Apa jadinya jika seorang pemimpin rumah tangga pelit memberi nafkah pada anak dan istrinya. Namun, begitu royal pada ibunya sendiri, dengan cuma-cuma begitu mudah membayar uang arisan ibunya ketimbang mencukupi kebutuhan makan anak istrinya. Apakah Hanindia memilih mempertahankan rumah tangganya atau sebaliknya, menyerah demi kewarasan fisik ataupun psikis.
View More"Mas, aku minta uang belanja dong. Stok lauk sudah abis di kulkas, hari ini aku mau beli ayam, kasihan anak-anak kalau sama telur terus makannya," ujarku pada Mas Dennis yang tengah mematut diri di depan cermin.
"Aku nggak ada uang, Han. Bukannya kamu sudah kukasih kemarin lima puluh ribu, dikemanain tu duit. Jadi istri jangan boros lah, sadar dikit kerja suamimu apa," protes Mas Dennis dengan raut wajah masam, aku bisa melihat gurat wajahnya yang masam dari pantulan cermin."Mas, kemarin aku nggak ada minta duit sama kamu. Kamu ngasihnya lima hari yang lalu, Mas. Itupun sudah kubelikan telur, kelengkapan bumbu, tahu, tempe, sayur, dan token listrik," protesku, tapi memang begitu kenyataannya."Halah ... udah pandai berbohong ya kamu sekarang. Yaudah goreng aja telurnya." Mas Dennis mengibas angin saat melewatiku. "Udah ah ... aku mau berangkat kerja. Lagian sok makan ayam segala, makannya pakai telur aja, lebih hemat. Aku yang kerja, malah kamu yang makan enak, 'kan lucu. Huuuh."Dia berlalu tanpa memikirkan perasaanku. Dia mungkin tidak sadar jika aku sering mendapati struck pembelian makanan siap saji di dalam saku celana Mas Dennis ketika hendak mencucinya. Dan, makanan siap saji itu tidak pernah sekalipun nampak wujudnya dimataku. Mas Dennis juga tidak pernah makan malam di rumah sekitar sebulan ini, dia selalu beralasan sudah makan di rumah ibu selepas pulang kerja."Tapi, Mas ... " sergahku. Aku berusaha untuk menjelaskan, sisi lain juga ingin kedua anakku mendapatkan makanan yang lebih layak dan berganti menu makanan, belum selesai mengutarakan isi hati, Mas Dennis sudah lebih dulu memotongnya."Apalagi?! Bosan aku lihat kamu yang nggak pernah hemat. Selalu protes dan mengeluh!" Suara Mas Dennis mulai meninggi.Detik kemudian, terdengar derap langkah seseorang. Aku sudah tahu siapa yang datang."Assalamu'alaikum, Dennis," salamnya. Aku sangat hafal suara itu. Siapa lagi kalau bukan ibu mertua. Dia pasti sudah melenggang masuk ke dalam rumah karena setiap pagi aku memang membukakan pintu biar udara sejuk di pagi hari lebih leluasa masuk ke dalam rumah."Waalaikumsalam, Bu," sahutku.Ibu dan Mas Dennis berpapasan di ruang depan, langkahku pun ikut terhenti."Den, ibu minta uang untuk arisan 200rb yah, uangnya harus disetor nanti siang." pinta ibu sambil menengadahkan tangan ke arah Mas Dennis, anehnya dia menyunggingkan bibirnya ke arahku."Lho, Bu. Bukannya baru kemarin aku kasih uang arisan sama ibu, kok minta lagi?" protes Mas Dennis."Itu lain lagi arisannya, Den. Sekarang arisan gang komplek, cepatan sini uangnya. Kamu nggak mau 'kan jadi anak durhaka cuma gara-gara nggak ngasih ibu uang arisan. Ingat lho, surga kamu di bawah kaki ibu, bukan istrimu apalagi anak-anakmu.Seperti terhipnotis, Mas Dennis pun dengan lancar mengeruk sakunya dan memberikan dua lembar uang seratus ribu pada ibu. Hatiku bagai disayat sembilu melihat kejadian ini. Bukan aku merasa iri dan dengki pada ibu, tapi dalam seminggu ini sudah tiga kali ibu meminta uang pada Mas Dennis untuk uang arisan."Udah ya, Bu. Dennis berangkat kerja dulu, doakan rezekiku semakin lancar." Mas Dennis pun meraih tangan ibu lalu mencium punggung tangannya dengan takzim."Iya lah, berkat doa ibu juga kamu sesukses sekarang, Den. Harusnya kamu banyak-banyak bakti sama ibu. Jangan kayak istrimu yang bisanya