Share

Bab. 7. Bertemu calon madu.

Hingga beberapa menit kemudian, aku tak bisa mengalihkan pandanganku pada pinggang ramping itu.

Siapa wanita itu?

Apa benar ia teman Mas Arman?

Atau, wanita itu adalah seseorang yang ada dalam ponselnya Ilana?

Jangan-jangan ….

"Mbak, Mbak, hello," tegur Mbak Ayu padaku, yang masih terdiam menatap punggung ramping itu.

Seketika aku terkesiap, lalu berpaling padanya.

"Eh, iya, ada apa, Mbak? Kenapa?"

"Mbak ini malah melamun, loh. Padahal dari tadi saya ajakin ngomong."

"Hihi, iya, maaf, Mbak. Malah ngelamun sayanya," ujarku tak enak padanya. Senyum kikuk pun tertarik akibat fokusku pecah karena wanita itu.

"Ya sudah, nggak apa-apa, Mbak. Saya cuma mau ngasih tau itu ada polisi yang juga mengantarkan korban ke rumah sakit ini. Siapa tahu Mbak butuh keterangan lebih jelas. Bisa ditanya langsung sama polisi itu, ya."

"Oh, oke. Terima kasih, Mbak. Saya permisi, ya."

Kuanggukan kepala padanya sebagai tanda terima kasih. Karena tak mau basa-basi, kutinggalkan ia yang masih berdiri di depan resepsionis.

"Iya sama-sama, Mbak, saya permisi juga."

Tanpa menghiraukan kalimat permisi itu, aku terus melanjutkan tujuanku. Fokusku masih tertuju pada wanita yang sekarang tengah mengobrol dengan polisi bertubuh tambun di hadapannya, di deretan kursi tunggu untuk pasien.

Dengan langkah pelan aku mendekati mereka. Jantungku tak bisa diajak kompromi hingga terus bertalu-talu. Aroma parfum wanita yang belum aku kenal itu mulai mengganggu indra penciumanku. Aroma parfumnya sangat tak nyaman untuk indra penciumanku. Rendahan sekali seleranya. 

Obrolan dari dua orang dewasa itu mulai terdengar dalam pendengaranku. Sepertinya kehadiranku belum mereka sadari. Padahal jarakku dengan mereka hanya beberapa meter saja.

"Permisi, maaf, Pak, saya mau tanya?"

Seperti mendapat komando, dua orang yang tengah memakai pakaian berbeda itu menoleh kepadaku.

Sempat terlihat oleh mataku, salah satu alis dari wanita itu terangkat. Ia seolah tengah berpikir. Apa mungkin ia mengenalku juga, kah?

"Ada apa, Mbak? Bisa saya bantu?"

Polisi berseragam coklat dengan rompi berwarna hijau terang yang melekat di dada itu berdiri, lalu mendekatiku. 

Segera kualihkan pandangan dari wanita itu. Dengan sedikit tersenyum, kuutarakan maksudku pada polisi itu. "Begini, Pak, apa benar Bapak yang menelpon saya tentang adanya korban lakalantas yang terjadi tadi siang?"

"Oh, iya, Bu, betul itu. Ibu ada apa?"

"Bisa saya tahu dimana korban itu dirawat, Pak?"

"Maaf, Mbak siapanya korban?"

"Saya istrinya, Pak. Saya ingin melihat keadaan suami saya."

Kulirik sekilas pada wanita yang mencuri pandang padaku. Sekilas aku menangkap aura pias dari wajahnya yang pucat. Sinyal kejanggalan mulai kutangkap dari ekspresinya yang menegang.

"Oh, anda istrinya. Perkenalkan, Mbak, saya polisi yang membersihkan TKP dan juga yang ikut mengantarkan korban kesini."

"Bagaimana keadaannya, Pak?"

"Begini, Mbak …."

Polisi itu mulai menerangkan kejadian kecelakaan yang menimpa Mas Arman. Detail dan berurutan ia menjelaskan semua padaku. Termasuk keberadaan wanita asing ini yang ada di TKP. Kalau bukan karena rasa perikemanusian, aku takkan sudi untuk memaafkan lelaki di depanku ini yang telah menyelamatkan suamiku.

Harusnya ia tak menyelamatkan lelaki pengkhianat itu. Biarkan saja ia mati di jalanan sana tanpa ada yang menolongnya.

Segera kuulas satu senyum terindah saat polisi itu menatapku heran. Mungkin ia berpikir kenapa ekspresiku tak sedih sama sekali. "Terima kasih, ya, Pak, sudah mengantarkan suami saya ke rumah sakit ini. Sekali lagi perkenalkan saya istri sahnya korban. Nama saya Alana. Istri satu-satunya." 

Aku jelaskan dengan sejelasnya akan statusku yang sah di mata hukum. Sengaja kata sah aku tekankan, agar wanita itu bisa mendengar dengan jelas akan posisi istri sah itu berada pada kasta tertinggi dalam rumah tangga.

