Share

5. Weton Kamu Apa?

"Kenapa kamu tanya begitu?"

Nada suara Tumini yang terdengar ceria sedari tadi tiba-tiba menjadi serius, membuat Tini semakin dirongrong rasa penasaran. 

"Ahh ... enggak, Mbok De. Cuma saya kayak pernah lihat di mana gitu."

Tini tak menuturkan apa yang dilihatnya, ia sendiri tak terlalu yakin dengan itu.

"Yo cuma mirip aja mungkin." Suara Tumini kini kembali menjadi ceria. "Tuan Ario nggak punya kembaran. Orang beliau aja anak tunggal."

Tumini pun kembali sibuk memasangkan stagen, sementara Tini mengamati bagaimana Bibinya itu memasang jarik dengan sangat rapi, hingga kain bercorak motif sawat itu membalut indah tubuhnya. 

"Ini semua baru ya, Mbok De?" tanya Tini dengan memperhatikan motif dua sayap yang terlihat baru tenunannya. 

"Iya. Nyonya Rini tuh baik banget orangnya. Makanya kamu jangan bikin Nyonya jengkel. Nyonya kan lagi hamil, jadi gampang marah."

Perempuan itu kemudian merapikan kebaya brokat hitam yang semakin mempercantik tampilan sederhana namun anggun itu. 

"Jan ...! Ayu tenan kowe, Tin ...!” seru Tumini sembari menata rambut Tini. “Abis luluran kamu tambah kinclong."

Tini pun bersemu mendapat pujian itu. "Opo lah, Mbok De. Wong cuma babu. Ayu opo. Nyonya Arini itu, ayu tenan."

“Kamu belajar nata rambut yang rapi, Tin. Pokoknya Nyonya Arini tuh suka sama yang rapi, wangi, cantik,” tutur Tumini seraya menyematkan tusuk konde dihias bunga cantik. "Nah … sudah, sana cepetan ke ruang tamu. Udah ditunggu sama Nyonya."

"Njihh ... matur suwun, Mbok De."

Tini pun kembali menyusuri koridor yang menuntunnya ke ruang tamu di mana Nyonya Aini terlihat sedang sibuk dengan buku kulit warna cokelat selebar telapak tangan.

Tini yang jalannya tersandung-sandung karena melangkah cepat sontak merenggut perhatian sang majikan. 

Untuk sejenak Nyonya Arini terpana dengan tampilan Tini, cukup puas dengan pembantu baru yang berpakaian sesuai perintahnya. 

"Duduk!" seru Nyonya Arini sembari mengedik ke arah lantai tegel di depan meja. 

Tini kemudian mencoba duduk, agak kesusahan dengan kain jarik yang terlalu ketat membalut tubuhnya. 

Namun lama ia menanti, majikannya itu tak kunjung selesai, sibuk dengan buku catatannya itu. Tini pun mulai mengantuk, rasa-rasanya ada tangan yang membelai kepalanya.

Berulang kali Tini mengusap rambutnya ke belakang, mencoba memahami sensasi hangat yang mengelus kepalanya. 

Punggungnya yang tegak karena stagen kencang kemudian merasakan seperti ada seseorang menempel. Tini sekuat tenaga mengabaikan itu, namun rasa itu benar-benar nyata.

Sementara Nyonya Arini sesekali memandang ke arah belakangnya. Entah apa yang dilihat perempuan yang masih berkutat dengan bukunya itu, seakan-akan ada orang lain di balik badan Tini.

"Kamu lahir hari apa?"

Suara serak perempuan hamil besar berbalut kebaya cantik warna putih itu mengalun dingin, menyentak Tini yang sedari tadi duduk bersimpuh di lantai tegel ruang tamu rumah bergaya joglo itu.

Setelah hampir setengah jam lamanya ia menanti, majikan barunya bersuara, namun pertanyaan tak umum justru didapatnya.

Perempuan yang sedari tadi was-was itu semakin dilanda kengerian yang tak dimengertinya. Ditambah lagi lantai tegel dingin dalam udara gerimis yang menyalurkan dingin menusuk sampai ke tulang, perempuan muda itu sampai tergagap menjawab.

"Jum'at, Nyonya ...!"

"Jum'at apa?"

Pertanyaan dari Nyonya Arini sontak membuat Tini mengangkat wajah, termangu menatap perempuan luar biasa cantik kisaran 30-an yang duduk di kursi tamu pelitur cokelat tua dengan bantalan busa putih.

