Home / Horor / Ibu Susu untuk Bayi Gaib / 5. Weton Kamu Apa?

Share

5. Weton Kamu Apa?

Author: Hayisa Aaroon
last update Huling Na-update: 2023-07-30 20:22:22

"Kenapa kamu tanya begitu?"

Nada suara Tumini yang terdengar ceria sedari tadi tiba-tiba menjadi serius, membuat Tini semakin dirongrong rasa penasaran. 

"Ahh ... enggak, Mbok De. Cuma saya kayak pernah lihat di mana gitu."

Tini tak menuturkan apa yang dilihatnya, ia sendiri tak terlalu yakin dengan itu.

"Yo cuma mirip aja mungkin." Suara Tumini kini kembali menjadi ceria. "Tuan Ario nggak punya kembaran. Orang beliau aja anak tunggal."

Tumini pun kembali sibuk memasangkan stagen, sementara Tini mengamati bagaimana Bibinya itu memasang jarik dengan sangat rapi, hingga kain bercorak motif sawat itu membalut indah tubuhnya. 

"Ini semua baru ya, Mbok De?" tanya Tini dengan memperhatikan motif dua sayap yang terlihat baru tenunannya. 

"Iya. Nyonya Rini tuh baik banget orangnya. Makanya kamu jangan bikin Nyonya jengkel. Nyonya kan lagi hamil, jadi gampang marah."

Perempuan itu kemudian merapikan kebaya brokat hitam yang semakin mempercantik tampilan sederhana namun anggun itu. 

"Jan ...! Ayu tenan kowe, Tin ...!” seru Tumini sembari menata rambut Tini. “Abis luluran kamu tambah kinclong."

Tini pun bersemu mendapat pujian itu. "Opo lah, Mbok De. Wong cuma babu. Ayu opo. Nyonya Arini itu, ayu tenan."

“Kamu belajar nata rambut yang rapi, Tin. Pokoknya Nyonya Arini tuh suka sama yang rapi, wangi, cantik,” tutur Tumini seraya menyematkan tusuk konde dihias bunga cantik. "Nah … sudah, sana cepetan ke ruang tamu. Udah ditunggu sama Nyonya."

"Njihh ... matur suwun, Mbok De."

Tini pun kembali menyusuri koridor yang menuntunnya ke ruang tamu di mana Nyonya Aini terlihat sedang sibuk dengan buku kulit warna cokelat selebar telapak tangan.

Tini yang jalannya tersandung-sandung karena melangkah cepat sontak merenggut perhatian sang majikan. 

Untuk sejenak Nyonya Arini terpana dengan tampilan Tini, cukup puas dengan pembantu baru yang berpakaian sesuai perintahnya. 

"Duduk!" seru Nyonya Arini sembari mengedik ke arah lantai tegel di depan meja. 

Tini kemudian mencoba duduk, agak kesusahan dengan kain jarik yang terlalu ketat membalut tubuhnya. 

Namun lama ia menanti, majikannya itu tak kunjung selesai, sibuk dengan buku catatannya itu. Tini pun mulai mengantuk, rasa-rasanya ada tangan yang membelai kepalanya.

Berulang kali Tini mengusap rambutnya ke belakang, mencoba memahami sensasi hangat yang mengelus kepalanya. 

Punggungnya yang tegak karena stagen kencang kemudian merasakan seperti ada seseorang menempel. Tini sekuat tenaga mengabaikan itu, namun rasa itu benar-benar nyata.

Sementara Nyonya Arini sesekali memandang ke arah belakangnya. Entah apa yang dilihat perempuan yang masih berkutat dengan bukunya itu, seakan-akan ada orang lain di balik badan Tini.

"Kamu lahir hari apa?"

Suara serak perempuan hamil besar berbalut kebaya cantik warna putih itu mengalun dingin, menyentak Tini yang sedari tadi duduk bersimpuh di lantai tegel ruang tamu rumah bergaya joglo itu.

Setelah hampir setengah jam lamanya ia menanti, majikan barunya bersuara, namun pertanyaan tak umum justru didapatnya.

Perempuan yang sedari tadi was-was itu semakin dilanda kengerian yang tak dimengertinya. Ditambah lagi lantai tegel dingin dalam udara gerimis yang menyalurkan dingin menusuk sampai ke tulang, perempuan muda itu sampai tergagap menjawab.