"Baik, Mbak, perkenalkan juga nama saya Andri. Polisi lalu lintas yang bertugas di Pantai Parangtritis."

Lelaki yang sepertinya seumuran dengan Mas Arman itu mengulurkan tangan padaku. Kujabat tangan gendut itu dengan senyum simpul terpaksa. Keadaan hati yang lagi morat-marit tak bisa membuatku bersikap ramah. Dari awal keberadaan wanita itu disini telah membuat amarahku bertambah.

Dan aku baru menyadari sesuatu yang menarik perhatianku sejak tadi. Warna dari baju yang dipakai wanita itu sama dengan foto yang diambil oleh Ilana. Hanya rambutnya yang tampak berbeda. Rambut itu sedikit panjang dan bergelombang.

"Mari ikut saya ke dalam ruangan inapnya, Mbak. Sepertinya korban sudah selesai diperiksa." Polisi itu menunjuk salah satu pintu yang tak jauh dari loket pembayaran.

Perhatian kami teralihkan pada pintu kamar berwarna coklat yang bertulis nama bunga Dahlia. Dari balik pintu itu ada dokter dan satu perawat yang baru keluar dari sana.

"Sebentar, Pak! Maaf saya mau tanya."

Kucegah langkah lelaki itu yang akan berjalan di depanku.

Pak Andri berbalik. "Iya, kenapa, Mbak? Apa ada yang belum jelas?" tanya Pak Andri, ia menatapku dengan satu alis terangkat. 

"Begini, Pak, apa ada seseorang yang mengantarkan suami saya kesini? Maksudnya ada yang menemaninya disini selain Bapak?"

"Oh, itu... ada, ada. Mbak ini yang ikut mengantarkan korban kesini. Ia juga yang ada di tempat kejadian saat saya datang untuk melakukan olah TKP. Bahkan Mbak ini juga yang paling histeris saat pemindahan korban masuk ke dalam ambulance, dimana ada darah dimana-dimana."

"Bisa saya berkenalan dengannya, Pak?" pintaku pada Pak Polisi. Sengaja aku meminta perkenalan langsung, agar wanita itu tau bahwa aku tak bisa dianggap remeh.

"Bisa, Mbak, bisa. Mari saya kenalkan dulu. Mbak sini kenalan dulu sama istri korban. Barangkali ada yang mau ditanyakan sama Mbak ini."

Pak Andri mundur beberapa langkah. Ia membuka jalan untuk memberi akses pada wanita itu.

Tanpa mereka sadari, aku menahan amarah saat mendengar penjelasan demi penjelasan yang meluncur dari bibir Pak Polisi itu. Mati-matian aku menahan amarah agar tak meledak di rumah sakit, yang dimana banyak lalu lalang manusia di setiap ruangannya. Tatapanku semakin tajam saat wanita itu mau menghampiriku.

Ia seperti tak percaya diri akan penampilannya saat bertemu denganku. Rambutnya tampak kacau sekali. Ada beberapa jejak air mata yang tertinggal di sekitar kedua pipinya. Dress selutut itu tampak koyak di bagian roknya. Mungkin karena kecelakaan itu, ia seperti malas-malasan untuk berkenalan denganku.

"Perkenalkan nama saya Alana. Istri sah dari Mas Arman. Mbak siapa, ya? Apa kita sudah saling mengenal? Kok bisa Mbak pergi sama suami saya? Sepertinya kita belum pernah ketemu sama sekali, kan?"

Wanita itu tampak menarik napas keberatan. Sepertinya ia enggan untuk menjawabnya.

"Saya Hafsa Laurani. Teman kerja Mas Arman di kantor, Mbak. Maaf saya nggak biasa bersalaman dengan orang asing. Gatal-gatal nanti kulit saya," ujarnya sinis tanpa tahu malu. Ia bahkan bersedekap di depan dengan dagu terangkat angkuh.

Sial! Aku mendengus kesal. Uluran tanganku sengaja ia abaikan tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Oh, maaf. Tak masalah itu. Saya baru tahu ada orang yang alergi bersentuhan dengan mahramnya. Tapi malah sebaliknya, ia tak alergi saat bersentuhan dengan lawan jenisnya ... seperti suami saya mungkin. Sangat disayangkan itu, ya, Pak," balasku telak yang mampu membuatnya melotot kepadaku.

Setelahnya, aku menarik tangan yang melayang bebas di udara. Aku balas dengan mengangkat dagu sebagai tanda, bahwa aku tak gentar dengan gertakannya itu.

"Mari, Pak, kita masuk ke ruangan rawatnya. Saya perlu membawa suami saya pulang jika keadaannya tak parah. Anda bisa ikut ke dalam. Karena ada sesuatu yang harus diselesaikan."

Kutarik langkah menuju ruang rawat itu yang ada di belakang meja resepsionis. Lecutan amarah semakin terbakar. Wanita itu seakan tak takut dengan keberadaanku di rumah sakit ini. Sekali-kali ia harus diberikan shock terapi agar tau artinya membalas dengan elegan.

