapan salam, tanpa masuk ke dalam rumah, dan tanpa bertanya lebih dahulu, dia mencercaku dengan entengnya.

"Ngusir siapa maksud ibu? Kenapa ibu berkata demikian? Masuk dulu, Bu. Nggak enak diliat orang," usulku.

"Di sini saja, biar orang-orang tahu kamu itu istri macam apa."

"Kamu masih nanya siapa? Siapa lagi kalau bukan Dennis, kamu usir Dennis dini hari 'kan? Kamu sakit hati perihal uang arisan saya? Iya? Hah? Jawab?" Matanya melotot tajam bak ingin menerkamku.

"Aku tidak ada mengusir Mas Dennis, Bu. Semalam malah dia yang berpamitan keluar rumah. Aku cuma protes karena dia nggak ada waktu buat main sama anak."

"Wajar dong dia bilang capek. Dia kan kerja. Kalau kamu ngapain? Jadi, nggak sok bermuka dua kamu. Lihat saja, kamu akan tahu akibatnya. Ingat, kamu itu cuma istri. Bertemunya juga pas anak saya sudah lulus sarjana."

Lagi dan lagi, dia menuduh tanpa bukti, hanya mengandalkan ucapan yang keluar dari mulut anaknya itu.

"Jadi Mas Dennis nginap di rumah ibu, padahal ada penghuni di sana yang bukan mahromnya, Astagfirullah, Mas," gumamku membathin.

Di luar sana tampak Mbak Gina dan Mbak Sinti berdiri di halaman rumahku. Mungkin karena sikap ibu yang berteriak memakiku di ambang pintu. Aku malu diliatin tetangga dengan kejadian seperti ini.

"Lantas apa bedanya dengan aku, Bu. Aku juga dibesarkan dengan penuh perjuangan oleh orang tuaku, disekolahkan juga sampai sarjana. Apa bedanya?" Aku membela diri. Tak rela rasanya tak dianggap seperti ini.

"Ngejawab aja kamu, itu mah saya nggak mikir. Orang kamu nggak punya, bapak 'kan?"

"Cukup, Bu. Ibu boleh menghinaku, tapi bukan berarti ibu jangan menghina orang tuaku." Jantungku berdegup kencang, dada ini terasa sesak, mataku seketika memanas, kembali bulir bening ini membasahi bola mataku, bibirku bergetar, seumur perkawinan baru ini aku menjawab kata-kata mertua. Ini sangat perih bagiku.

"Nangis saja terus, air mata buaya, huuhhh." Ibu mertua pun pergi meninggalkan rumah kontrakanku. Dia melenggang bahagia, dengan menangis terisak aku mencoba membaca gerak-geriknya seperti ada sesuatu yang dia rencanakan. Kalau saja dia tidak menghina orang tuaku, takkan kubiarkan airmata ini tumpah lagi.

Selepas ibu pergi Mbak Gina dan Mbak Sinti pun datang menghampiri ku yang masih berdiri di ambang pintu.

"Han, boleh kami masuk?" tanya Mbak Gina dia tetangga di samping kanan rumahku. Sedangkan Mba Sinti adalah tetangga di samping kiri rumahku.

"Boleh, Mbak," jawabku sembari menyeka air mata.

"Silakan duduk, Mbak. Maaf seadanya,"

"Iya, tidak apa-apa Han,"

"Maaf, tadi kami tidak sengaja melihat kejadian tadi, hmm ... dan bukan bermaksud ikut campur juga."

"Mbak, hanya bisa berbagi pengalaman dan saran saja." Ujar Mbak Gina.

"Ujian dalam rumah tangga itu banyak, apalagi rumah tangga yang baru seumur jagung. Ujiannya berat, sangat berat. Daru segala sisi, dari mertua, dari keluarga mertua, dari keluarga kamu, sekalipun dari orang tua kamu, bahkan ujian yang paling berat adalah ketika yang menyakiti kita adalah suami sendiri."

