Share

Bab 2. Capek Katanya

Baru saja mendengar deru motor Mas Dennis masuk ke pekarangan rumah hingga akhirnya memarkir di teras, Haseena dan Almeer tidak berhenti bersorak kegirangan kalau Papa mereka sudah pulang bekerja. Kulirik jam dinding ketika hendak membukakan pintu, sudah menunjukkan pukul 21.00 malam.

Kret!

"Papa ... Papa, aku mau gendong," pinta Haseena dengan mengangkat kedua tangannya minta digendong Mas Dennis.

"Pa ... Pa ..." Almeer juga tak mau kalah.

"Udah ya, Nak. Papa capek mau tidur. Makan saja ini." Dia memberikan kantong kresek isi makanan pada Haseena lalu membuka hoodienya tanpa memedulikan Haseena dan Almeer dia pun bertolak ke kamar.

Sungguh panas netraku melihat sikapnya, itu anak-anaknya kenapa bersikap seperti bukan darah dagingnya? Capek katanya? Apa dia nggak mikir aku nggak capek ngurus anak sendirian 24 jam.

Geram melihat tingkahnya, aku pun menyusulnya ke kamar, "Mas, kamu pulang udah malam gini main dulu lah sebentar sama anak-anak. Nggak liat antusias mereka nyambut kamu pulang?" protesku. Rasanya lebih sakit ketika melihat Mas Dennis tidak menggubris anak-anak ketimbang perlakuan kasarnya padaku tadi pagi.

"Udah, ah ... jangan banyak bacot, aku capek nggak ada waktu buat main sama anak!" hardiknya, lalu kulihat dia menghenyakkan tubuhnya di atas ranjang, dengan lincah jarinya mengusap-usap benda pipih itu.

Melihat aku menyusul Mas Dennis ke kamar, Haseena dan Almeer langsung naik ke atas kasur.

"Yuk, nak kita keluar!" ajakku pada Haseena dan Almeer yang tengah asyik melompat-lompat di atas kasur.

Aku bertolak ke dapur membuka kantong kresek yang diberikan Mas Dennis tadi, rupanya ada makanan siap saji yang dia beli, tapi kenapa ini seperti sudah dibuka dan dimakan?

"Mas, ini kok seperti udah dibuka sama dimakan ya makanannya?" tanyaku langsung ke kamar, daripada menerka ataupun suudzon lebih baik kutanyakan langsung pada Mas Dennis.

"Emang sudah dibuka dan dimakan. Itu kelebihan malah karena ibu dan Erlyn sudah kekenyangan," jawabnya santai tanpa menoleh malah masih asyik memainkan gadgetnya.

"Ya Allah, jika tidak bersisa, mungkin tidak kamu bawa pulang kali ya, Mas?" gumamku membathin.

"Kenapa masih berdiri di situ? Mau protes, iya? Bersyukur dikit kenapa, untung masih kubawakan walaupun sisa," hardiknya.

"Ma, aku mau. Aku mau, Ma," Haseena dan Almeer merengek meminta makanan yang dibawa Papanya tadi. Aku pun mengambil dan memberikan sepotong ayam goreng crispy yang dibagi dua, setengah untuk Haseena dan setengah lagi untuk Almeer.

"Astagfirullah, padahal tadi pagi aku meminta uang untuk membeli ayam tidak dikasih, sekarang giliran makanan siap saji goreng ayam crispy untuk ibunya yang mahal malah dibelikan." Bulir bening membasahi pipiku lagi tanpa permisi. Sejak menikah dengannya, tak terhitung aku menangisi setiap kejadian yang tidak mengenakkan.

***

Denting jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam, aku pun mengajak Haseena dan Almeer untuk masuk ke kamar satunya lagi. Anak-anak terpisah tidurnya dari Mas Dennis karena dia merasa terganggu karena Almeer suka menangis minta susu tengah malam. Padahal tangisan Almeer tidak begitu keras, lagi pula aku juga yang bangun untuk membuatkan susu untuk Almeer.

Tidak butuh lama, lima belas menit kemudian anak-anakku sudah tertidur dengan lelap. Kembali mataku berkaca bahkan bulir bening ini tak mau diajak kompromi, hatiku hancur ketika menatap wajah kedua anak-anakku. Harusnya mereka dapat perlakuan baik, jika bisa mereka memilih tentunya anak-anakku ingin mempunyai orang tua yang benar-benar bertanggung jawab lahir dan bathin.

Kuambil gawai pipih yang selalu disimpan di bawah bantal, aku mulai mengecek apakah sudah ada yang memesan outer yang kupasang di story WA tadi. Aku pun juga tak lupa mengunci pintu, tentu aku lebih leluasa menjalankan jualan online ini. Pasti dia menyangka aku di kamar anak-anak cuma meninabobokan saja.

"Han ... buka pintunya. Ngapain sih dikunci segala," panggil Mas Dennis dengan terus mengetuk tanpa jeda. "Lagian ini kenapa pakai dikunci segala sih," terdengar dia menggerutu dari luar. Gegas aku pun menyimpan gawai pipih di bawah bantal, padahal ada beberapa teman ku yang sudah menanyakan harga outer yang ku pasang di story WA.

"Iya, tunggu sebentar," sahutku pelan. Takut anak-anak terbangun.