"Jum'at, Nyonya ...!"

"Jum'at apa?"

Pertanyaan dari Nyonya Arini sontak membuat Tini mengangkat wajah, termangu menatap perempuan luar biasa cantik kisaran 30-an yang duduk di kursi tamu pelitur cokelat tua dengan bantalan busa putih.

Sorot mata sendu itu seakan memikul pedih yang tak tergambarkan oleh kata-kata, membuat Tini cepat-cepat menundukkan pandangan.

"Pertanyaan saya belum kamu jawab, Hartini! Apa kamu tidak paham? Kamu lahir Jum'at apa? Weton lahir kamu yang saya maksud."

Pertanyaan itu terdengar ketus, tak serasi dengan wajah ayu kalem dan gerak-gerik luwes perempuan kaya istri tuan tanah itu.

Sedangkan Tini tampak ragu, terngiang nasehat neneknya yang pernah berpesan bahwa tak boleh weton lahir diumbar kepada sembarang orang.

"Kamu baru satu hari bekerja di rumah ini sudah seperti ini Tini, tidak menjawab pertanyaan saya. Lebih baik kamu cari pekerjaan di tempat lain saja. Saya tidak suka pembantu yang bahkan tidak mau menjawab satu pertanyaan saja. Pergi kamu dari sini! Saya akan bayar satu jam kamu duduk di sini."

Lalu terdengar suara gemerincing koin, Tini sedikit mengangkat pandangannya dan mendapati perempuan bersanggul rapi itu memilah beberapa keping koin di tangannya.

Kini Tini dilanda bimbang akan bekerja pada perempuan yang terasa aneh itu. Entah mengapa ia ingin pergi, hatinya yang membisik demikian.

Namun di sisi lain ia benar-benar sulit mengelak tawaran gaji besar di tengah paceklik.

"Ngapunten, Nyonya ...," bisik lirih Tini dengan menangkupkan dua tangan, memohon maaf atas kelancangannya yang tak segera menjawab pertanyaan sang majikan. "Saya tadi hanya sedang mengingat-ingat weton saya. Karena saya agak lupa. Kalau tidak salah … Kamis Pon."

Lalu terdengar embusan napas kasar dari perempuan yang perutnya seperti sedang hamil kembar itu.

"Tadi kamu bilang lahir Jum'at, tapi sekarang bilang Kamis. Yang bener yang mana?!"

Perempuan berkulit kuning langsat mulus itu kemudian membanting koin di tangannya ke meja ukiran berpelitur cokelat gelap.

Entah apa yang membuat majikannya tampak begitu kesal, padahal sedari tadi perempuan itu hanya sibuk dengan buku saku yang sesekali ditandainya dengan pulpen tinta merah.

Bahkan buku bersampul kulit cokelat itu tak luput dibanting beserta pulpen yang menggelinding ke dekat Tini.

"Ngapunten Nyonya, saya hanya perempuan bodo!"

Tini yang masih duduk bersimpuh kemudian membungkuk dalam-dalam. Hawa di ruangan itu semakin berat saat perempuan itu meluapkan amarahnya, membuat Tini semakin ketakutan.

"Kamu memang bodonya bukan main. Sampai-sampai hamil saja tidak tahu siapa bapaknya!"

Kalimat itu telak menusuk rongga dada Tini dan tubuhnya yang masih membungkuk di lantai itu dengan cepat dirambati keringat dingin.

Tatapan perempuan kisaran 19 tahun itu seperti kosong, dan kelebatan malam nahas itu membuat setiap sendinya seakan hampir-hampir tak bisa menahan tubuhnya.

"Saya tidak suka dengan perempuan bodo. Apalagi yang pasrah saja diperlakukan laki-laki seenaknya sendiri. Kamu jawab jujur. Majikan kamu yang sebelumnya, yang bikin kamu hamil? Kenapa kamu tidak minta tanggung jawab? Malah kamu pulang kampung dan bikin malu ibu kamu yang sakit-sakitan itu. Tini ... Tini ...! Semurah itu harga diri kamu. Majikan kamu kasih uang berapa sampai kamu rela dibuang? Kalau saya jadi kamu, sudah saya bikin mampus itu laki-laki!"