Sorot mata sendu itu seakan memikul pedih yang tak tergambarkan oleh kata-kata, membuat Tini cepat-cepat menundukkan pandangan.

"Pertanyaan saya belum kamu jawab, Hartini! Apa kamu tidak paham? Kamu lahir Jum'at apa? Weton lahir kamu yang saya maksud."

Pertanyaan itu terdengar ketus, tak serasi dengan wajah ayu kalem dan gerak-gerik luwes perempuan kaya istri tuan tanah itu.

Sedangkan Tini tampak ragu, terngiang nasehat neneknya yang pernah berpesan bahwa tak boleh weton lahir diumbar kepada sembarang orang.

"Kamu baru satu hari bekerja di rumah ini sudah seperti ini Tini, tidak menjawab pertanyaan saya. Lebih baik kamu cari pekerjaan di tempat lain saja. Saya tidak suka pembantu yang bahkan tidak mau menjawab satu pertanyaan saja. Pergi kamu dari sini! Saya akan bayar satu jam kamu duduk di sini."

Lalu terdengar suara gemerincing koin, Tini sedikit mengangkat pandangannya dan mendapati perempuan bersanggul rapi itu memilah beberapa keping koin di tangannya.

Kini Tini dilanda bimbang akan bekerja pada perempuan yang terasa aneh itu. Entah mengapa ia ingin pergi, hatinya yang membisik demikian.

Namun di sisi lain ia benar-benar sulit mengelak tawaran gaji besar di tengah paceklik.

"Ngapunten, Nyonya ...," bisik lirih Tini dengan menangkupkan dua tangan, memohon maaf atas kelancangannya yang tak segera menjawab pertanyaan sang majikan. "Saya tadi hanya sedang mengingat-ingat weton saya. Karena saya agak lupa. Kalau tidak salah … Kamis Pon."

Lalu terdengar embusan napas kasar dari perempuan yang perutnya seperti sedang hamil kembar itu.

"Tadi kamu bilang lahir Jum'at, tapi sekarang bilang Kamis. Yang bener yang mana?!"

Perempuan berkulit kuning langsat mulus itu kemudian membanting koin di tangannya ke meja ukiran berpelitur cokelat gelap.

Entah apa yang membuat majikannya tampak begitu kesal, padahal sedari tadi perempuan itu hanya sibuk dengan buku saku yang sesekali ditandainya dengan pulpen tinta merah.

Bahkan buku bersampul kulit cokelat itu tak luput dibanting beserta pulpen yang menggelinding ke dekat Tini.

"Ngapunten Nyonya, saya hanya perempuan bodo!"

Tini yang masih duduk bersimpuh kemudian membungkuk dalam-dalam. Hawa di ruangan itu semakin berat saat perempuan itu meluapkan amarahnya, membuat Tini semakin ketakutan.

"Kamu memang bodonya bukan main. Sampai-sampai hamil saja tidak tahu siapa bapaknya!"

Kalimat itu telak menusuk rongga dada Tini dan tubuhnya yang masih membungkuk di lantai itu dengan cepat dirambati keringat dingin.

Tatapan perempuan kisaran 19 tahun itu seperti kosong, dan kelebatan malam nahas itu membuat setiap sendinya seakan hampir-hampir tak bisa menahan tubuhnya.

"Saya tidak suka dengan perempuan bodo. Apalagi yang pasrah saja diperlakukan laki-laki seenaknya sendiri. Kamu jawab jujur. Majikan kamu yang sebelumnya, yang bikin kamu hamil? Kenapa kamu tidak minta tanggung jawab? Malah kamu pulang kampung dan bikin malu ibu kamu yang sakit-sakitan itu. Tini ... Tini ...! Semurah itu harga diri kamu. Majikan kamu kasih uang berapa sampai kamu rela dibuang? Kalau saya jadi kamu, sudah saya bikin mampus itu laki-laki!"

Tini tak seberapa mendengar kata-kata majikan barunya itu sebab benaknya berkutat dengan trauma yang bergejolak.

"Terus, anak kamu sekarang umur berapa?"

Beberapa menit itu berlalu dengan keheningan, Tini masih berkutat dengan kenangan kelamnya, berusaha menyimpannya kembali rapat-rapat di sudut tergelap kepalanya.

"Tini!" jerit kesal sang majikan. "Kamu tidak budeg, kan? Baru di sini satu jam saja kamu sudah mau bikin saya sakit kepala! Saya tanya, anak kamu umur berapa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status