Langkah kaki Tumini yang hampir melewati kamar mandi sontak terhenti mendengar nada suara Tini yang menuntut jawaban.
Rasanya perempuan paruh baya itu ingin berlalu begitu saja, namun hati kecilnya tak bisa mengabaikan Tini yang merupakan keponakannya.
Lalu dengan mengusap ke belakang anak-anak rambut di dahinya yang bandel mencuat, Tumini kembali mendekat.
"Sudah to Nduk ...! Jangan banyak tanya. Apa yang jadi tugas kamu di sini kerjakan. Di luar itu, sudah jangan penasaran. Mbok De tuh paling anti bawa orang kerja yang masih muda. Kayak Jumiati gitu. Kebanyakan tanya. Kalau bukan karena keluarga, Mbok De nggak akan mau bawa kamu. Di rumah ini memang sesekali kelihatan ular, tapi udah biarin aja. Mereka nggak akan gigit. Kamu belum pernah denger to ada orang kerja di sini mati digigit ular? Di sini kan jauh dari pemukiman, masih deket hutan, jadi wajar ada ular sesekali nyasar ke sini."
Mendengar itu, Tini pun semakin mengerutkan dahi. "Tapi kan bahaya, Mbok De. Memangnya Nyonya Arini nggak nyuruh orang buat nangkepin ular-ular itu? Saya tuh paling takut ular, Mbok De."
Tumini yang berharap keponakannya akan berhenti penasaran justru mendapat pertanyaan baru lagi, membuatnya menghela napas panjang.
"Gini lho. Nduk. Kata orang tua jaman dulu nggak baik bunuh ular apalagi yang punya rumah lagi hamil. Jadi Nyonya nggak berani bunuh ular-ular itu. Tapi jarang banget kok. Orang Mbok De aja malah belum pernah lihat. Dulu si Jumiati yang sering lihat. Kalau pembantu lain pernah lihat sesekali pas lagi bersihin taman. Tapi ularnya diem aja. Setelah ini kamu jaga sikap, jaga omongan yo, Nduk. Pokoknya, kalau kamu jadi pembantu yang nggak kebanyakan tingkah, pasti Nyonya sayang, nanti kamu makmur kerja di sini. Lihat nih gimana Mbok De."
Tumini pun menggerak-gerakkan tangannya dan 7 gelang emas putih tipis bergemincing. Masih ditambah lagi beberapa cincin yang berkilau diterpa cahaya.
"Lihat! Kamu saja yang belum kerja sama sekali udah dapat enak begini. Nyonya Rini perlakuin kamu baik, supaya kamu juga sepenuh hati nanti urus bayinya. Udah jangan pikir yang macem-macem. Satu lagi, apa yang kamu lihat sama denger di sini jangan dicerita-ceritain di luar sana kayak Jumiati. Itu orang kurang ajar, nggak tahu terima kasih. Cerita yang aneh-aneh tentang Nyonya Arini di luar sana. Udah cepetan mandinya, Nyonya Arini nggak suka sama orang bau."
Kalimat itu kemudian diakhiri dengan senyuman ceria dan Tini hanya bisa mengangguk pelan menanggapi nasihat bibinya itu.
Entah mengapa ia merasa semua orang di rumah majikannya itu terasa aneh, tak terkecuali bibinya sendiri yang keluar dari kamar mandi dengan terus mengembangkan senyum, seakan-akan ia baru saja mendapatkan kesenangan luar biasa.
Tini pun menggeser lagi slot kayu pada pintu kamar mandi. Hening yang menyelimuti rumah itu membuat suara gesekan kayu terdengar begitu nyaring.
Hujan di luar sana pun telah reda, namun apapun yang dikatakan oleh Bibinya tak cukup meredakan was-was di hatinya.
Perempuan itu masih ngeri memandang ke sekeliling, berharap ular itu tak muncul lagi. Lalu tatapannya yang sekilas melihat ke arah tempayan tanah liat mendapati kelopak-kelopak bunga merah di permukaannya bergerak-gerak seperti permukaan air mendidih.