Tini tak seberapa mendengar kata-kata majikan barunya itu sebab benaknya berkutat dengan trauma yang bergejolak.

"Terus, anak kamu sekarang umur berapa?"

Beberapa menit itu berlalu dengan keheningan, Tini masih berkutat dengan kenangan kelamnya, berusaha menyimpannya kembali rapat-rapat di sudut tergelap kepalanya.

"Tini!" jerit kesal sang majikan. "Kamu tidak budeg, kan? Baru di sini satu jam saja kamu sudah mau bikin saya sakit kepala! Saya tanya, anak kamu umur berapa?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   26. Mbak Jah dan Mbak Mur

    Tumini menghela napas panjang, duduk perlahan di tepi ranjang. Aroma bedak bayi bercampur dengan wanginya kemenyan yang masih tertinggal di sudut kamar. Suara gamelan dari acara di depan samar-samar masih terdengar."Lah, Tin ... kamu ini aneh-aneh saja pertanyaannya. Nyonya Arini itu ningrat, keturunan darah biru. Orang-orang kaya seperti mereka bebas tidak menyusui bayinya sendiri. Sekarang kamu istirahat dulu, Tin. Besok pagi kita bicarakan lagi soal kamu mau berhenti atau tidak. Tapi ingat, Nyonya Arini sudah percaya sama kamu. Itu hal yang tidak mudah didapat, terutama di keluarga kaya seperti ini."Sebelum Tini bisa berkata lagi, Tumini sudah lebih dulu berjalan tergesa ke pintu, “Mbokde ke depan dulu ya, Tin. Sebentar lagi acara selesai.”Kepergian bibinya yang tergesa-gesa membuat jantung Tini kembali berdebar kencang ditinggal sendirian di kamar yang terasa mencekam.Perempuan itu perlahan duduk, dengan hati-hati melepaskan hisapan sang bayi dari dadanya. Rasa lega seketika

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   25. Aku Mau Berhenti Kerja, Mbokde.

    "Tini," suara Tuan Ario membisik di telinganya, dalam dan lembut, diikuti kecupan dingin di bahunya. Namun tubuh Tini tetap membeku, tak dapat bergerak barang sedikit pun. "Aku bisa membuatmu kaya, tidak perlu susah payah bekerja. Kamu hanya perlu menerimaku."Keringat dingin mulai mengucur deras dari dahi Tini, menetes ke leher hingga membasahi kerah kebayanya. Ia ingin berteriak, ingin melepaskan diri saat merasakan tubuh itu semakin merapat di belakangnya. ‘Aku tidak mau,' batinnya sambil mencoba memberontak sekuat tenaga. Namun, setiap otot di tubuhnya terasa kaku, seakan ditahan oleh pelukan gaib."Aarrrhhh ...!" Jeritan melengkung keluar dari mulutnya tepat saat pintu kamar terbuka dengan bunyi derit pelan. Tumini, yang baru masuk dengan bayi dalam gendongannya, terlonjak kaget. "Duh ... Gusti ...!" serunya sambil mengusap dada, lalu buru-buru menepuk-nepuk pantat bayi yang mulai menangis. Sedangkan Tini, masih berdiri seperti orang linglung, menoleh ke belakang dengan waja

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   24. Hubungan Ibu Tuan Ario dan Lurah Sukardi

    Tini menatap ibunya dengan sorot mata penuh tanya. "Masalah apa yang si Mbok maksud? Apa hubungannya dengan Bapak?"Ibu Tini menghela napas panjang, ia mulai bercerita dengan suara pelan, nyaris berbisik, "Dulu, Bapakmu, Lurah Sukardi, bukan orang biasa, Nduk. Bertahun-tahun dia menjabat sebagai lurah, dan tidak ada yang berani jadi pesaingnya. Orang-orang takut. Baru setelah Mbah Kiai masuk ke desa kita dan menyebarkan agama Islam, baru itu … bapakmu mulai kehilangan pamornya."Tini mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdebar kencang. “Iya, Mbok … saya tahu itu. Lalu …? ” “Dulu, waktu si Mbok pertama kali dinikahi Bapakmu, Mbok kira karena kecantikan si Mbok. Tapi ternyata bukan hanya itu."Ibu Tini berhenti sejenak. Suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan, "Rupanya Lurah Sukardi butuh penerus untuk ilmu-ilmu yang diturunkan dari orangtuanya dulu. Sayangnya, istri-istrinya yang dulu tidak ada yang bisa memberi anak dengan bakat khusus. Yang tubuhnya kuat untuk jadi wadah il