"Mbak cuma bisa bilang, apa pun permasalahannya in syaa Allah akan ada jalannya. Berserah diri pada Allah, minta bantuannya pada yang Kuasa agar hati mertua dan suamimu dibukakan untuk menjadi pribadi yang lebih baik." tambahnya lagi. Aku hanya tertunduk mendengarkan wejangan dari Mbak Gina, dia sudah menikah lebih dari dua puluh tahun pasti sudah banyak ujian dan rintangan yang dia hadapi, padahal aku melihat dia dan suami begitu romantis."

"Kalau Mbak cuma bisa bilang, teruslah bersabar jika memang masih ada dan kamu kuat. Sebisa mungkin ajaklah suamimu untuk berdiskusi mau dibawa kemana rumah tangga ini."

"Mbak, paham sangat paham, beban yang dipikul oleh seorang wanita tidaklah sedikit. Memutuskan menikah, meninggalkan orang tua, hormat pada suami tapi perlakuannya menyakitkan belum lagi orang-orang yang ikut mendorong suami berbuat zolim. Tapi, jangan lupa selalu berserah diri selagi bisa berusaha, berusahalah."

"Mbak dan Mbak Sinti nggak enak hati mendengar pertengkaran yang terjadi di rumah kalian."

"Iya, Mbak. Makasih wejangannya, dan maaf udah membuat keributan di malam hari ataupun kejadian tadi. Aku merasa nggak enak hati, malu lebih tepatnya."

"Kami ngerti kok, Han. Kamu yang sabar ya," ujar Mbak Sinti.

"Kalau begitu, aku dan Mbak Sinti permisi ya, Han," pamit Mbak Gina.

Selepas Mbak Gina dan Mbak Sinti pulang, aku pun kembali berkutat di dapur kebetulan anak-anak juga masih tidur, sambil lewat jadi kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Hari aku memasak masih dengan menu yang sama seperti kemarin.

Selang satu jam, masakan pun jadi, rumah pun sudah ku sapu. Anak-anak pun sudah mandi dan makan. Tengah bermain dengan mereka, tiba-tiba ....

"Han ... Hanin ... Buka pintunya," teriakannya sudah terbiasa aku dengar. Aku berjalan setengah berlari membukakan pintu, Mas Dennis pulang.

Kret!

Baru saja pintu terbuka, tangan Mas Dennis sudah mendarat di pipi kananku.

Plak!

"Astagfirullah Al'adzim ..." Aku terpental saking kuatnya dia menampar.

Tangis anak-anakku pecah, apalagi tangisku. Rupanya mereka sudah berada di ambang pintu, menyaksikan aku di tampar oleh papanya sendiri.

"Sini!" Mas Dennis menyeret lalu menghempaskan tubuh ini di atas kasur tanpa beralaskan dipan.

"Mas, salahku apa? Kenapa kamu tampar? Ya Allah," ucapku lirih dengan airmata yang terus berderai.

"Nggak usah jadi istri sok polos kamu. Berani-beraninya membentak ibuku. Kamu siapa, hah?" tuduhnya. Sekilas aku menatap, matanya sungguh merah, rambutnya acak-acakkan, bau tubuhnya pun begitu menyengat.

"Kamu iri jikalau aku lebih royal dan loyal pada ibu? Iya! Hah? Kalau iri, sana cari uang sendiri. Jangan bisanya cuma kampung dan terima enaknya saja. Ibuku sudah banyak berjasa dalam hidupku, kamu harus ingat itu!" hardiknya.

Tuduhan apalagi ini? Aku juga dibesarkan oleh ibuku dengan banyak perjuangan," inginku melawan tapi mulut ini terkunci. Diluar sana Haseena dan Almeer menangis histeris, mungkin mereka ketakutan. Sambil meringis kesakitan, tamparan tadi juga masih terasa panas di pipi kananku. Aku beranjak berdiri untuk menemui Haseena dan Almeer yang masih menangis histeris di ruang tamu. Tapi ... lagi dan lagi, Mas Dennis mendorong hingga terjatuh ke kasur.