Tini yang penasaran mendekat dan disibaknya permukaan air penuh bunga menggunakan gayung batok kelapa. Setelah bunga-bunga itu dikumpulkannya dalam gayung, ia tak mendapati apapun di sana. Airnya begitu jernih disorot lampu minyak.
Namun samar-samar dilihatnya pantulan bayangan dirinya tak sendiri. Tini pun semakin memusatkan perhatiannya pada permukaan air yang masih bersisa beberapa kelopak bunga.
Kini dilihatnya wajah Tuan Ario tersenyum tepat di belakangnya. Tini sontak menoleh ke belakang, tapi tak ada siapapun.
Lalu dengan cepat pandangannya berganti ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Tidak mungkin jika majikan laki-lakinya sedang menggoda karena mata kepalanya menyaksikan bagaimana pria itu lumpuh di kursi dan tidak ada pintu lain di kamar mandi itu.
Tini yang mulai dirasuki lagi hawa mencekam kemudian cepat-cepat mengguyur air ke kepalanya sembari menggosok setiap jengkal kulitnya yang licin karena lulur.
Namun di antara bunyi deburan air yang menghantam lantai, ia seperti bisa mendengar suara pria tertawa, tapi Tini tak mempedulikannya.
"Duhh ... ini rumah angker atau gimana to?" gumam Tini yang bergegas menyudahi mandinya.
Perempuan itu lantas menyelimutkan kain jarik bersih ke tubuhnya dan menggerak-gerakkan badan agar kain jarik basah yang menempel di badannya melorot.
Lalu langkahnya tergesa keluar dari bilik kayu itu sembari memeras kain basahan dan menghampiri lemari kayu di mana pakaian telah disediakan di antara guci-guci kecil berisi bahan-bahan rempah yang digunakan untuk wewangian mandi.
Tini kemudian menyelimutkan kain jarik ke bahunya dan membawa satu setel kebaya beserta pernak-perniknya menuju dapur.
"Mbok De Tumini ...!" seru Tini pada tiga perempuan yang sedang mengupas bawang di lantai tegel dapur.
Perempuan-perempuan yang hampir seumuran itu menoleh serentak dan bisik-bisik mereka sontak mereda.
"Ono opo, Tin?" tanya Tumini bergegas bangkit dari duduknya di lantai.
"Mbok De, tolong bantu saya pakai kebaya biar rapi. Nanti kalau nggak rapi Nyonya marah."
"Ya udah sini, ayo!" Tumini pun memimpin jalan, perempuan itu menuju kamar di mana Tini sempat diperiksa tubuhnya oleh sang majikan.
"Kalau kerja di sini memangnya harus pakai kebaya bagus ya, Mbok De? Kita kan cuma babu Mbok De. Kok pakai kebaya bagus begini?" tanya Tini seraya mengelus kebaya hitam cantik di tangannya.
"Iya, Nyonya Arini itu orangnya baik sama pembantu. Beliau juga masih pegang tradisi kuno. Jadi nanti kamu jangan kaget atau penasaran kalau Nyonya taruh sesaji di tempat-tempat tertentu. Kamu juga jangan dekatin sesaji-sesaji itu kecuali Nyonya yang nyuruh kamu beresin atau ganti yang baru," balas Tumini sembari melilitkan kain jarik ke pinggang keponakannya.
"Sesaji itu buat apa sih, Mbok De?" tanya Tini sembari membetulkan kutang yang kebesaran.
"Mbok De nggak tahu. Mbok De juga takut tanya-tanya. Lagian itu bukan urusan Mbok De. Tahu atau enggak, nggak ada untungnya buat Mbok De. Kamu tuh orangnya gampang penasaran. Itu bisa bikin kamu celaka karena selalu ingin tahu urusan orang lain. Terkadang, apa yang seharusnya nggak perlu tahu memang sebaiknya nggak usah tahu. Ingat itu Tini."
"Tapi namanya kerja di tempat baru pasti banyak pertanyaan, Mbok De. Kalau kita lebih kenal dan paham lingkungan kerja, kita bisa lebih bawa diri. Kalau di tempat Pak Haji dulu malah Tini dikasih tahu ini itu, biar nggak salah. Omong-omong, Tuan Ario itu ... sakit atau gimana, Mbok De? Kok makan disuapin?"
"Iya, sakit. Jatuh dari kuda. Jadi nggak bisa jalan lagi. Badannya ke atas nggak lumpuh tapi kadang lemah gerakannya."
"Ohh ... kasihan. Apa Tuan Ario punya kembaran, Mbok De?"
Sontak Tumini yang sedang melilitkan stagen ke perut Tini terhenti tangannya. Perempuan itu menegakkan punggung dengan wajah serius.
Tumini menghela napas panjang, duduk perlahan di tepi ranjang. Aroma bedak bayi bercampur dengan wanginya kemenyan yang masih tertinggal di sudut kamar. Suara gamelan dari acara di depan samar-samar masih terdengar."Lah, Tin ... kamu ini aneh-aneh saja pertanyaannya. Nyonya Arini itu ningrat, keturunan darah biru. Orang-orang kaya seperti mereka bebas tidak menyusui bayinya sendiri. Sekarang kamu istirahat dulu, Tin. Besok pagi kita bicarakan lagi soal kamu mau berhenti atau tidak. Tapi ingat, Nyonya Arini sudah percaya sama kamu. Itu hal yang tidak mudah didapat, terutama di keluarga kaya seperti ini."Sebelum Tini bisa berkata lagi, Tumini sudah lebih dulu berjalan tergesa ke pintu, “Mbokde ke depan dulu ya, Tin. Sebentar lagi acara selesai.”Kepergian bibinya yang tergesa-gesa membuat jantung Tini kembali berdebar kencang ditinggal sendirian di kamar yang terasa mencekam.Perempuan itu perlahan duduk, dengan hati-hati melepaskan hisapan sang bayi dari dadanya. Rasa lega seketika
"Tini," suara Tuan Ario membisik di telinganya, dalam dan lembut, diikuti kecupan dingin di bahunya. Namun tubuh Tini tetap membeku, tak dapat bergerak barang sedikit pun. "Aku bisa membuatmu kaya, tidak perlu susah payah bekerja. Kamu hanya perlu menerimaku."Keringat dingin mulai mengucur deras dari dahi Tini, menetes ke leher hingga membasahi kerah kebayanya. Ia ingin berteriak, ingin melepaskan diri saat merasakan tubuh itu semakin merapat di belakangnya. ‘Aku tidak mau,' batinnya sambil mencoba memberontak sekuat tenaga. Namun, setiap otot di tubuhnya terasa kaku, seakan ditahan oleh pelukan gaib."Aarrrhhh ...!" Jeritan melengkung keluar dari mulutnya tepat saat pintu kamar terbuka dengan bunyi derit pelan. Tumini, yang baru masuk dengan bayi dalam gendongannya, terlonjak kaget. "Duh ... Gusti ...!" serunya sambil mengusap dada, lalu buru-buru menepuk-nepuk pantat bayi yang mulai menangis. Sedangkan Tini, masih berdiri seperti orang linglung, menoleh ke belakang dengan waja
Tini menatap ibunya dengan sorot mata penuh tanya. "Masalah apa yang si Mbok maksud? Apa hubungannya dengan Bapak?"Ibu Tini menghela napas panjang, ia mulai bercerita dengan suara pelan, nyaris berbisik, "Dulu, Bapakmu, Lurah Sukardi, bukan orang biasa, Nduk. Bertahun-tahun dia menjabat sebagai lurah, dan tidak ada yang berani jadi pesaingnya. Orang-orang takut. Baru setelah Mbah Kiai masuk ke desa kita dan menyebarkan agama Islam, baru itu … bapakmu mulai kehilangan pamornya."Tini mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdebar kencang. “Iya, Mbok … saya tahu itu. Lalu …? ” “Dulu, waktu si Mbok pertama kali dinikahi Bapakmu, Mbok kira karena kecantikan si Mbok. Tapi ternyata bukan hanya itu."Ibu Tini berhenti sejenak. Suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan, "Rupanya Lurah Sukardi butuh penerus untuk ilmu-ilmu yang diturunkan dari orangtuanya dulu. Sayangnya, istri-istrinya yang dulu tidak ada yang bisa memberi anak dengan bakat khusus. Yang tubuhnya kuat untuk jadi wadah il
