Share

Garwa, Satu Hati Sampai Nanti
Garwa, Satu Hati Sampai Nanti
Penulis: pramudining

1. Badai Kehidupan

Happy Reading

*****

Bunyi gelas jatuh ke lantai membuat kedua orang itu menoleh. Bukannya membereskan pecahan kaca, perempuan itu malah berlari menjauhi dua orang yang berada di ruang tamu. Suara-suara sumbang beberapa hari tentang sang suami tak pernah dihiraukan, tetapi saat mendengar secara langsung mengapa bisa sesakit ini.

Tangisan Ibu dua orang anak itu semakin menjadi saat melihat buah hatinya yang tertidur lelap. Wajah polos dengan segala keluguan sebagai penyemangat hidup. Tak terbayang jika mereka tahu kejadian hari ini.

"Ma, buka pintunya," teriak sang suami, "aku bisa jelasin semua."

Perempuan dengan tinggi 155 sentimeter itu enggan menjawab dan beranjak membukakan pintu. Tangan kanannya menyusuri setiap inci wajah anak-anak satu per satu. Sesekali mengecup kening mereka.

"Kalian harus jadi kuat setelah ini, Nak. Bantu Mama menghadapi semua, hanya kalian harapan Mama," ucap sang perempuan pada dua buah hatinya.

Sepulang sekolah dan makan siang, anak-anak bermain di ranjang kamarnya. Sesuatu hal yang sudah jarang sekali mereka lakukan, mengingat usia mereka yang semakin dewasa. Namun, Ardiyanti kini menyadari bahwa semua sudah tertulis. Kehadiran mereka di kamarnya sebagai penguat atas kabar yang baru saja dia dengar.

"Sayang .... Buka pintunya atau aku akan mendobrak," teriak si lelaki, sekali lagi.

Yanti mengusap kasar air mata, berbalik arah mendekati pintu. Air mata yang masih terus mengalir ditahannya kuat-kuat. Bukan sekali ini sang suami bermain hati, tetapi yang sekarang sudah sangat keterlaluan.

"Dobrak saja! Dari dulu kamu selalu melakukannya, 'kan?"

Lelaki pemilik nama Basukiharja itu membuka paksa pintu. Menarik keluar sang istri, membanting pintu dengan keras setelah mereka berada di luar kamar. "Dengar! Suka tidak suka kamu harus menerimanya jika masih ingin hidup enak," kata Basuki tegas tak terbantahkan.

Apa katanya tadi? Jika ingin hidup enak? Sejak kapan aku hidup enak selama membangun mahligai bersamanya. Namun, semua kalimat itu, hanya mampu Yanti ucap dalam hati.

Perempuan dengan rambut lurus hampir sepinggang itu melepas paksa cekalan sang suami. Yanti berlalu pergi tak menghiraukan perkataan selanjutnya. Menyibukkan diri di dapur sebagai pengalihan.

"Kamu budek apa gimana? Suami ngomong itu dengerin!" teriak Basuki yang mengikuti langkah sang istri sampai di dapur.

"Ini rumah, Mas. Bukan lapangan atau alun-alun kota. Ada anak-anakmu yang sedang tidur. Apa pantas seorang abdi negara sepertimu melakukan semua ini?" kata Yanti.

Berkata lembut pada seseorang yang telah menyakiti hati harus tetap dia lakukan. Bukan karena memaafkan kebejatan Basuki, tetapi menjaga psikis anak-anak jauh lebih penting saat ini. Menekan segala ego yang dia miliki agar tak semakin memperkeruh perdebatan di rumah.

"Berani kamu sekarang, ya?" Tangan kanan si lelaki sudah mengayun pada pipi Yanti. Namun, teriakan si sulung menghentikan semua.

"Papa!" teriak Chalya, putri sulung keduanya yang masih berumur 16 tahun. Gadis belia itu memeluk erat Yanti.

"Jangan takut, Kak. Mama nggak papa, kok," ucapnya menenangkan disertai elusan tangan pada rambut si sulung.

"Papa nggak capek tiap pulang kerja selalu marah-marah? Kakak yang denger aja bosen, Pa. Ini rumah apa neraka sih sebenarnya." Chalya mengatakan sambil terisak.

Bagai bom waktu yang menunggu untuk meledak, ketakutan Yanti terbukti hari ini. Perkataan si sulung membuat perempuan itu tertampar. "Sudah ... sudah, Sayang. Kakak kembali ke kamar, ya," pintanya.

"Nggak, Ma. Kalau Kakak nggak datang tadi, Papa pasti nampar Mama." Tatapan penuh amarah Chalya tujukan pada orang tua laki-lakinya.

"Lancang kamu, Kak!" kata Basuki keras, "apa ini hasil didikan mamamu?"

"Mas," ucap Yanti.