cuma nampung aja. Suruh kerja kek daripada di rumah terus," celetuk ibu."Iya, Bu. Dennis tahu itu."Mas Dennis berlalu tak lama kemudian terdengar deru mesin motornya dan perlahan hilang dari pendengaranku."Heh, menantu nggak tahu diri. Jangan harap kamu bisa menguasai uang Dennis. Ingat ya, kalau tidak karena jerih payah ibu membanting tulang dulunya, tidak akan mungkin Dennis sesukses sekarang," celetuknya, aku hanya diam tertunduk. Mau dilawan bagaimanapun dia tetap mertuaku. Ibu tidak pernah mengajariku untuk melawan apalagi menjawab dengan kasar orang lebih tua.Ibu mertua pun berlalu meninggalkan rumah dengan tampak sumringah. Daripada larut dalam kekecewaan aku pun bertolak ke dapur untuk memasak. Kebetulan kedua anakku masih tidur dengan lelap di kamar satu lagi.Bukan aku yang tidak ingin bekerja, tapi keputusan resign bukan inginku pribadi. Mas Dennis yang menyuruhku resign agar fokus mengurus rumah tangga dan anak. Tapi nyatanya kini malah menjadi boomerang untukku. Sambil memanaskan minyak, tanpa permisi dan izinku bulir bening jatuh membasahi pipi. Teringat kejadian tadi pagi yang begitu memilukan. Aku bukan tidak mau bekerja, tetapi anak-anak dengan siapa sementara aku bekerja.Selesai memasak aku meletakkan goreng telur dadar isi tahu dan sayur bening wortel di bawah tudung saji. Lalu kulanjutan berkutat dengan pekerjaan rumah lainnya, yaitu menyapu. Sembari menyapu ruang tamu tanpa sofa tamu ataupun karpet permadani, "Ma," panggil anak keduaku yang masih berusia 18 bulan namanya Almeer."Eh, adek udah bangun," sapaku, dia berjalan menghampiriku. Kusambut dia dengan berusaha senyum sumringah dibalik hatiku yang perih bagai disayat sembilu yang digoreskan oleh papanya anak-anak. Aku mengembangkan kedua tangan dengan posisi bertekuk lutut."Mandi yuk, Nak!" ajakku sembari terus menciuminya dan mengusap-usap bagian kepalanya."Iya," jawabnya dengan semangat hingga lesung pipi seperti ditusuk pena itu keliatan, dia mempunyai lesung pipi yang sama denganku. Hanya bedanya aku memiliki dua lesung pipi bulatan kecil kiri dan kanan. Sedangkan Almeer memiliki lesung pipi bulatan kecil sebelah kiri. Lainnya halnya dengan Haseena dia juga mempunyai dua lesung pipi tapi bulatannya lebih besar kurang lebih seperti Afgan Syahreza penyanyi terfavorit kaum hawa.Setelah memandikan Almeer aku pun menyuapinya makan dengan telur dadar dan sayur bening wortel. Alhamdulillah, makannya sungguh lahap. Betapa tidak kami paling sering makan dengan telur ketimbang lauk yang lainnya.Sebenarnya banyak kusyukuri ketika memilih fokus untuk mengurus rumah tangga dan terlebih anak. Usia Almeer memang masih 18 bulan tapi daya tangkap yang alhamdulillah bagus belum lagi dia bisa mengucapkannya secara langsung padahal aku melafalkannya satu ataupun cuma dua kali, meskipun hanya bagian belakang katanya saja.Sebelum makan sudah kuajarkan berdoa sebelum makan, dengan sigap dia mengangkat kedua tangannya, meskipun hanya kata 'him' yang jelas dia ucapkan dari "bismillahirrahmanirrahim"."Mama," suara panggilan berasal dari ambang pintu, putri sulungku bernama Haseena sudah bangun, dia berumur 3 tahun.Ketika Haseena berumur 9 bulan aku positif hamil, padahal melahirkan Haseena melalui proses Cesar. Kenapa bisa hamil? Alasannya karena Mas Dennis melarangku untuk memakai KB, IUd dan sejenisnya sedangkan aku aku dia tidak bisa diajak kompromi bila urusan ranjang. Feelingku mengisyaratkan ini pasti 'jadi' dalam waktu dekat.Dan ternyata memang benar, aku hamil mengandung Almeer, dengan perasaan campur aduk antara terima dan tidak. Mas Dennis cumanya hanya bisa menanam saham, tapi ketika urusan mengasuh anak ataupun bergantian tidur, jangan harap dia