Bagaimana rasanya berjuang sendirian dengan kaki pincang sebelah. Saat kau berusaha sekuat tenaga, disaat yang bersamaan pula semangat itu dipatahkan oleh orang yang engkau kasihi. Alana harus menerima sakit hati dan fisik luar dalam dari suaminya sendiri. Baginya tak dinafkahi itu hal biasa. Tapi kenyataannya, pengkhianatan cinta pun ia terima jua. Mempertahankan pernikahan dalam kebohongan itu bukanlah mudah. Dirinya harus berpura-pura dalam setiap kondisi yang ada. Apakah benar suaminya real berselingkuh ? Atau ada dendam yang ia sembunyikan. Entahlah. Akan ada waktu yang menjawab itu semua.
View More"Permisi, Bu! Pesan antar paket. Apakah ada orang di rumah?"
Kuhentikan gerakkan spatula yang sedang beradu dengan kuali di atas kompor. Pendengaranku menangkap suara teriakan dari depan rumah. Paket siapa itu yang datang di siang bolong begini."Permisi! Paket, Bu."Aku menoleh ke belakang pada arah pintu tengah, yang menjadi penghubung antara ruang tengah dan dapur di rumahku. Suara itu terdengar kembali dengan mengucapkan kata yang sama."Permisi, Bu! Paket.""Iya, sebentar! Tunggu!"Kutinggalkan olahan ikan pindang patin yang belum matang di kuali tanpa mengecilkan api kompornya. Suara itu terus berteriak tanpa menyadari bahwa aku mulai terganggu akan suara cemprengnya itu."Berisik! Jangan teriak terus! Saya nggak budek!"Satu teriakan akhirnya keluar dengan bersamaan terbukanya pintu rumah yang kubuka lebar. Aku melotot pada dua lelaki yang berdiri di depan rumah."Maaf, Bu, kami pikir tak orang di rumah. Jadi kami .…""Walaupun nggak ada orang di rumah ini, ya, jangan teriak-teriak, dong! Ganggu tetangga yang lain juga, Mas! Banyak yang istirahat di kompleks ini kalau siang hari tau!" Kupotong cepat satu kalimat itu yang belum selesai terucap.Aku menatap kurir itu dengan kesal. Kulipat siku di depan dada, menyandarkan bahu pada bingkai pintu, serta mengangkat dagu untuk memberi kesan galak pada kurir dari ekspedisi ternama."Sekali lagi maaf, Bu, kami tak bermaksud seperti itu. Kami hanya ingin paket ini sampai di alamat yang tepat. Soalnya ini paket mahal takutnya diambil orang kalau ditinggal begitu saja." Lagi, lelaki bernama Sabrang yang tertulis di seragamnya itu menjelaskan."Ya udah saya maafkan. Tapi jangan diulangi di tempat lain, Mas. Itu nggak sopan. Penghuni di perumahan ini tak suka dengan suara keributan. Lagian itu, kan, ada bel, sih, kenapa tak tekan belnya saja. Kan, praktis. Jadi tak perlu berteriak kek di hutan." Satu telunjuk aku angkat pada dinding di samping pintu rumah.Kedua lelaki berkulit sawo gelap itu pun kompak melihat keatas, kemudian satu tarikan senyum malu-malu mereka sematkan padaku. Aku hanya menggeleng. Bel rumah sebesar dua jari itu tak nampak oleh mereka."Lalu, paket apa yang kalian kirim ke rumah saya?"Aku menelisik pakaian yang melekat pada keduanya. Warna merah mencolok yang menjadi dasar pada seragam yang mereka pakai, celana bahan berwarna hitam, yang di lengkapi dengan sepatu hitam khas kurir dari ekspedisi JNA."Kami dari ekspedisi JNA, Bu. Apa benar ini alamat rumahnya Bapak Arman? Kami ingin mengantarkan paket pesanan beliau dari butik.""Butik. Paket apa itu? Rasa-rasanya kami tak ada pesan apapun dari butik, Mas. Salah alamat kali."Aku mulai mencecar mereka yang membuat rasa penasaranku membuncah. Kutarik langkah untuk berdiri pada tepian teras, melihat ke arah mobil box di jalan.Keduanya menatapku seolah tengah berpikir. Setelahnya, Basrang