Share

2. Bertahan Dalam Luka

Happy Reading

*****

Suara azan subuh sebagai penanda jika aktifitasnya akan segera dimulai. Yanti hendak turun dari ranjang, meskipun sang suami masih bergelung di balik selimut. Setiap hari aktifitas perempuan dengan dua anak itu, hanya berkutat pada pekerjaan rumah tangga. Dimulai dari matahari yang belum menyapa sang kekasih, bumi, hingga nanti menjelang perpindahan waktu.

"Mau ke mana, Ma?" tanya Basuki. Saat istrinya akan turun, tanpa rasa bersalah sama sekali.

Semalam pun, lelaki itu langsung tidur di sebelah Yanti disertai aktifitas mereka sebagai suami-istri. Entah, terbuat dari apa pikiran dan hati Basuki. Sore, menyakiti hati sang istri hingga remuk bak butiran debu diterbangkan angin. Malam, dia sudah berubah manis dan sok mesra. Seolah semua masalah yang terjadi beberapa jam lalu itu tidak pernah ada.

"Salat, Mas. Mau apa lagi, azan sudah manggil-manggil," jawab Yanti penuh kelembutan.

Basuki membuka mata, lalu duduk bersandar pada kepala ranjang. "Kebiasaan buruk, suami masih pengen tidur malah ditinggal salat," ucapnya sedikit bernada emosi.

Yanti tetap berjalan ke kamar mandi, dia hanya mampu mengucap istigfar dalam hati. Sampai kapan sang suami terus seperti itu, abai dengan segala kewajibannya pada Sang Khalik. Sebagai seorang istri, dia sudah sering mengingatkan sang suami tentang kataatan dalam menjalankan perintah-Nya. Namun, setiap kali

pula Basuki akan marah dengan nasihatnya.

"Ketaatanku sama, Mas, tetap akan berjalan sesuai karidor syariat. Jangan melarangku untuk menjalankan perintah Allah karena pasti aku akan melanggar keinginanmu," jawab Yanti sebelum membersihkan diri. Pintu kamar mandi segera dia tutup.

"Halah, sok alim," kata Basuki yang sudah bisa diprediksi oleh Yanti.

Selalu, kalimat bernada sama seperti itu terucap oleh lelaki yang telah menghalalkan dirinya lebih dari sepuluh tahun. Yanti memang bukan perempuan salihah sebagaimana agama mensyariatkan, tetapi dia juga tidak pernah abai untuk menjalankan kewajiban beragama. Salat lima waktu tetap perempuan itu kerjakan, meskipun terkadang terlambat pelaksaanannya karena kesibukan yang tidak bisa ditinggal.

*****

"Iya, Sayang. Mas, segera ke sana, tapi nunggu bentar lagi," ucap Basuki pada seseorang di seberang.

Mata yang mulai berembun serta gerakan tangan kiri mengelus jantung Yanti lakukan. Tangan lain, cekatan menyiapkan hidangan sarapan untuk keluarganya. Tak ada rasa malu atau canggung dari Basuki saat mengatakan kalimat itu, seolah kehadiran sang istri tak pernah ada.

"Assalamualaikum, Mama," salam buah hatinya disertai ciuman pada kedua pipi.

"Waalaikumsalam. Kalian mau sarapan apa? Roti atau nasi goreng?" Yanti bertanya pada kedua buah hatinya.

"Aku suamimu, harusnya tawarkan dulu padaku baru anak-anak. Hadeh jadi istri nggak becus banget." Basuki berkata dengan tangan dan fokus tertuju pada layar ponsel.

Chalya menatap sinis pada papanya. "Jangan cuma ingin dihargai, tapi hargai juga orang lain," sindirnya pada Basuki.

Si kepala keluarga mengalihkan pandangan pada putri sulungnya. Iris dan pupil indera penglihatan Basuki terbuka sempurna, kelopaknya terangkat ke atas sehingga kedua alisnya bertautan. Sendok di tangan kiri dia hentakkan pada meja.

"Siapa yang ngajari Kakak menyela ucapan orang tua, ha?!"

Bagas menghentikan gerakan tangan yang hendak mengambil piring berisi nasi goreng dari tangan mamanya. Sorot mata penuh kekecewaan jatuh pada Basuki, lelaki itu sudah dianggap gagal menjadi sosok pemimpin serta teladan yang baik. Namun, untuk mendebat seperti si kakak, jelas dia tak memiliki keberanian.

Basuki menyadari tatapan si bungsu. "Adik juga. Jangan sekali-kali melawan omongan, Papa. Ngerti?" katanya dengan nada keras.

Kasar, Bagas berdiri. "Ma, Adik berangkat dulu," ucapnya.

Tangan kanan bocah sepuluh tahun itu cepat meraih jemari sang Mama menciumnya sebagai bentuk penghormatan, lalu pergi tanpa pamit pada Basuki. Setengah berlari dia keluar. Tidak ada sarapan atau minuman yang masuk ke perutnya pagi ini.

