Home / Rumah Tangga / Gaun Pengantin Untuk Maduku / Bab. 6. Kabar Kecelakaan.

Share

Bab. 6. Kabar Kecelakaan.

Author: Dwiratna4005
last update Last Updated: 2023-01-16 19:19:24

Bab. 6.

Seperti pepatah berkata, seenak-enaknya tinggal dirumah saudara, masih lebih enak tinggal di rumah sendiri. Begitulah yang seperti aku rasakan jika sudah ada di rumah Ibu. Akan terasa nyaman untuk memejamkan mata, namun akan terasa malas untuk hanya beranjak sebentar saja.

Seolah-olah aku akan lupa waktu, dan lupa segalanya karena kenyamanan yang aku terima. Walau sudah berkeluarga dan memiliki satu keturunan, Ibu tak pernah membandingkan aku dengan Ilana. Kasih sayangnya masih sama seperti yang dulu.

Mendadak rasa dilematis menyerangku untuk enggan kembali ke rumah sendiri. Bahkan, untuk hanya sekedar melanjutkan perjalanan ke butik yang jaraknya hanya beberapa kilo pun aku rasanya malas. 

Hingga, kubiarkan jarum pendek itu berlalu begitu saja tanpa bisa kucegah. Aku masih terlalu nyaman untuk beranjak dari dudukku di meja makan.

Sayangnya, yang namanya hidup harus tetap berlanjut. Jika berlanjut bermalas-malasan, maka aku akan ketinggalan di masa depan. Pukul empat sore telah memaksaku untuk segera pulang ke rumah.

Ini semua karena ada beberapa jahitanku yang sudah mepet waktu untuk segera diselesaikan. Dengan mengendarai motor sendiri, kugendong Aleeya di depan. Layaknya seperti ahli, aku sudah lincah membawa motor dengan seorang anak kecil dalam gendongan.

Setelah beberapa menit bergelung dengan berbagai asap kendaraan dijalanan, aku dan Aleeya sudah sampai di rumah sendiri, di jam lima sore. Aku masuk ke dalam rumah melalui pintu samping yang ada di garasi. 

Susah payah aku masuk ke rumah karena ada Aleeya yang tertidur kembali dalam gendongan. Aku mengerutkan dahi ketika melintas di ruang keluarga yang terlihat sedikit berantakan. Di sofa berwarna abu muda yang ada di pojok ruangan, aku melihat tas ransel Mas Arman tergeletak di sana.

Kenapa tas kerja Mas Arman sudah ada di rumah?

Seharusnya jam segini lelaki itu masih di kantor?

Karena tak ingin dilanda rasa penasaran, aku segera masuk ke kamar Aleeya yang ada di lantai satu. Kutidurkan ia di sana agar lebih nyaman.

Setelah merasa ia nyaman dalam tidurnya, aku kembali ke ruangan keluarga untuk mengecek tas itu kembali. Kuperhatikan resleting tasnya yang terbuka setengah. Ada sesuatu yang menyembul keluar. Seperti sebuah majalah. Tanganku meraih sesuatu yang menyembul keluar dari tas itu.

Ternyata benar. Ini sebuah majalah. Edisi khusus gaun pernikahan. 

Ini ada apa lagi? Kenapa ada majalah gaun pengantin di rumahku?

"Astagfirrulloh."

Seketika aku jatuh terduduk di sofa. Kabar mengejutkan itu semakin membuatku tersadar. Bahwa, lelaki itu memang serius ingin menikah lagi. 

Mendadak aku mengusap wajah karena frustasi. Nyatanya Berpura-pura kuat itu memang melelahkan.

Kuletakkan kembali majalah itu pada meja kaca berbentuk persegi. Foto majalah dengan tanggal penerbit di bulan Juni berhasil kuambil. Segera aku kirim foto itu pada adikku untuk disimpan sebagai bukti selanjutnya.

Ketika aku masih asyik membolak-balik halaman majalah itu, mendadak mataku menyipit, ada satu baris kalimat yang sepertinya sengaja ditulis dengan tinta berwarna hitam pada pojok sampul di sebelah kanan majalah. 