mengecek ulang nota di tangannya. Dahinya tampak berkerut. Sesekali ia menatapku sebentar, lalu melihat nomor rumah, dan fokusnya kembali lagi pada nota yang masih ada di tangannya."Dalam nota ini alamat yang tertulis benar di rumah ini. Untuk penerima atas nama Bapak Arman Pramudya. Dan untuk pengirimnya atas nama Luna Sandoro. Dengan isi paket satu pasang baju pengantin dari Butik Vinatoone. Benarkan Bapak Arman Pramudya tinggal disini, Bu?"Kalimat penjelas itu membuat rasa terkejutku semakin naik. Vinatoone Butik katanya."Apa, Mas? Sepasang baju pengantin? Nggak salah alamat itu?" tanyaku balik untuk meminta penjelasan pada mereka.Dadaku seketika berdegup kencang saat kalimat penjelas itu mulai merasuk dalam otak."Iya sepasang baju pengantin, Bu. Dari Vinatoone Butik.""Vinatoone Butik, yang beralamat di Gang Sarilayu yang tak jauh dari komplek sini, kan?""Iya, benar, Bu."Kusambar satu nota yang masih ada di tangan Sabrang. Aku baca satu per satu kalimat yang tersusun rapi di dalamnya. Semua keterangan pada kertas itu sangat membuatku terkejut. Benar. Isi paketnya gaun pengantin.Milik siapa?Mendadak kedua kakiku mulai goyah. Seakan-akan tak ada lagi kekuatan di dalamnya. Rasanya hatiku patah-patah karena beban yang mendadak masuk dalam rumah tanggaku."Astagfirullah. Ya Tuhan ini cobaan apa." Refleks aku berpegangan pada tiang penyangga di teras. Kedua tungkai mendadak lemas tak mampu membuatku berdiri lama."Aduh, Bu, hati-hati. Ibu nggak apa-apa? Mari saya bantu berdiri." Sabrang dengan cekatan menahan tubuh ini, agar tak merosot ke lantai."Duduk dulu, Bu. Hati-hati kakinya kebentur meja."Kedua kurir itu menuntunku untuk duduk pada kursi berbahan plastik yang ada di teras rumah."Sudah nggak apa-apa, Mas. Terima kasih, ya!"Mereka mengangguk dengan menatapku iba. Aku menghirup udara berulang kali untuk menormalkan debaran di dada. Rasa tak nyaman di dalamnya telah merembet pada sekujur tubuh, hingga sekedar untuk duduk pun aku tak sanggup."Bawa kesini paketnya, Mas! Letakkan di sana saja!""Baik, Bu."Kuarahkan mereka untuk menyimpan paket itu di pojok teras, di dekat pintu masuk. Karena enggan untuk membawanya masuk ke dalam rumah, aku putuskan untuk menggantung satu pasang gaun pengantin yang masih terbungkus plastik bening itu pada jemuran, yang biasa kupakai untuk menjemur pakaian.Kuremas kepala yang tertutup jilbab segiempat berwarna navy. Suamiku sendiri mendapat paket gaun pengantin dari butik ternama.Aku tergugu dalam kesepian. Fakta itu sungguh sangat mengejutkan.Suara decit ban mobil yang bergesekan dengan paving block di halaman rumah telah menarik kesadaranku ke permukaan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sosok yang sedari tadi menjadi peran utama dalam pikiranku, kini sudah ada di depan mata.Lelaki itu tampak terburu-buru ketika keluar dari mobil. Langkah panjang ia lakukan setelah membanting pintu mobil dengan kuat. Dari jarak beberapa meter, aku bisa melihat wajah kepanikan disertai rahang yang mengetat kuat.Aku semakin berdecih, ketika Mas Arman nekat masuk ke teras yang telah di pasang pagar keliling tanpa melepas sepatunya."Mana paketku, Al? Apa kamu ada menerimanya?"Tanpa basa basi, kalimat itu akhirnya terlontar dari bibir tebalnya."Paket apa yang kau tanya, Mas? Aku tak paham dengan maksudmu."Dalam kepura-puraan, kualihkan pertanyaan itu tanpa senyum yang tertarik."Omong kosong apa itu, Al! Tadi aku berpapasan sama mobil ekspedisi