Kret!

"Lama banget sih buka pintunya, dasar lelet!" bentaknya.

"Aku lagi nidurin anak, takut kamu nyolonong masuk malah anak-anak nggak jadi tidur," jelasku. Tapi memang begitu faktanya karena pernah kejadian. "Lho kamu mau kemana, Mas? Rapi bener?" tanyaku penuh selidik.

Katanya capek, tapi yang kulihat sekarang dia sudah berpakaian rapi, pakai blues dan jeans panjang.

"Bukan urusan kamu, aku cuma ngasih tahu jangan dikunci dari dalam karena biarku bawa kunci sendiri."

"Katanya capek, kok malah pergi, Mas?"

"Udah, ah ... jangan banyak cincong. Lagian anak-anak juga udah tidur. Aku mau kemana, mau ngapain juga bukan urusan kamu. Ingat, itu lampu semuanya dimatiin biar hemat. Nanti aku juga yang kejer nyari duit buat kalian." cerocosnya seraya berlalu dari hadapanku.

Ini rumah tangga semacam apa? Aku punya suami tapi terasa janda. Anak-anakku juga seperti anak yatim, tak diperhatikan sama sekali. Jika tahu menikah sesakit ini dan serapuh ini tak mungkin aku akan memilihmu, Mas!

Kututup kembali pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Semenjak Mas Dennis protes karena Almeer selalu menangis tengah malam, aku lebih memilih tidur bersama dengan anak-anak ketimbang dia. Buat apa juga satu ranjang, bukankah aku tak berguna? Datang padaku jika terdesak urusan hasratnya saja. Selebihnya, aku patung yang tak bernilai.

Suara deru mesin motor Mas Dennis perlahan mulai hilang dari pendengaran, entah kemana dia malam-malam begini. Ah ... sudahlah tak berujung juga jika aku selalu sibuk memikirkan sikapnya yang tak berubah. Kuambil kembali gawai pipih, lalu membalas satu per satu chat yang masuk.

[Han, ini kira-kira muat nggak ya sama aku? Nggak masalah sih harganya, yang penting muat dulu?] isi pesan dari Telly temanku ketika kuliah.

[Muat Tell, kamu mau model yang ini?] balasku, body Telly memang sedikit berisi.

Tanpa menunggu lama, Telly pun membalas pesanku

[Yaudah aku model yang ini satu, sama model yang ini satu lagi. Mana nomor rekeningnya Han?]

Tanpa banyak drama dia langsung menunjukkan model outer yang diinginkan. Senyumku mengembang sempurna kala Telly menanyakan nomor rekening.

[Alhamdulillah, makasih yah Tell, kirim saja ke rekening a.n Hanindia Prita Bank CIMB Niaga Syariah nomor 45433373xxxx bajunya 250rb ongkir 20RB total 270rb yah Tell] jelasku rinci.

Centang dua birunya langsung aktif, berarti Telly memang standby.

[Oke, bentar aku kirim ya]

Alhamdulillah, dari dua helai baju yang dibeli Telly aku dapat untung 40rb karena satu helai baju aku memgambil untung 20rb, setidaknya bisa nambah-nambah untuk beli susu anak-anak ataupun keperluan mereka lainnya.

Sementara menunggu transferan dari Telly, aku pun membalas pesan yang masuk dari Cantika, temanku sewaktu SMP.

[Han, model ini berapaan?]

[125rb, Can] balasku.

Rupanya cantika juga langsung merespon pesan balasanku.

[Mahal ya, di dekat rumahku aja cuma 60rb motifnya sama. Kamu jangan banyak ngambil untung lah Han. Baru juga jualan, mana ada yang beli kalau begini. Mau jualan atau mau korupsi nih, Han?] ejeknya, disertai dengan emoji tertawa mengeluarkan air mata.

Deg!

Aku ternganga membaca pesan dari Cantika, isi pesannya sangat membuatku tersinggung. Kalau memang tidak mau beli juga tak perlu menghujatku juga. "Sabar, Han. Ini hanya kerikil dalam jual beli." Aku menguatkan diri.

[Yaudah, beli aja yang dekat rumah kamu, Can] balasku. Tak perlu juga aku menghujatnya balik karena hanya menghabiskan tenaga dan pikiranku saja.

Beberapa detik setelah membalas pesan dari Cantika, aku mendapat pesan dari Telly.

[Han, ini bukti transfernya ya. Ini juga alamat rumahku]

Ya Allah, aku sujud syukur baru juga beberapa jam memposting, Alhamdulillah sudah ada pembeli.

[Alhamdulillah, makasih banyak ya Tell. Besok ku kirimin resinya ya]

[Oke, Han]

Telly memang terbilang sukses sekarang, padahal dulunya dia dibesarkan dari keluarga sederhana. Tinggal diujung desa yang sangat terpencil. Allah memang bisa membolak-balikkan kehidupan seseorang. "Semoga suatu hari nanti hidupku dan juga anak-anak menjadi lebih baik, Ya Allah," harapku dalam hati.

Tanpa terasa kulihat jam di gawai pipih sudah menunjukkan pukul 00.30 tapi belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Dennis. Kemana dia? Aku takut dia balik lagi ke lubang hitam itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status