Tumini terkekeh mendengar jawaban Tini, suaranya bercampur dengan sayup-sayup alunan gamelan dari halaman depan. "Ya lihat-lihat dulu siapa yang dulu menghamili kamu, Tin. Kalau sama-sama jongos, ya Mbok De bisa bantu, minimal marah-marah lah, minta tanggung jawab. Nanti kita juga bisa minta bantuan Nyonya Arini. Tapi kalau yang hamilin kamu orang kaya, lihat dulu kayanya sekaya apa. Kalau lebih kaya dari Nyonya Arini ya … Mbokde nggak bisa bantu. Juga Nyonya Arini."Tini menghela napas panjang, aroma bedak bayi yang menguar dari tubuh bayi di dalam dekapannya seakan menenangkan gejolak hatinya. "Kalau gitu, sudah tidak usah dibahas lagi lah Mbok De. Percuma juga dibahas." Lalu perhatiannya beralih pada bayi yang kembali tertidur pulas. "Ini sudah kenyang kayaknya Mbok De."“Ohhh … iya …. Anak-anaknya Nyonya Arini tuh paling enak diasuh. Pokoknya asal kenyang, sudah. Nggak akan rewel. Sakit juga nggak pernah.”Tumini dengan gemas mengambil bayi dalam dekapan Tini. Sembari menimang s
Seketika napas Tini tertahan ketika melihat bayi lain yang menangis di sisi ranjang. Dengan tangan gemetar, ia perlahan membuka kain jarik yang membungkus bayi yang mulai menangis kencang. Wangi bedak bayi menyeruak saat kain tersingkap. Tini menghela napas lega saat mendapati kaki bayi itu normal seperti kaki bayi pada umumnya, bukan ekor ular seperti kejadian sebelumnya yang masih membuatnya bingung antara mimpi atau nyata.Tini lantas meletakkan bayi yang telah tertidur lelap di atas perlak motif bunga yang dilapisi kain batik. Ia lalu beralih mengambil bayi lainnya yang masih menangis. Tangisan bayi tampan itu sontak mereda begitu merasakan kehangatan dekapan Tini dan mulai menyusu dengan rakus.Dengan seksama, Tini memperhatikan kedua bayi itu. Mereka begitu mirip, seolah pinang dibelah dua, dan terasa sama nyatanya. Kemudian ia mulai teringat kata-kata ibu Tuan Ario yang mengatakan bahwa ibu susu lain tak bisa melihat bayi kembaran. Apa artinya itu? Tini benar-benar bingung,
Suara Tumini yang memanggil dari arah teras depan rumah bergaya joglo itu sontak membuat Tini terkesiap. Perempuan itu menjauh dengan hati-hati dari dekat jendela, lalu bergegas menuju ke arah depan, menghampiri bibinya yang berjalan ke arah gerbang kayu berukir yang tertutup rapat."Mbok De panggil saya?" tanya Tini dengan berlari kecil menyusuri pelataran di hias pot-pot berbunga warna-warni."Iya," Tumini menoleh dengan kesal, wajahnya yang dihiasi kerut tampak lelah. "Kamu ke mana aja to, Tin? Itu bayinya Nyonya Arini mulai nangis. Mbok De mau cek di dapur, apa sudah beres atau belum.""Iya, Mbok De," sahut Tini patuh. Perempuan itu lantas mengikuti bibinya yang berjalan tergesa menuju teras sembari berkata, "Tini ... Tini ... nasibmu jelek amat to? Mbok De kadang kasihan sama kamu. Baru aja kamu dapat kerja di sini, ehh ... malah ketahuan sama ibunya Tuan Ario kalau kamu anaknya ibumu. Mbok De nggak nyangka ibunya Tuan Ario bisa tanya-tanya begitu. Biasanya kalau ada orang kerj