"Mau apa kamu, hah?" Amarahnya begitu bergejolak, tangan mengepal. Entah setan apa yang merasuki Mas Dennis.

Haseena dan Almeer masih saja terus menangis, hatiku makin tersayat mendengarnya.

"Ingat, sekali lagi kamu berani bentak ibu. Lihat saja, akan kubuat hidupmu semakin sengsar!" dia memukul pintu kamar lalu pergi. Terdengar deru mesin motornya, aku tidak tahu dia pergi kemana.

Seketika aku beranjak, lalu memeluk kedua buah hatiku. "Ya Allah, sungguh perih nasibku." Rasa penyesalan muncul dibenakku.

"Nak, doakan Mama biar dapat rezeki banyak. Biar kita nggak membuat orang lain susah, ya."

"I-iya, Ma." Jawab Haseena lirih dalam isakkan. Begitupun dengan Almeer, pandangan mengiba terlihat dari sorotan matanya.

Beberapa saat kemudian, "Ma, aku mau main." pinta Haseena, aku pun mengangguk.

"Yuk kita main, Nak." Kini barang mainan mulai lego, masak-masakan dan perintilan lainnya sudah berserakan di lantai. Sekalipun tubuhku menemani anak-anak bermain, hati hati dan pikiranku terus dihantui oleh kejadian tadi pagi, mulai dari ibu mertua hingga anaknya.

Sebegitu burukkah aku, hingga tak ada rasa empati ataupun simpati mereka. Aku berusaha ikhlas menjalani takdir berumah tangga dengan Mas Dennis yang serba kekurangan. Apa dia lupa siapa aku dulu? Panggilan Almeer membuyarkan lamunanku.

"Ma, tu." Almeer menunjuk ke lantai, dia baru saja pipis. Gegas aku mengambil lap khusus melap pipis Almeer. Sesekali aku juga menemani Haseena ke kamar mandi untuk pipis. Siang pun menjemput setelah makan siang aku menidurkan Haseena dan Almeer seperti rutinitasku biasa.

Ketika mereka sudah tertidur lelap, baru bisa aku menarik napas sedikit. Beristirahat sebentar, meregangkan badan yang sebenarnya sangat penat. Hari ini matahari sangat terik memancarkan sinarnya, aku berharap kain jemuran ku kering semua. Maklum, aku masih mencuci dengan tangan tatkala istri-istri lainnya sudah mencuci dengan mesin. Aku tak mengeluh karena tahu bagaimana isi saku Mas Dennis.

Sekarang Mas Dennis bekerja sebagai marketing minuman, yang gajinya tak seberapa. Jika ibu mertua bilang Mas Dennis dapat kerjaan atas doanya dan andilnya mungkin saja, tapi aku juga turut andil dalam hal ini. Mas Dennis di terima dikarenakan yang merekrut karyawan baru adalah temanku semasa kuliah dulu. Dengan melobi dan meyakinkan, akhirnya temanku Merlin mau menerima Mas Dennis.

Aku memainkan gawai, ingin melihat apa ada yang memesan outer yang masih terpajang di story WA ku atau tidak. Berharap ada rezeki anak-anaku hari ini. Dan rupanya ...

[Han, ini berapa? Pengirimannya darimana?] begitu isi pesan dari Yanti teman SMA ku.

[Maaf, Yan. Baru bisa bales, baru pegang hp. Harganya 125rb, pengirimannya dari Jakarta. Kamu minat?] balasku. Yanti mengirim pesan sudah dari dua jam yang lalu.

Dari daftar histori chat, yang masuk hanya pesan dari Yanti. Setelah aku mengirim balasan, belum ada balasan balik dari Yanti. Aku pun berselancar melihat story WA temanku lainnya.

Mataku berbinar, tatkala melihat story WA Bang Gunaldi teman rekan kerjaku yang lama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status