JNA di simpang gang lima. Pasti mobil itu ke rumah ini, kan! Mana paketku!"Teriakan itu mulai menggelegar seperti elang yang kelaparan.Tatapan elangnya yang dulu penuh kehangatan, kini penuh akan aura kebencian terhadap diri ini yang pernah melahirkan satu anak perempuannya."Itu gaun siapa, Mas? Apakah benar kamu yang memesannya? Untuk apa?"Masih dalam kepura-puraan, aku berusaha tenang saat melempar tanya."Bukan urusanmu! Kau tak perlu tahu tentang gaun itu!"Seperti bensin yang tersulut api, amarahku naik seketika. Aku bangkit dari kursi dengan kecepatan beberapa detik."Aku ini istrimu, Mas! Aku berhak tahu tentang itu! Kamu jangan macam-macam, ya!" Kutarik paksa pundaknya untuk berbalik ke arahku.Kami saling beradu pandang. Aku takkan pernah takut melawan kebathilan yang terjadi dalam rumah tanggaku. Angkara murka harus kubalas dengan keji."Persetan dengan statusmu! Aku tak peduli! Kau pikir kau itu siapa berani mencampuri semua urusanku, hah! Minggir! Aku mau pergi!"Seperti buta dalam kegelapan, lelaki yang telah mengucap kalimat ijab kabul di sepuluh tahun yang lalu itu mendorong bahuku tanpa perasaan."Aww!"Aku menatapnya dengan kilatan api yang semakin menjadi. Sungguh tak kusangka, kesadaraannya yang seolah tak ada di rumah. Ia semakin tak memperdulikan suara kesakitanku yang terbentur dinding rumah.Langkah panjang itu terus ia tarik untuk meninggalkan rumah, serta membawa sepasang gaun pengantin itu ke dalam mobil. Sekuat tenaga aku berusaha bangkit untuk mengejarnya.Penjelasan. Hanya penjelasan yang kuinginkan saat ini juga atas perlakuannya hari ini. Tertatih-tatih aku berusaha mendekati mobilnya yang telah mundur ke arah jalan gang kompleks, hingga suara deru mobinya yang mulai menghilang tak menyurutkan langkahku untuk terus mengejarnya sampai di ujung gang."Keterlaluan kau, Mas! Lihat saja! Akan kubalas semua perlakuanmu hari ini! Camkan itu! Takkan aku biarkan kau hidup tenang setelah ini! Arggh! Sialan!"Umpatan demi umpatan terus kulontarkan akibat kekecewaan di hati. Kukepalkan dua telapak tangan dengan kuat. Rasa sakit di hati takkan aku biarkan menguap begitu saja. Sakit ini akan aku perjuangkan untuk kebahagian yang akan datang, walau harus hidup tanpanya.Mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, telah menarik ingatanku dalam kilasan masa lalu yang telah terjadi sekian lama.Ternyata inilah jawaban atas tiadanya restu dari pernikahanku.♡♡♡♡♡♡"Kamu pikir kamu siapa bisa mengaturku, Mas! Sebelum perselingkuhanmu terbongkar, aku wajib menuruti semua perkataanmu sebagai suami. Tapi kali ini, itu semua sudah aku hapus setelah kedokmu terbongkar! Tak ada maaf lagi untukmu mulai sekarang ini!"Aku terus menggrutu setelah keluar dari ruang inap di belakangku. Sudah bisa aku pastikan mereka takkan bisa tersenyum lagi setelah semua pembalasanku terjadi. Wanita yang dulu mereka anggap baik, sudah tak ada lagi. Telah aku hapus semua rasa kebaikanku untuk kalian."Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong! Gimana, sih! Jadi sakit, kan, sikuku terbentur lantai!" Aku berteriak kesal karena tersungkur ke lantai. Entah siapa yang menabrak bahuku dari belakang.Baru juga keluar dari ruangan itu, malah terkena sial. Sepertinya karena kebanyakan bergaul dengan mereka, jadi kesialan terus mengikuti aku. Mereka semua memang pembawa sial.Pergelangan tanganku sakit seketika, karena menahan bobot tubuh yang hampir saja mencium lantai berkeramik marmer.
"Mau apa kamu, hah!" Seketika mataku mendelik, saat Liana ingin menyambar ponselku. Secepat kilat kusembunyikan benda canggih ini ke belakang punggungku, agar dia tak bisa sembarangan mengambilnya. Tatapannya yang dipenuhi dengan kobaran api yang menyala-nyala, seolah ingin menerkamku saat ini juga. Netranya yang mulai basah, seakan menolak fakta bahwa yang ada dalam foto dan video itu bukan dirinya. Liana memang pandai memutar keadaan. Dia bak artis pemeran utama, yang sangat lihay menjalankan perannya. Sejenak kubalas tatapannya yang pintar bersandiwara itu dengan senyum sinis tak bersahabat. Dia pikir bisa mengelabuiku. "Bawa sini ponsel itu!" Liana semakin berani membentakku. Namun, perlakuannya itu tak mampu membuat pertahananku runtuh. Hatiku sudah sekeras batu terhadap semua keluarganya. "Mimpi! Jangan harap aku akan memberikannya! Kamu pikir kamu siapa, hah!" Liana semakin meraung sejadi-jadinya. Kepalan tangannya memukul dinding berulang kali, seolah i
Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab
"Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi
Di sela meeting yang masih berjalan, aku masih menarik sudut bibir secara diam-diam. Ternyata paket itu sudah sampai lebih cepat dari dugaanku. Kalian pasti terkejut atas datangnya paket terbaru itu. Tentu benak kalian takkkan mampu menerima sebuah kenyataan, yang dimana kenyataan itu lebih hina dari sekedar berzina. Bisa aku pastikan, jika isi paket itu tersebar ke semua orang, kalian semua pasti merasa tak ingin lagi hidup di dunia ini. Sungguh keberuntungan yang sangat menguntungkan. Baru kali ini aku merasa bangga karena mendapatkan keberuntungan itu. "Aww!" sentakku terjaga dari lamunan indah itu. Kugerakkan leher ke sebelah kiri, dimana Mbak Vina berada yang telah mencubit pinggangku. Aku menggeram marah. Bisa-bisanya ia menyubitku disaat meeting dengan tamu penting. "Sakit bego, Mbak!" bisikku kesal padanya, yang dibalasnya dengan membeliakkan mata beloknya. "Makanya kalau meeting itu yang serius! Jangan cuma plonga plongo doang kamu, ya!" hardiknya padaku, yang ketahuan m
Senyum lepas aku tarik untuk pembalasanku kali ini. Kalian yang memulai untuk melibatkan Bapakku. Jadi, jangan salahkan aku yang ikut melibatkan anggota keluarga kalian.Kulepas ponsel dari kabel charger yang belum terisi penuh. Menghubungi seseorang pagi ini jauh lebih penting, dari sekedar mengisi baterainya. Ibu jariku membuka WA untuk mencari nomor ponsel, yang baru dikirim Ilana barusan.Segera aku telepon nomor berjumlah delapan digit itu."Hallo, selamat pagi. Apa benar ini dengan kurir ekspedisi JNA?" Satu salam tanda kesopanan aku lontarkan pada admin sebuah ekspedisi."Iya, betul, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"Admin itu menjawab dengan suara khasnya yang lembut.Sebelum menjawab, aku menuliskan alamat pada amplop yang sudah aku tutup rapat dengan double selotip. "Bisa ambil paket ke rumah, Mbak. Saya mau mengirimkan sebuah amplop pagi ini."Kembali aku tersenyum lepas saat alamat itu sudah tertulis rapi dengan huruf capslock bertinta tebal."Bisa, Mbak. Kebetulan hari ini
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments