Share

Bab. 8. Mengusir Wanita itu.

"Alana. Ka--mu kenapa bisa disini? Si--apa yang mengabari kamu kalau Mas disini?" Mas Arman bertanya dengan terbata-bata. Wajah piasnya membuatku gemas ingin memakannya. 

Pintar sekali ia berakting di depanku.

Kalimat terbata itu, hampir saja membuatku tertawa keras. Kalimat itu terdengat menggelikan di telingaku. Kenapa Mas Arman jadi sepanik itu? Padahal kalimatnya yang terlontar itu sangat begitu romantis untuk wanita di belakangku.

Lihatlah bola mata itu. Ia terus bergerak ke kanan ke kiri seolah mencari kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri.

Apakah ia tak menyadari dengan kehadiran dua orang yang berdiri di pintu kamar inapnya?

Atau ia gagal fokus karena kebaradaanku saat ini?

Kubawa langkah untuk masuk dalam kamar inapnya yang berukuran 7x7 m persegi. Tampak besar, namun terasa sepi. Kupindai seluruh ruangannya yang berwarna putih gading. Aku terus melangkah, memutari ranjang dengan mengetuk-ngetukkan jari-jariku di pinggiran ranjang perawatannya.

Dari jarak tiga meter aku bisa mendengar degub jantungnya yang berdetak lebih kencang. Mati-matian aku menahan tawa. Ia berusaha menetralkan wajah pucat itu agar tak ketahuan.

Ternyata ruangan inapnya cukup luas. Ada delapan ranjang yang mengisi di dalamnya. Beruntung hanya Mas Arman yang mengisi di dalamnya, sedang yang lainnya kosong. Dengan begitu aku bisa bebas mengatakan apapun tanpa ada yang mendengar dari orang lain. 

"Wajahmu kenapa, Mas? Kenapa pias begitu? Apa ada yang sakit? Atau kamu kaget melihat kedatanganku disini? Atau ... kamu sedang menunggu seseorang, kah? Pasti kamu tak berharap dengan kedatanganku disini, kan?" 

Dalam kalimat cercaan itu, bisa kulihat wajahnya semakin pucat seperti warna kapas yang melayang di udara. Aku dekatkan wajah pada dagunya yang ditumbuhi rambut halus. Air mukanya semakin pucat pasi saat napas kami bertemu.

"Ngapain kamu natap begitu? Mas biasa aja, sih. Justru Mas menunggu kedatanganmu, Sayang. Siapa yang mengabari kamu kalau Mas ada disini? Aleeya sama siapa di rumah? Anakku nggak rewel, kan?"

Dalam kepanikan, ia masih bisa mengumbar kalimat kebohongan. Aku hanya berdecih lirih. Perhatiannya sangat terlihat palsu ketika menyebut nama anakku. Pasti ia berusaha mati-matian untuk menutupi rasa ketakutan itu.

Ekor matanya terus mengikuti kemana langkahku pergi. Tak satu detik pun ia lepaskan tatapan ketakutan itu dari wajahku. Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Masuk, Pak! Sudah saatnya Bapak meminta keterangan pada korban. Sepertinya korban sudah cukup sehat untuk dibawa ke kantor polisi." Aku melirik pada pintu, dimana ada dua orang yang berdiri disana.

Hingga dalam sekejap kemudian, Mas Arman tambah blingsatan. Ia memalingkan wajah pada pintu yang masih terbuka lebar. Tatapannya semakin melebar saat Pak Polisi dan wanita itu memasuki ruang rawatnya yang memiliki jendela satu di dekat pintu.

Aku menelisik dua wajah berbeda jenis kelamin itu. Yang satu menatap tanpa berkedip. Lalu, wajah lainnya tampak tertunduk takut seolah tak saling mengenal satu sama lain.

Ketika dua pasang mata itu bertemu pandang, Mas Arman berusaha memberi isyarat pada wanita itu dengan mengedipkan satu matanya. Sepertinya aku perlu memberi sedikit kesadaran, bahwa perlakuannya itu sangat tak menghargai aku sebagai istri sahnya.

Ketika dua pasang mata masih saling menatap, kutundukan kepala untuk melihat di ujung ranjang. Di bawah mataku ada seonggok kaki berbalut perban sedang terkulai tak berdaya. Mendadak satu ide berilian melintas di kepala. Sepertinya tak mengapa jika pikiran buruk itu aku realisasikan.

Dalam pelan, aku mulai menekan luka pada kaki sebelah kirinya yang dibalut perban putih. Kemudian dengan bersamaan, aku duduk di ujung ranjang yang seolah tak menyadari keberadaan kakinya yang terluka.

"Aww, sakit, Al. Awas! Kaki Mas kamu dudukin!"

"Eh, ada apa, Pak?"

"Kenapa, Mas? Apanya yang sakit?"

Refleks aku segera bangkit ketika dua suara diseberangku saling bersahutan saat mendengar teriakan Mas Arman. Apa katanya tadi? Sayang. Berani sekali wanita itu memanggil seperti itu. 

Tanpa rasa bersalah aku hanya meringis pelan. "Uups, maaf, Mas. Aku nggak lihat. Sakit, ya .... makanya kalau lagi sakit itu matanya jangan kemana-mana. Jadi kesenggol, kan, lukanya."

Kembali kuusap luka di pergelangan kakinya, tak lupa dengan menambah sedikit tekanan pada luka itu.

"Sudah, sudah, Al. Jangan dielus terus. Lama-lama sakit, nih. Sudah, ya. Kamu minggir sana."

Kembali Mas Arman menepis tanganku. Aku hanya menghendikkan bahu tak peduli. Sakit pada lukanya tak seberapa dengan luka di hatiku.

"Iya, iya, maaf lagi, ya. Ya udh aku nggak ngurusin lukamu lagi."

Kutarik langkah mundur ke arah sebuah lemari, yang ada di sebelah ranjangnya. Aku biarkan ia terus meringis menahan sakit. Sepertinya ia memang kesakitan karena ulahku itu.

Perlahan ia memindahkan kaki itu di pinggiran ranjang. Dengan wajah masam ia menggerutu kesal. "Lihat-lihat, dong, Al, kalau mau duduk, kan, ada kaki Mas disitu. Sakit tau." Luka itu kembali ia usap dengan perlahan.

Tanpa rasa malu, ia merengek seperti anak kecil kehilangan mainannya.

"Lebay, Mas, gitu saja sakit. Sakitmu itu nggak seberapa dengan sakit di hatiku," balasku sengit.

"Apa maksudmu?" balasnya pura-pura tak mengerti.

Aku balas melotot padanya. Ia sengaja bersikap seperti itu supaya namaku jelek di depan wanita itu. 

Rasa tak suka semakin menggulung-gulung di dada. Wanita itu jadi ada kesempatan untuk meminta perhatian kepadanya.

"Sudah, Bu, sudah. Kasian Pak Arman. Pasti masih sakit itu lukanya. Sabar, ya, Pak, sabar. Semoga cepet sembuh, ya, lukanya," timal Pak Andri. Lelaki itu mulai iba dengan Mas Arman yang memasang wajah memelas.

"Sudah, nggak apa-apa, Pak. Saya cuma kaget saja tadi. Makanya agak sakit."

"Ya sudah kalau gitu. Saya bisa mulai meminta sedikit penjelasannya tentang kecelakaannya tadi, Pak. Hanya sebentar untuk melengkapi laporan kami ke kantor. Supaya Bapak bisa segera pulang ke rumah."

"Bisa, Pak, bisa. Silahkan. Saya bisa memberi keterangan sedikit-sedikit. Tapi jangan banyak-banyak, ya, Pak. Saya masih sering pusing jika dibawa mikir terus." Mas Arman menjawab sambil memperbaiki posisi duduknya.

Satu bantal guling ia sisipkan antara punggung dan sandaran ranjang. Mungkin punggungnya terasa kaku karena sandara ranjang itu keras. Ya syukurin, Mas. Siapa suruh kecelakaan.

"Eheem, eheem." Aku berdehem cukup keras untuk menegur wanita itu. Ia mulai terang-terangan menunjukan perhatiannya pada Mas Arman. 