akan mau.Setelah memandikan Haseena dan menyuapinya makan. Kini kedua anakku sudah asyik bermain, mengambil gawai pipih di bawah bantal tidur yang sedari tadi tak kusentuh sama sekali dari bangun tidur selepas Subuh tadi. Aku berselancar di aplikasi berinisial I*. Fees story yang muncul pertama kali adalah akun online shop milik Hafizah, seketika muncul ide yang cemerlang dibenakku."Assalamu'alaikum, Fizah lagi sibuk nggak?" tanyaku ketika telepon sudah tersambung."Enggak begitu sibuk, kenapa Han?""Mau nanya, boleh nggak aku jadi reseller usaha outer kamu?" tanyaku pelan."Wah, Masya Allah, boleh banget malah Han." Terdengar sambutan riang dari Hafizah."Alhamdulillah, makasih banyak yah. Tapi ... sistem jualnya gimana, Zah?" tanyaku penuh rasa penasaran. Ini hal baru bagiku.Setelah menelepon kurang lebih setengah jam dengan Hafizah akhirnya aku mengerti bahkan sangat paham bagaimana sistem penjualannya. Allah itu memang baik, di saat seperti Allah memberi jawaban dengan cara lain.Tanpa menunggu lama, Hafizah pun mengirim beberapa foto outernya yang ready stok, tanpa mikir panjang aku pun memasang lewat status WA tentu saja kusembunyikan dari Mas Dennis dan rentetan keluarganya yang berteman denganku, termasuk rekan kerjanya, Mas Danang. Aku tidak ingin dia tahu dengan usaha jualan online ku ini.(khusus bab ini alurnya maju-mundur ya, reader)"Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Ma?" tanya Haseena, kulihat matanya sudah berkaca-kaca sedari tadi."Iya, Ma. Kenapa Papa dan Mama bisa bersatu lagi?" tanya Almeer antusias."Terus bagaimana dengan Tante Erlyn? Mereka jadi test DNA, Ma?" tambah Haseena lagi."Aku juga penasaran, Kak dengan Tante Lulu. Dia 'kan julidnya kebangetan, Ma. Gimana dia sama suaminya?" tanya Almeer lagi."Nah iya, Dek. Kakak juga penasaran tuh sama Tante Lulu? Kok ada ya orang punya mulut sejulid dia, heran ..." protes Haseena."Ya ada lah, Kak. Dari zaman behulak juga udah, ada." timpal Almeer. Mereka tawa mereka pecah. Terbahak-bahak yang begitu keras hingga mengundang Mas Dennis keluar dari kamar."Kalian lagi cerita apa, sih? Kok kayaknya seru banget?" timbrung Mas Dennis, dia memutar roda yang ada pada kursi rodanya."Nggak ada, Mas. Cerita lelucuan zaman dulu, zaman kamu tidak waras, Mas," ejekku sembari terkekeh."Astagfirullah, Hanindia ...." Mas De
"Nggak, Mas. Tadi yang ngantar Juliana dan Bu Minah bukan Julio. Kamu ingat 'kan Bu Minah, tetangga ibumu dulu, dia sudah pindah dua tahun lalu," aku masih berusaha menjelaskan pada Mas Dennis yang sudah berkawan setan, karena raut wajahnya suka memerah seperti bara api."Dia bohong, Den. Kamu jangan percaya, tadi ibu lihat sendiri selingkuhannya itu yang ngantar pulang," timbrung ibu dengan lantang diikuti dengan menyunggingkan ujung bibirnya."Aku berani sumpah, Mas. Aku tidak bohong sama sekali. Juliana barusan pergi, aku bisa minta dia untuk balik ke sini lagi kalau kamu tidak percaya," ucapku seraya terus meyakinkan Mas Dennis."Bu ... tolong jangan memperkeruh keadaan. Jangan memutarbalikkan realita sebenarnya. Jelas-jelas ibu lihat sendiri aku diantar Juliana dan Bu Minah tadi. Bahkan Ibu ikut mengobrol dengan Bu Minah dan juga Juliana. Ibu sebenarnya kenapa sih? Sampai segitunya memfitnahku!""Ngaku aja deh, Han. Nggak usah berselimut dusta gitu," timbrung Erlyn."Kamu lihat '