Entah janji apa yang sudah diberikan oleh Mas Arman pada wanita itu. Ia seperti tak ada takut sama sekali padaku.

Sebelum sampai pada kamar rawat inap itu, aku berpapasan dengan seorang dokter lelaki beserta satu perawat di sampingnya. Karena ingin tahu keadaan Mas Arman di dalam sana, kucegah langkah mereka yang tengah mengobrol cukup serius dengan membawa satu tabel buku berukuran sedang di tangannya.

"Maaf, Dok, boleh saya bertanya sedikit?"

"Maaf dokternya sibuk, Mbak. Tolong antri dulu kalau mau bertanya, ya." 

Satu perawat yang memiliki wajah judes itu menjawab pertanyaanku. Dasar tak sopan.

"Sebentar saja, Mbak. Nggak akan lama."

"Nggak bisa, Mbak. Harus antri kalau mau ketemu dokter," tolak perawat itu tak mau mengalah.

"Tapi …."

"Sudah tak apa, Sus. Saya bisa menunggu sebentar. Ada perlu apa, ya, Bu?" Akhirnya dokter itu menyela obrolan kami. Ia terlihat menggeleng dengan sikap perawatnya itu.

Aku sedikit menghirup napas lega. Dokter itu mau mengerti dengan keinginanku.

"Bagaimana keadaan pasien di dalam Dok? Apa keadaannya sudah membaik. Saya istrinya jika dokter ingin tau."

Sengaja aku memperkenalkan diri kembali agar dokter itu tak bertanya lagi. Aku tak ingin membuang waktu untuk mereka yang tak bisa menghargai orang lain.

"Oh, begini, Bu. Keadaan pasien di dalam sudah kami tangani. Tak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan. Hanya ada beberapa jahitan saja pada lengan dan kakinya yang sobek terlalu dalam."

"Jadi, hari ini sudah boleh pulang pasiennya, Dok?"

"Tunggu dua hari lagi, ya, Bu. Jika perkembangannya sudah membaik boleh pulang. Sekarang Ibu tinggal mengurus ke bagian administrasinya saja."

Dokter yang bernama Heru di name tagnya itu menunjuk meja loket pembayaran. Ia juga menjelaskan pelunasan biaya harus di resepsionis yang ada di seberang ruang rawatnya Mas Arman.

"Terima kasih a, ya, Dok, atas bantuannya. Setelah ini akan saya urus segera administrasinya. Saya masuk, ya, Dok."

"Baik, Bu. Silahkan. Kami permisi. Jika ada yang urgen bisa segera menghubungi resepsionis, ya, Bu. Terima kasih."

Dokter Heru kembali melanjutkan langkah beserta perawatnya yang tertunduk malu. Pasti perawat itu seperti tak ada tulang, yang hanya sekedar untuk berdiri tegak di atas lantai. Pasti nyalinya ciut karena ditegur di depan keluarga pasien.

Karena tak ingin membuang waktu, kubuka perlahan pintu berwarna coklat tua di depanku. Bersamaan dengan pintu yang terbuka lebar, suara lelaki yang telah mengucap ijab kabul atas namaku beberapa tahun lalu itu terdengar.

"Kamu sudah datang, sayangku Hafsa. Sini dong. Mas masih kangen, nih. Ranjangnya muat kok untuk tidur berdua disini. Kita lanjutkan lagi yang tertunda tadi."

Seketika aku melotot saat mendengar kalimat itu. Dengan tak tahu malunya lelaki itu mengucap kalimat itu dengan jelas. Amarahku semakin naik  ketika Pak Andri menatapku perihatin.

Sekilas aku bisa melihat wanita itu tersenyum sinis. Ini tak bisa dibiarkan. Mas Arman berani mempermalukan aku di depan selingkuhannya.

Kugenggam erat handle pintu kamar inapnya.

"Hallo, Mas, apa kabar hari ini? Sudah baikan, ya? Berarti sudah bisa pulang dong hari ini."

Punggung lelaki yang tengah berbaring membelakangi pintu masuk itu menegang. Ia cepat berbalik ke arah pintu, dimana kami masih menunggu disana.

"Astaga! Alana!"

Selanjutnya, ia terlonjak kaget hingga hampir terjatuh dari ranjang pesakitan itu. Bola matanya melotot sempurna. Ia menelan saliva susah payah saat melihat kehadiranku tepat di depan matanya.

Senyum sinis aku persembahkan pada wajah pucatnya di sore hari ini. Ia pasti tak menyangka dengan kedatanganku sekarang.

Mampus kau, Mas!

"Mari kita lanjutkan permainanmu, Mas. Siapa diantara kita yang akan pergi dengan terpincang-pincang," bisikku dalam hati. Menatapnya yang seperti pencuri ketakutan, membuat hatiku tertawa.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status