Satu baris kalimat itu tertulis ….

'25 Maret 2023, Wedding Party Indoors, in Mojokerto. Jawa Timur.'

Itu tanggal apa? Apa tanggal pernikahan, kah?

Sial! Majalah gaun pengantin itu membuat pikiranku tak fokus.

"Eh!"

Aku terlonjak kaget. Mendadak ponselku yang tergeletak di meja bergetar hebat. Kutatap layar ponselnya yang menyala terang. Ada satu nomor tanpa nama menari-nari disana. 

Ponsel yang terus berdering itu, aku ambil dari atas meja. Kunyalakan loudspeaker karena malas menempelkan di telinga. 

"Iya, selamat sore."

Aku menjawab setelah satu suara menyapa di ujung telepon begitu panggilan terbuka.

"Ini dengan Mbak Alana?"

Suara khas lelaki menjawab kembali pada telepon yang masih tersambung.

"Iya, saya sendiri. Ini dengan Bapak siapa?"

Tanpa basa-basi, kulontarkan tanya pada lelaki di seberang. Punggungku menegang saat mendengar penjelasannya disana.

"Maaf, Mbak, saya dari kepolisian pantai Parangtritis hanya ingin mengabarkan bahwa lelaki yang bernama Arman Pramudia telah mengalami lakalantas. Di mohon kiranya Mbak Alana bisa segera datang ke Rumah Sakit Umum Rachma Husada. Ini dengan istrinya kah?"

Seketika, aku berdiri dari sofa. Penjelasan dari lelaki yang mengaku sebagai polisi itu membuat jantungku berdetak lebih cepat.

"Iya, saya istrinya, Pak. Bagaimana keadaannya? Apa orangnya masih hidup?"

Getar suaraku yang keluar tak bisa aku kendalikan. Panik. Takut. Emosi. Marah. Semua jadi satu. Jangan sampai kamu mati duluan, Arman. Dendamku padamu belum terbalaskan. Itu satu-satunya kalimat yang kutulis dengan caploks di halaman diary aku.

"Keadaannya sedikit serius, Mbak. Maka untuk secepatnyan Mbak datang kesini, ya. Saya sherlock sekarang biar Mbak tidak kesasar."

"Baik. Saya kesana, Pak."

Tanpa pikir panjang aku berlari ke garasi. Kumasukan lebih dulu kardus berisi potongan bahan ke dalam, sebelum mengunci pintu dari luar. Kemudian aku menelpon Lana, sebelum menaiki motor yang akan membawaku ke rumah sakit itu.

"Apa, Mbak? Baru juga pulang udah nelpon aja, loh."

Suara adikku terdengar malas saat menjawab teleponku.

"Jemput Aleeya sekarang! Mbak, mau ke rumah sakit. Ayahnya Aleeya kecelakaan!"

"Apa?" 

Ponsel yang menempel di telinga seketika kujauhkan. Suara teriakan adikku itu sangat memekakkan telinga. Gadis itu kalau berteriak tak tahu tempat.

"Kecelakaan dimana, Mbak? Masih hidup, kan?"

Kalimatnya berlanjut kembali setelah satu teriakan itu selesai.

"Udah nggak usah banyak tanya. Sekarang kamu jemput Aleeya bawa pulang ke rumah. Nanti Mbak jelaskan kalau udah tau keadaan ayahnya."

"Iya, aku berangkat sekarang."

"Cepat! Dia lagi tidur. Bawa kunci cadangan!"

"Iya, iya, Mbak."

Begitu sambungan terputus, segera kunyalakan motor dan keluar dari garasi. Rumitnya pikiran tak bisa aku tuliskan. Rasa amarah ingin aku teriakan pada lelaki itu. Dalam sehari tak bisa membuatku tenang sedikitpun. Selalu saja memancing amarah.

Ada saja masalahnya di tiap hari yang terlewatkan.

♤♤♤♤♤♤

Senja itu semakin condong ke barat. Motor kuparkirkan sembarangan pada parkiran yang tampak lengang. Mungkin ada dua puluhan motor yang mengisinya. Rumah sakit umum yang terkenal di Jogja itu tampak ramai dengan kendaraan bermobil.

Sepertinya lagi banyak pasien di dalam sana. Aku berhenti sebentar di parkiran motor yang ada di belakang gedung bertingkat. Kutatap nanar rumah sakit yang memiliki banyak lampu pada setiap pojok gedung itu.

Dalam rumah sakit itu aku pernah dirawat. Dan ditelantarkan oleh suami sendiri.

Ini semua kulakukan atas dasar pengabdianku yang masih berstatus sebagai istri sahnya. Dan sekaligus ingin mencari bukti baru tentang kelakuannya di pantai siang tadi.

"Permisi, Mbak, apa benar ada pasien kecelakaan lalu lintas yang baru masuk di rumah sakit ini?"

Aku mendekati seorang wanita berseragam kemeja putih, yang di pasangkan dengan celana kain berwarna hitam di bawahnya. Selanjutnya, ketukan higt heels terdengar beradu dengan lantai marmer berwarna putih, saat wanita yang berdiri di depan meja resepsionis itu juga menghampiriku.

"Maaf, dengan ibu siapa?"

"Saya Alana, Mbak. Tadi di telepon sama polisi katanya suami saya kecelakaan dan masuk di rumah sakit ini."

"Iya, benar, Bu. Satu jam yang lalu ada korban kecelakaan yang masuk ke rumah sakit kami dengan menggunakan ambulance. Saat ini korban sedang ditangani dalam ruangan itu."

Wanita manis yang memakai jilbab segi empat, yang bagian ujungnya diikat rapi di belakang kepala itu menunjuk pada sebuah kamar yang ada di belakang meja resepsionis.

"Keadaannya bagaimana, Mbak? Parah, ya?"

"Alhamdulillah tidak cukup parah, Mbak. Mungkin hanya beberapa hari perlu di rawat di sini untuk ...."

"Maaf, Mbak..." 

Terpaksa aku menyela perkataannya.

"Iya kenapa, Mbak?"

Bulu mata lentik berbalut maskara tebal itu menatapku dengan berkedip beberapa kali. Senyuman tanpa lesung pipi itu selalu menghiasi bibir tebalnya yang berwarna oren keunguan.

"Ada yang menemani suami saya ke sini nggak, Mbak?"

Wanita itu mengangguk.

"Oh, iya, ada, Mbak. Bentar, ya."

Penjaga resepsionis bername tag Ayu Diah lawono itu menoleh ke samping. Disana berjejer rapi kursi besi yang bisa digunakan untuk para pengunjung dan pasien yang datang.

"Itu, Mbak Luna yang menemani pasien korban lakalantas tadi siang, Mbak."

Aku menatap punggung wanita dengan rambut panjang sebahu itu. Dahiku berkerut. Seperti kenal dengan bentuk badan dari sosok itu.

Siapa dia?

"Sepertinya aku mulai curiga terhadap wanita itu." Pikiranku menerka-nerka.

Bersambung.....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 22. Maling Uang.

    "Kamu pikir kamu siapa bisa mengaturku, Mas! Sebelum perselingkuhanmu terbongkar, aku wajib menuruti semua perkataanmu sebagai suami. Tapi kali ini, itu semua sudah aku hapus setelah kedokmu terbongkar! Tak ada maaf lagi untukmu mulai sekarang ini!"Aku terus menggrutu setelah keluar dari ruang inap di belakangku. Sudah bisa aku pastikan mereka takkan bisa tersenyum lagi setelah semua pembalasanku terjadi. Wanita yang dulu mereka anggap baik, sudah tak ada lagi. Telah aku hapus semua rasa kebaikanku untuk kalian."Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong! Gimana, sih! Jadi sakit, kan, sikuku terbentur lantai!" Aku berteriak kesal karena tersungkur ke lantai. Entah siapa yang menabrak bahuku dari belakang.Baru juga keluar dari ruangan itu, malah terkena sial. Sepertinya karena kebanyakan bergaul dengan mereka, jadi kesialan terus mengikuti aku. Mereka semua memang pembawa sial.Pergelangan tanganku sakit seketika, karena menahan bobot tubuh yang hampir saja mencium lantai berkeramik marmer.

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 21. Memohon-mohon

    "Mau apa kamu, hah!" Seketika mataku mendelik, saat Liana ingin menyambar ponselku. Secepat kilat kusembunyikan benda canggih ini ke belakang punggungku, agar dia tak bisa sembarangan mengambilnya. Tatapannya yang dipenuhi dengan kobaran api yang menyala-nyala, seolah ingin menerkamku saat ini juga. Netranya yang mulai basah, seakan menolak fakta bahwa yang ada dalam foto dan video itu bukan dirinya. Liana memang pandai memutar keadaan. Dia bak artis pemeran utama, yang sangat lihay menjalankan perannya. Sejenak kubalas tatapannya yang pintar bersandiwara itu dengan senyum sinis tak bersahabat. Dia pikir bisa mengelabuiku. "Bawa sini ponsel itu!" Liana semakin berani membentakku. Namun, perlakuannya itu tak mampu membuat pertahananku runtuh. Hatiku sudah sekeras batu terhadap semua keluarganya. "Mimpi! Jangan harap aku akan memberikannya! Kamu pikir kamu siapa, hah!" Liana semakin meraung sejadi-jadinya. Kepalan tangannya memukul dinding berulang kali, seolah i

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 20. Pelaku

    Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 19. Video Asusila

    "Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 18. Melabrak Dengan Mata Sendiri

    Di sela meeting yang masih berjalan, aku masih menarik sudut bibir secara diam-diam. Ternyata paket itu sudah sampai lebih cepat dari dugaanku. Kalian pasti terkejut atas datangnya paket terbaru itu. Tentu benak kalian takkkan mampu menerima sebuah kenyataan, yang dimana kenyataan itu lebih hina dari sekedar berzina. Bisa aku pastikan, jika isi paket itu tersebar ke semua orang, kalian semua pasti merasa tak ingin lagi hidup di dunia ini. Sungguh keberuntungan yang sangat menguntungkan. Baru kali ini aku merasa bangga karena mendapatkan keberuntungan itu. "Aww!" sentakku terjaga dari lamunan indah itu. Kugerakkan leher ke sebelah kiri, dimana Mbak Vina berada yang telah mencubit pinggangku. Aku menggeram marah. Bisa-bisanya ia menyubitku disaat meeting dengan tamu penting. "Sakit bego, Mbak!" bisikku kesal padanya, yang dibalasnya dengan membeliakkan mata beloknya. "Makanya kalau meeting itu yang serius! Jangan cuma plonga plongo doang kamu, ya!" hardiknya padaku, yang ketahuan m

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 17. Paket Misterius

    Senyum lepas aku tarik untuk pembalasanku kali ini. Kalian yang memulai untuk melibatkan Bapakku. Jadi, jangan salahkan aku yang ikut melibatkan anggota keluarga kalian.Kulepas ponsel dari kabel charger yang belum terisi penuh. Menghubungi seseorang pagi ini jauh lebih penting, dari sekedar mengisi baterainya. Ibu jariku membuka WA untuk mencari nomor ponsel, yang baru dikirim Ilana barusan.Segera aku telepon nomor berjumlah delapan digit itu."Hallo, selamat pagi. Apa benar ini dengan kurir ekspedisi JNA?" Satu salam tanda kesopanan aku lontarkan pada admin sebuah ekspedisi."Iya, betul, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"Admin itu menjawab dengan suara khasnya yang lembut.Sebelum menjawab, aku menuliskan alamat pada amplop yang sudah aku tutup rapat dengan double selotip. "Bisa ambil paket ke rumah, Mbak. Saya mau mengirimkan sebuah amplop pagi ini."Kembali aku tersenyum lepas saat alamat itu sudah tertulis rapi dengan huruf capslock bertinta tebal."Bisa, Mbak. Kebetulan hari ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status