"Itu supir taksi online, Bu. Bukan ..."Belum selesai aku berbicara, lagi dan lagi ibu sudah memotongnya, "Haa ... apa? Supir taksi online? Hahahaha ..." tawa beraroma sindiran itupun pecah, "Mana ada maling yang mau ngaku. Kalau banyak maling ngaku, udah penuh tuh penjara.""Bu ... kasih aku kesempatan untuk jelasinnya, jangan seperti ini," pintaku lirih."Kesempatan apa? Kesempatan supaya kamu bisa nyakitin anak saya lagi? Iya? Oh ... tidak bisa Hanindia ..." Telunjuknya ikut bermain arah kiri ke kanan persis di depan wajahnya."Udah, Bu. Seret aja, Bu. Daripada ngelunjak nantinya, Bu," hasung Mbak Lulu. Aku pikir dia sudah beranjak dari sana."Assalamu'alaikum, Bu Iyum." Terdengar ucapan salam di belakang sana, aku sedikit terkejut melihat Bu Minah menyapa mertua yang baru saja keluar dari mobil. Wajahnya yang memerah dan amarah yang bagaikan bom yang siap meledak berubah dratis bahkan tiga puluh enam derajat celsius."Ibu Minah?!" pekik ibu kaget bukan main, terkesiap, dan terper
Rasaku berkecamuk, hatiku sakit, tapi melihat Haseena menangis seperti ini juga membuat ku semakin bersalah. Baru saja aku menghirup udara segar rasanya, berpikiran sedikit tenang.Ting ... Tung ... Ting ... Tung ..."Assalamu'alaikum,""Itu pasti Non Juliana, Ibu bukain pintu dulu ya, Han," aku mengangguk pelan."Ma ... Kakak mau pulang," Haseena terus saja merengek meminta pulang, kuseka air matanya yanh begitu deras membasahi pipi mulusnya. "Ma ..." panggil Almeer yang baru bangun dari tidurnya."Sini, Nak," kupeluk kedua anakku, air mata yang sedari tadi kutahan kini tumpah ruah juga akhirnya."Lho, Hanindia ... kamu kenapa?" aku menatap wajah Juliana dia tampak heran melihat kami bertiga berpelukan."Apa yang terjadi, Bik?" tanya Juliana pada Bu Minah yang sedang berdiri di ambang pintu."Haseena, pengen ketemu sama Papanya, Jul," jawabku pelan."Oooh ya sudah, nggak apa-apa, Han.""Kakak, mau pulang ya, Nak?" Juliana mengelus kepala Haseena, gadis cantik itu mengangguk dalam si
Ku sisir pandangan sampai bagian belakang mobil yang dikemudi Juliana hilang dari pandanganku, mengunci pintu lalu berjalan menuju kamar sekedar mengintip, dan rupanya mereka masih tertidur dengan lelap.Aku beranjak menuju ruang samping dapur yang digunakan khusus mencuci dan menjemur pakaian di sana. Aku ingin menemui Bu Minah karena masih penasaran dengan ucapan Bu Minah tadi soal Erlyn. Mumpung Juliana sedang berpergian aku pun tak melewatkan kesempatan bertanya lebih leluasa dengan Bu Minah. Design rumah Juliana terbilang unik menurutku, walaupun setiap ruangan tidak terbilang besar tetapi karena di design penuh cekatan makanya terlihat rapi dan tertata. Di lantai dasar ada dua buah kamar yang letaknya berdampingan, antara ruang tamu dan ruang tengah di"Bu ..." panggilku."Astagfirullah Al'adzim, Hanindia ... kamu bikin ibu kaget saja," Bu Minah terperanjat karena kaget sembari menepuk-nepuk dadanya dan tak henti beristighfar."Maaf, Bu. Nggak bermaksud ngagetin. Hmm ... itu Bu
Esok harinya ..."Eh, Han kamu nggak usah repot-repot," sergah Juliana dari belakang. Seketika ku hentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh ke belakang."Kamu udah bangun, Jul?" sapaku, "Nggak apa-apa, Jul. Udah kebiasaan aku juga kayak gini. Itu teh hangat udah kubikin untuk kamu sama roti selai coklat juga.""Ya ampun Hanindia ... Wah makasih, Han. Aku jadi nggak enak malah kamu siapin sarapan. Nggak usah repot-repot nyuci piring dan lainnya, Han. Lagian nanti juga ada yang beresin rumah, palingan Bik Minah bentar lagi juga datang," ujar Juliana."Bik Minah? Siapa tuh, Jul?" aku tetap melanjutkan mencuci piring dan sekawannya karena nanggung hanya tinggal beberapa biji saja."Orang yang bersihin rumahku setiap pagi, Han. Dia datang jam 6 pagi, nanti sebelum aku pergi kerja dia sudah pulang lagi, bentar lagi juga datang," ujar Juliana, gadis berkulit putih dan berambut sepanjang punggung itu."Memangnya kenapa, Han? Kok wajahmu kayak bingung gitu?" tanya Juliana heran sambil meng
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments