"Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi
Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab
"Mau apa kamu, hah!" Seketika mataku mendelik, saat Liana ingin menyambar ponselku. Secepat kilat kusembunyikan benda canggih ini ke belakang punggungku, agar dia tak bisa sembarangan mengambilnya. Tatapannya yang dipenuhi dengan kobaran api yang menyala-nyala, seolah ingin menerkamku saat ini juga. Netranya yang mulai basah, seakan menolak fakta bahwa yang ada dalam foto dan video itu bukan dirinya. Liana memang pandai memutar keadaan. Dia bak artis pemeran utama, yang sangat lihay menjalankan perannya. Sejenak kubalas tatapannya yang pintar bersandiwara itu dengan senyum sinis tak bersahabat. Dia pikir bisa mengelabuiku. "Bawa sini ponsel itu!" Liana semakin berani membentakku. Namun, perlakuannya itu tak mampu membuat pertahananku runtuh. Hatiku sudah sekeras batu terhadap semua keluarganya. "Mimpi! Jangan harap aku akan memberikannya! Kamu pikir kamu siapa, hah!" Liana semakin meraung sejadi-jadinya. Kepalan tangannya memukul dinding berulang kali, seolah i
"Kamu pikir kamu siapa bisa mengaturku, Mas! Sebelum perselingkuhanmu terbongkar, aku wajib menuruti semua perkataanmu sebagai suami. Tapi kali ini, itu semua sudah aku hapus setelah kedokmu terbongkar! Tak ada maaf lagi untukmu mulai sekarang ini!"Aku terus menggrutu setelah keluar dari ruang inap di belakangku. Sudah bisa aku pastikan mereka takkan bisa tersenyum lagi setelah semua pembalasanku terjadi. Wanita yang dulu mereka anggap baik, sudah tak ada lagi. Telah aku hapus semua rasa kebaikanku untuk kalian."Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong! Gimana, sih! Jadi sakit, kan, sikuku terbentur lantai!" Aku berteriak kesal karena tersungkur ke lantai. Entah siapa yang menabrak bahuku dari belakang.Baru juga keluar dari ruangan itu, malah terkena sial. Sepertinya karena kebanyakan bergaul dengan mereka, jadi kesialan terus mengikuti aku. Mereka semua memang pembawa sial.Pergelangan tanganku sakit seketika, karena menahan bobot tubuh yang hampir saja mencium lantai berkeramik marmer.
"Permisi, Bu! Pesan antar paket. Apakah ada orang di rumah?"Kuhentikan gerakkan spatula yang sedang beradu dengan kuali di atas kompor. Pendengaranku menangkap suara teriakan dari depan rumah. Paket siapa itu yang datang di siang bolong begini."Permisi! Paket, Bu."Aku menoleh ke belakang pada arah pintu tengah, yang menjadi penghubung antara ruang tengah dan dapur di rumahku. Suara itu terdengar kembali dengan mengucapkan kata yang sama."Permisi, Bu! Paket.""Iya, sebentar! Tunggu!"Kutinggalkan olahan ikan pindang patin yang belum matang di kuali tanpa mengecilkan api kompornya. Suara itu terus berteriak tanpa menyadari bahwa aku mulai terganggu akan suara cemprengnya itu."Berisik! Jangan teriak terus! Saya nggak budek!"Satu teriakan akhirnya keluar dengan bersamaan terbukanya pintu rumah yang kubuka lebar. Aku melotot pada dua lelaki yang berdiri di depan rumah."Maaf, Bu, kami pikir tak orang di rumah. Jadi kami .…""Walaupun nggak ada orang di rumah ini, ya, jangan teriak-ter
Bagiku satu pengkhianatan pasti akan terulang kembali suatu saat nanti. Jadi, tak ada istilahnya mendapat kesempatan kedua dikemudian hari. Mas Arman, boleh saja kau tersenyum puas untuk hari ini. Esok hari siapa yang sangka akan ada kejadian buruk yang terjadi kepadamu.Langkahku yang masih tertatih-tatih terhenti seketika diambang pintu rumah. Indra penciumanku mengendus bau sesuatu yang tak enak dirasa. "Astagfirullah ikanku gosong." Kupercepat langkah dengan menahan sakit yang tak kunjung hilang. Ikan patin pindang yang seharusnya menjadi makan siangku telah gosong tak terbentuk. Nyala api di kompor segera aku matikan saat kepulan asapnya telah memenuhi ruangan dapur."Argh! Sialan! Ini semua gara-gara lelaki pengkhianat itu! Awas kau Mas! Aku tak terima diperlakukan seperti ini! Takkan kubiarkan kalian hidup bahagia diatas penderitaanku!" Aku terus berteriak histeris di dalam dapur dengan kepulan asap yang mulai menghilang.Dalam keadaan perut kosong emosiku semakin menjadi. Ku
Mataku seketika berkunang-kunang ketika mobil bernomor plat BM 3 AI itu melaju dengan kencang. Ia meninggalkanku dengan sejuta malu yang harus kutanggung sendirian. Rasanya wajahku semakin memerah ketika beberapa orang menatapku kasihan. Tatapan mereka seolah memperingatkan bahwa aku telah kalah dalam perselingkuhan suamiku sendiri."Jangan patah semangat, ya, Mbak. Saya yakin Mbak pasti kuat.""Sudah tinggalkan lelaki pengkihanat itu, Bu. Sekali selingkuh selamanya akan selingkuh. Ingat itu.""Sabar, Mbak. Tetap semangat meninggalkan lelaki itu. Buat ia miskin dulu, lalu kamu tinggalkan. Itu balasan yang setimpal untuknya.""Tetap tenang, ya, Bu. Balas lelaki itu dengan elegan dan sadis. Tuhan selalu membersamai istri sah yang dizholimi. Saya titip satu tamparan untuk lelaki itu.""Santuy saja, Mbk. Saya siap menyediakan jasa persantetan dan pesugihan yang kejam.""Tenang, Mbak. Perlakukan dan layani lelaki itu dengan lembut. Setelah ia terbuai, langsung kasih sianida kasih sayang pa
"Aku punya kabar penting tentang Mas Arman. Berita hot ini, Mbak."Mataku seketika melebar saat mendengar kalimat itu. Aku menoleh ke belakang. Lana tersenyum lebar serta menaik-turunkan alisnya untuk menggodaku.Seketika aku mencebik. Ia memang senang menggoda kakaknya. Perlahan aku melepas pelukan tanganku pada pinggang Aleeya, lalu turun perlahan dari ranjang. Setelah berhasil turun dari ranjang tanpa membuat kebisingan, kupegang tangan Lana, segera kuseret ia keluar dari kamar. Aku tak mau Aleeya terbangun dari tidur siang karena mendengar obrolanku dengan tantenya."Is, kenapa aku diseret, sih, Mbak! Sakit tau tanganku. Lepas."Lana berusaha melepas cengkraman tanganku. Ia mendengus sebal. Aku menyeretnya ke belakang kamar, dimana ada kolam ikan disana. Kolam ikan ini tempat aman untuk menggosip. Jaraknya jauh dari dapur, dimana Ibu lagi memasak.Aku mendelik padanya, setelah Keadaan sudah cukup aman. "Nanti Aleeya bangun. Ada apa? Ada kabar apa tentang Mas Arman?" Tanpa basa bas