Tatapan sang kepala keluarga kini mengarah pada Yanti. Wajah memerah penuh amarah terlihat jelas. "Inikah hasil didikanmu pada anak-anak. Dasar wanita nggak guna." Basuki membanting sendok sekali lagi ke meja.

Lelaki itu pergi meninggalkan rumah tanpa sarapan. Kemarahan serta kekerasan verbal yang terucap tadi tak segan ditunjukkan di depan anaknya. Bagaimana perkembangan psikis si sulung yang menginjak dewasa dan butuh figur teladan dari orang tua, tak lagi dipedulikan lelaki itu.

Chalya mendekati perempuan yang telah melahirkannya dengan perasaan yang sulit dideskripsikan. "Kenapa Mama nggak ngelawan Papa? Dia sudah keterlaluan, Kakak benci Papa," ucap si sulung yang membuat Yanti terkejut.

"Jangan lakukan itu, Kak. Gimana pun, dia papamu. Adanya Kakak di dunia karena beliau juga. Doakan Papa, ya, biar berubah kayak dulu lagi." Yanti mendekap sang putri dan salah satu tangannya mengelus rambut disertai kecupan beberapa kali.

"Kenapa Mama masih bertahan dengan Papa?" tanya gadis yang baru merangkak dewasa itu.

"Kelak Kakak pasti tahu alasan Mama." Yanti melepas dekapannya, memegang kedua bahu si sulung dan berkata, "Yuk, sarapan!" Dia menggiring Chalya duduk kembali.

Setelah melihat putrinya menyantap nasi goreng. Yanti berjalan ke dapur, mengambil kotak bekal yang akan diisi untuk si bungsu.

"Kak, mampir ke sekolah adikmu dulu, ya. Kasihan dia belum sarapan tadi, botol minumnya juga nggak sempat dibawa." Yanti menyerahkan barang yang disebut.

Sekolah Bagas dan Chalya memang searah. Sejak kelas empat, si bungsu sudah tidak mau diantar-jemput lagi. Dia lebih suka naik sepeda miliknya sendiri, sedangkan si sulung sejak dia berseragam putih abu-abu juga sudah mengendarai kendaraan sendiri ke sekolah. Sebuah motor yang dirancang khusus untuk perempuan orang tuanya berikan sebagai kado pada ulang tahun yang ke 15, tahun lalu.

"Kakak berangkat, ya, Ma," pamit Chalya setelah menyelesaikan sarapan.

Yanti mengangguk. "Hati-hati, ya, Kak. Nggak usah mikir macam-macam. Fokus sama pendidikanmu aja, lupain yang lain." Dia pun memberikan senyum terbaiknya.

Begitulah seorang Ibu walau hatinya sakit, tetapi tetap menunjukkan kebahagiaan. Jika ada penghargaan terbaik seorang aktris, tentu setiap perempuan yang bergelar ibu adalah pemenangnya. Mereka selalu apik melakonkan peran, meskipun harus berbohong demi kebahagiaan keluarga terutama anak-anaknya.

Setelah mengantar kepergian si sulung, Yanti kembali masuk. Melakukan pekerjaan rumah yang belum selesai. Hal pertama adalah membereskan meja makan dan mencuci seluruh peralatan yang sudah digunakan. Selesai dengan itu, dia segera menata dan membersihkan kamar tidur anak-anak. Rutinitasnya akan berulang setiap hari dan terakhir yang dilakukan adalah mencuci pakaian.

Satu per satu baju yang akan dicuci diperiksa kantongnya. Sering kali anak-anak dan suaminya meninggalkan sesuatu di sana. Kali ini, celana sang suami yang dia pegang. Dari luar saja sudah terlihat jika di dalam kantong itu ada sesuatu karena permuakaan yang terlihat menonjol.

Tangan kanannya mulai masuk ke dalam celana, menyentuh sebuah benda yang diperkirakan kotak kecil. Yanti segera mengeluarkan apa yang ditemukan, saat itu juga reaksinya langsung berubah. Tulisan di luar kotak itu membuatnya mengerutkan kening. Beberapa detik memejamkan mata dan meraup seluruh wajah, berhenti dengan menutup mulut tak percaya.

Ya Allah semoga isi benda ini tidak seperti dugaanku.

Celana Basuki, dia masukkan ke mesin cuci. Ragu-ragu perempuan itu membuka kotak benda yang dipegang. Ujung yang mulai terlihat masih belum membuktikan apa-apa karena hasil kerja benda itu belum tampak. Detak jantung Yanti kian bergemuruh ketika netranya menangkap garis merah di sana.

Tak sabar, dia mengeluarkan seluruh isi kotak. Saat itu juga, iris pupilnya melebar, terhuyung Yanti menatap benda mungil panjang di tangannya.

Astagfirullah. Apa lagi ini, Ya Allah?

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status