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   23. Tangisan Bayi

    Tumini terkekeh mendengar jawaban Tini, suaranya bercampur dengan sayup-sayup alunan gamelan dari halaman depan. "Ya lihat-lihat dulu siapa yang dulu menghamili kamu, Tin. Kalau sama-sama jongos, ya Mbok De bisa bantu, minimal marah-marah lah, minta tanggung jawab. Nanti kita juga bisa minta bantuan Nyonya Arini. Tapi kalau yang hamilin kamu orang kaya, lihat dulu kayanya sekaya apa. Kalau lebih kaya dari Nyonya Arini ya … Mbokde nggak bisa bantu. Juga Nyonya Arini."Tini menghela napas panjang, aroma bedak bayi yang menguar dari tubuh bayi di dalam dekapannya seakan menenangkan gejolak hatinya. "Kalau gitu, sudah tidak usah dibahas lagi lah Mbok De. Percuma juga dibahas." Lalu perhatiannya beralih pada bayi yang kembali tertidur pulas. "Ini sudah kenyang kayaknya Mbok De."“Ohhh … iya …. Anak-anaknya Nyonya Arini tuh paling enak diasuh. Pokoknya asal kenyang, sudah. Nggak akan rewel. Sakit juga nggak pernah.”Tumini dengan gemas mengambil bayi dalam dekapan Tini. Sembari menimang s

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   22. Mendhem Ari-ari

    Seketika napas Tini tertahan ketika melihat bayi lain yang menangis di sisi ranjang. Dengan tangan gemetar, ia perlahan membuka kain jarik yang membungkus bayi yang mulai menangis kencang. Wangi bedak bayi menyeruak saat kain tersingkap. Tini menghela napas lega saat mendapati kaki bayi itu normal seperti kaki bayi pada umumnya, bukan ekor ular seperti kejadian sebelumnya yang masih membuatnya bingung antara mimpi atau nyata.Tini lantas meletakkan bayi yang telah tertidur lelap di atas perlak motif bunga yang dilapisi kain batik. Ia lalu beralih mengambil bayi lainnya yang masih menangis. Tangisan bayi tampan itu sontak mereda begitu merasakan kehangatan dekapan Tini dan mulai menyusu dengan rakus.Dengan seksama, Tini memperhatikan kedua bayi itu. Mereka begitu mirip, seolah pinang dibelah dua, dan terasa sama nyatanya. Kemudian ia mulai teringat kata-kata ibu Tuan Ario yang mengatakan bahwa ibu susu lain tak bisa melihat bayi kembaran. Apa artinya itu? Tini benar-benar bingung,

  • Ibu Susu untuk Bayi Gaib   21. Asal Usul Tini

    Suara Tumini yang memanggil dari arah teras depan rumah bergaya joglo itu sontak membuat Tini terkesiap. Perempuan itu menjauh dengan hati-hati dari dekat jendela, lalu bergegas menuju ke arah depan, menghampiri bibinya yang berjalan ke arah gerbang kayu berukir yang tertutup rapat."Mbok De panggil saya?" tanya Tini dengan berlari kecil menyusuri pelataran di hias pot-pot berbunga warna-warni."Iya," Tumini menoleh dengan kesal, wajahnya yang dihiasi kerut tampak lelah. "Kamu ke mana aja to, Tin? Itu bayinya Nyonya Arini mulai nangis. Mbok De mau cek di dapur, apa sudah beres atau belum.""Iya, Mbok De," sahut Tini patuh. Perempuan itu lantas mengikuti bibinya yang berjalan tergesa menuju teras sembari berkata, "Tini ... Tini ... nasibmu jelek amat to? Mbok De kadang kasihan sama kamu. Baru aja kamu dapat kerja di sini, ehh ... malah ketahuan sama ibunya Tuan Ario kalau kamu anaknya ibumu. Mbok De nggak nyangka ibunya Tuan Ario bisa tanya-tanya begitu. Biasanya kalau ada orang kerj

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status