“Saya anaknya Tumirah, Nyonya. Ibu saya adik perempuannya Mbok De Tumini.”“Jadi kamu keponakannya Tumini. Terus … bapak kamu siapa?“ tanya Ibu Tuan Ario dengan nada lebih serius.Kali ini Tini agak malu mengungkapkan siapa ayahnya. Lalu dengan menunduk semakin dalam ia menjawab, “Ibu saya istri mudanya mantan lurah Sukardi.”“Ohhh … Almarhum Sukardi? Pantas saja. Rasanya kamu berbeda, tidak seperti pembantu lain. Dulu sekali bapak kamu pernah menjadi orang yang berjaya dan ditakuti banyak orang. Sampai di akhir masa tuanya Lurah Sukardi masih terus menjadi lurah, tidak ada yang berani menjadi pesaingnya, dan ibumu dulu pernah membuat geger karena hamil dengan Lurah Sukardi yang dulu adalah majikannya, lalu bersedia menjadi istri muda Lurah Sukardi yang sudah memasuki umur tujuh puluh tahun.”Lantas dengan menoleh ke arah Tumini yang masih duduk bersimpuh di lantai ia mengimbuhkan, “Saya tidak tahu kalau Tumini adalah saudara istri muda Almarhum Sukardi. Dulu yang lebih membuat geger
Tini pun duduk bersimpuh di lantai mengikuti dua pengasuh bayi lain, tepat di dekat pintu masuk. Sedang ruang tamu luas itu masih didominasi suara perempuan paruh baya yang sedang mengomentari cucu kedua yang menurutnya terlihat agak kurus. “Kamu ini bagaimana Arini …! Anak-anak harus naik berat badannya, bukan malah turun …! Kamu mengurus dua anak saja tidak becus …!” Mata Tini melebar mendengar itu, lalu mengangkat wajah, memperhatikan ibu susu lain yang duduk bersimpuh di hadapannya dalam balutan kebaya putih dan kain jarik corak hitam dan putih. Kepala dua perempuan di hadapannya tertunduk dalam. Mereka sedikit lebih gemuk daripada Tini. Kemudian didorong rasa penasaran, pandangan Tini semakin terangkat, memperhatikan Tumini yang berdiri dengan menunduk di ambang pintu, masih dengan menggendong bayi. “Mana ini ibu susunya, suruh ke sini …!” Suara ibu Tuan Ario kembali terdengar, diikuti rengekan anak kedua Nyonya Arini yang mulai menangis. Perempuan di hadapan Tini sont
“Kok kamu tanya gitu terus to Tin?” Tumini bertanya balik, mulai tak senang keponakannya itu kembali bertanya. “Ibu susu yang lain hlo nggak ada yang secerewet kamu tanya-tanya terus. Lama-lama heran. Memangnya kamu lihat bayinya ada dua?” “Iya, Mbok De,” jawab Tini pelan dengan menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. “Saya nggak sengaja lihat Nyonya Arini lahiran di kamar, ada dua bayi.” Tumini pun berdecak lidah mendengar itu. “Pasti kamu mimpi, Tin.” “Enggak, Mbok De. Beneran ini nggak mimpi. Saya nggak sengaja lewat, pintu kamarnya Nyonya Arini kebuka sedikit, kayaknya pas itu Mbok De mau angkat air anget, jadi dibiarin kebuka. Apa yang satu cacat, Mbok De? Kok disembunyiin. Kemarin saya kurang jelas lihat gimana rupa bayinya.” Tini pun lanjut mengunyah makanan yang membuat pipinya menggembung, setelah makan hampir setengah nasi di piring enamel berhias bunga merah itu, tetap saja tangannya masih gemetaran saking laparnya. Perempuan itu mengamati wajah Tumini yang berker