Ia sengaja memberikan tisu pada lelaki itu. Dasar sok perhatian.

Sialan memang! Seperti minta dikasih satu tamparan wanita ini biar kapok. Segera kurebut bantal yang sudah ada di tangannya. Ia seolah punya hak untuk melayani Mas Arman di rumah sakit ini.

"Sini biar saya saja, Mbak. Disini ada istrinya. Jadi nggak perlu bantuan kamu. Minggir." Kudorong ia sedikit kasar agar menjauh dari ranjang.

"Al." Mas Arman menegurku.

"Apa? Wanita ini harus tahu gimana bersikap kepada yang bukan mahramnya. Itu diharamkan dalam islam."

"Dia hanya membantu."

"Membantu membayar biaya perawatanmu saja l itu lebih mulia, Mas," hardikku tak mau kalah.

Berani sekali ia membelanya. Aku melirik sinis wanita itu. Ia pasti besar kepala, karena mendapat pembelaan dari Mas Arman.

"Awas! Jangan berani macam-macam di depanku," ancamku kembali tak peduli.

Kutarik mundur langkahku untuk duduk di sofa ujung. Marah-marah sambil berdiri itu lelah. Kalian telah menguras tenagaku.

"Bisa kita mulai? Saya tak banyak waktu untuk mendengarkan pertengkarang kalian. Ini di rumah sakit, Bapak, Ibu. Tolong dipahami, ya."

Intrupsi Pak Andri kembali membuat kami berhenti berdebat. Aku mendorong kaki meja karena kesal.

"Silahkan dilanjut, Pak."

Pak Andri mulai meminta keterangan. Semuanya ia tanya dengan detail. Kulihat Mas Arman tampak terbata-bata saat menjawab. Pasti ada yang disembunyikan darinya. 

Sesekali aku memperhatikannya yang selalu mencuri pandang padaku, lalu bergantian pada wanita itu. Rasanya ingin sekali aku menjambak rambut keduanya yang seperti remaja jatuh cinta.

Aargh! Awas kau Arman. Tunggu pembalasanku.

"Ok. Karena keterangan sudah lengkap saya permisi, ya, Pak. Semoga cepat sehat, ya."

"Baik, Pak, hati-hati di jalan."

Akhirnya, hanya kami bertiga yang ada di ruangan rawat ini. Wanita itu masih setia berdiri di pojok ruangan. Sepertinya ia punya banyak nyali untuk berlama-lama disini.

"Siapa dia, Mas?"

Aku mulai mengintrogasi.

"Siapa?" 

Mas Arman menatapku. Ia bersiap untuk berbaring kembali di ranjang.

"Wanita itu siapa?" Kutekan kalimat itu, agar ia tak meremehkan aku.

Kuangkat dagu untuk menunjuk wanita yang bernama Hafsa. Ia menggenggam erat ujung roknya, seperti untuk mengurangi rasa gugupnya. Kemana keberaniannya saat ada Pak Andri disini.

"Mas tak kenal."

"Apa?" Hafsa mendelik padanya.

"Apa? Kan memang kita tak kenal. Dia hanya menolong Mas di jalan, Al. Selebihnya tak kenal."

Mas Arman enteng mengeluarkan kalimat itu. Aku tersenyum sinis. Wajah wanita itu memerah seperti menahan gejolak amarah yang mulai menggelung di dada.

"Ya sudah kalau tak kenal. Kamu silahkan keluar dari sini. Kedatanganmu tak ada gunanya disini."

"Al."

"Mbak."

"Apa? Benarkan omonganku. Ngapain menyimpan sosok tak kenal diantara kita. Buang-buang waktu percuma. Silahkan keluar dari sini! Masih ingat dengan pintu keluarnya, kan, Mbak Hafsa?"

Kembali kuangkat dagu ke arah pintu. Tanpa berkata apapun wanita itu keluar setelah menghentakkan kaki dengan kesal.

Aku tersenyum mendengar kalimat tak kenal itu.

Permainan akan segera dimulai, Mas.

"Akan kupastikan kau takkan menang melawanku, Mas. Cinta itu akan memusnahkan kesenanganmu."

Bersambung.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status