Jari telunjuk si sulung menempel pada bibir mamanya. "Mama nggak pernah ngajari hal jelek sama Kakak. Kenapa nggak mau ngaca gimana perlakuan Papa selama ini pada kami." Gadis itu pergi meninggalkan kedua orang tuanya.

"Chalya ...," teriak Basuki. Dia mengejar putrinya yang terus berlari keluar.

Sampai di ruang tamu, si sulung melihat seorang perempuan yang sedang asyik bermain ponsel. Pertengkaran kedua orang tuanya seakan tak diketahui oleh orang itu. Chalya menatap tajam dan mengerutkan kening.

"Siapa njenengan?" tanya Chalya sinis.

Perempuan itu mendongakkan kepala menatap gadis di depannya. "Hai, kak," sapanya sok akrab.

Chalya menajamkan mata. "Tante siapa?"

"Dia temen Papa, Kak," terang Basuki yang sudah berdiri di ambang pintu ruang tamu.

Perempuan itu berdiri dan mendekat pada lelaki yang tahun ini berumur 35 tahun. Bergelayut manja pada pergelangan tangan kanan si empunya rumah. "Kok teman, sih, Mas."

"Oh, jadi Tante biang kerok pertengkaran Papa, Mama," kata Chalya, "jadi perempuan yang punya harga diri dikit, dong, Tan. Masak nggaet cowok yang udah punya anak-istri. Punya otak dipake napa."

"Kakak!" panggil Basuki marah.

"Papa nggak terima? Mau belain perempuan nggak bener ini? Dasar ...."

"Jangan teruskan kata-kata itu, Kak. Mama nggak pernah ngajari Kakak durhaka sama orang tua." Yanti menggelengkan kepala, meminta pada putrinya menghentikan semua.

Chalya keluar tanpa berkata apa pun lagi. Yanti menatap nanar dua orang di hadapannya. "Ini kan yang kalian mau?" Dia kembali masuk, meninggalkan perempuan yang masih bergelayut pada suaminya.

Bersama dengan Basuki sejak jaman putih biru, Yanti paham betul bagaimana sifat dan sikapnya. Jika ada yang membuat perempuan itu bertahan hidup dengan sang suami tak lain semua demi anak-anak. Menyandarkan pungung pada daun pintu, lalu meluruhkan tubuh ke lantai. Yanti kembali menangis dalam diam. Memukul-mukulkan tangan ke lantai, kecewa pada kehidupan dan takdirnya.

"Mama kok duduk di lantai," tanya putra bungsunya yang terbangun.

Gegas Yanti merapikan rambut dan pakaiannya. Berdiri, lalu menghampiri si bungsu. "Adik udah bangun?"

"Adik dengar orang teriak-teriak tadi, Ma. Ada apa?"

"Adik mimpi kali. Nggak ada orang teriak kok. Dah, bobok lagi, ya," suruh Yanti.

Cipta Bagaskara anak kedua dari Yanti dan Basuki, masih berumur 10 tahun. Bocah laki-laki itu menatap mamanya. Netranya berhenti pada mata sang Mama yang terlihat memerah dengan kabut menyelimuti seluruh kornea.

"Mama habis nangis?" tanya Bagas. Tangannya mengusap satu tetes air yang mengalir di pipi Yanti. "Apa Adik nakal lagi?"

Yanti menggeleng dan mendekap erat sang putra. "Adik nggak nakal, kok," jawab Yanti, terbata, antara menahan tangis dan ingus yang mulai menghambat pernapasan.

"Alhamdulillah kalau bukan karena Adik. Lepas dong, Ma! Adik mau berangkat ngaji. Tuh, suara azan asar dah terdengar," kata Bagas.

Seolah tuli oleh perkataan sang putra, Yanti terus mendekap Bagas. "Adik nggak usah ngaji hari ini. Libur sehari nggak papa, Sayang," ujarnya.

"Nggak bisa, Ma. Hari ini Adik harus setor hapalan surat Ad-Dhuha. Minggu lalu 'kan belum setor." Bagas turun dari ranjang Yanti hendak pergi ke kamarnya sendiri.

Perempuan dua anak itu sudah berusaha mengejar Bagas, tetapi si bungsu terlanjur keluar kamar. Seketika bocah kecil itu menghentikan langkah, mendengar suara tawa papanya dengan orang lain. Bagas mendekati sumber suara dan melihat Basuki dengan seorang perempuan yang bergandengan tangan.

"Papa ngapain?" tanya Bagas.

Bukannya melepas genggaman tangan, Basuki malah mengenalkan perempuan itu sebagai calon Mama baru padanya.

"Mamaku cuma Mama Ardiyanti nggak ada yang lain." Dia pergi menjauhi mereka dan masuk kamar lagi.

Lengkap sudah kekecewaan Yanti hari ini. Semua orang di dalam rumah ini sudah mengetahui kebejatan sang suami.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status