Share

Gelang Langit
Gelang Langit
Author: Zidan Fadil

Bab 1

Author: Zidan Fadil
last update Last Updated: 2025-01-13 22:38:55

Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula.

Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki.

“Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan.

“Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.”

Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di tengah pertarungan melawan pasukan siluman yang menyerang gerbang Kahyangan.

“Gelang itu bukan hanya milikmu, Ia adalah pusaka yang menjaga keseimbangan antara dunia fana dan Kahyangan. Kehilangannya membawa malapetaka.” Ucap Maha Dewa dengan nada menahan amarah.

“Dewa Agung, Aku tidak akan membiarkan ini berlanjut. Aku bersumpah untuk menemukan Gelang Kahyangan dan membawanya kembali." Ucap Rakasura dengan nada bergetar

Para dewa lain saling pandang. Janji itu terdengar mulia, tetapi keraguan tersirat di wajah mereka. Maha Dewa menghela napas panjang sebelum mengangkat tongkat emasnya.

"Kau akan mendapat kesempatan, Rakasura. Tetapi hukumanmu tak dapat dielakkan. Sebagai akibat dari kelalaianmu, kau akan diturunkan ke dunia fana. Di sana, kau harus membuktikan bahwa kau layak memegang kembali Gelang Kahyangan.”

Cahaya biru menyilaukan melingkupi tubuh Rakasura. Sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata lagi, ia merasa tubuhnya terlempar dari Kahyangan, jatuh menembus langit.

Saat Rakasura terjatuh perlahan lahan seluruh baju zirah megah miliknya perlahan luruh menjadi abu. Semua perangkat dewanya yang ia dapatkan sebagai penghuni kahyangan hilang tak bersisa. Yang tersisa dari Rakasura hanyalah bajunya yang menjadi lusuh dan pedsngnya yang kehilangan auranya.

Di tengah jatuhnya Rakasura dari khayangan, perlahan kesadarannya menghilang. Ketika kesadarannya kembali, Rakasura mendapati dirinya terbaring di tengah hutan. Aroma tanah basah dan dedaunan menyengat hidungnya. Ia menggerakkan tubuhnya perlahan, merasakan setiap sendi yang terasa lemah.

“Ini... dunia fana,” gumamnya, suaranya terdengar parau dan lirih.

Keadaan Rakasura sangat memprihatikan, badannya penuh luka lebam, bibirnya pucat dan kering. Ia duduk dan memandang sekeliling. Pohon-pohon raksasa menjulang di sekitarnya, cabang-cabangnya membentuk kanopi yang hampir menutupi langit. Suara aliran sungai terdengar samar di kejauhan, bercampur dengan kicauan burung dan gemerisik dedaunan.

Saat ia mencoba berdiri, rasa sakit menusuk kakinya. Tanpa Gelang Kahyangan, tubuhnya jauh lebih lemah dari biasanya. Ia mengutuk dirinya sendiri karena membiarkan gelang itu jatuh ke tangan musuh.

Langkah-langkah ringan di kejauhan menarik perhatiannya. Rakasura menoleh dan melihat seorang gadis tengah memungut ranting-ranting kering kemungkinan untuk dijadikan kayu bakar. Gadis itu tampak muda, sekitar belasan tahun, dengan rambut hitam lebat yang diikat ke belakang.

Ketika mata mereka bertemu, gadis itu terkejut dan mundur selangkah. “Siapa kau?” tanyanya, suaranya setengah berbisik, setengah takut.

Rakasura tidak langsung menjawab. Ia menatap gadis itu, sembari mencoba mencari alasan yang masuk akal karena tak mungkin jika ia mengaku sebagai dewa yang diusir dari istana Kahyangan.

“Aku... hanya seorang pengembara,” jawab Rakasura akhirnya, menyembunyikan identitasnya.

Gadis itu tampak ragu, tetapi setelah melihat luka di tubuh Rakasura, ia mendekat. “Kau terluka,” katanya, menunjuk luka di lengan Rakasura.

“Ini bukan apa-apa,” Rakasura berbohong.

Namun, gadis itu tidak percaya. Ia menarik lengan Rakasura dengan lembut. “Ikut aku ke desa. Ayahku bisa mengobatimu.”

Gadis itu, memutuskan untuk membantunya setelah melihat banyak luka lebam di tubuhnya. Ia membawa Rakasura ke desanya yang kecil dan sederhana. Dalam perjalanan mereka berbincang untuk mencairkan suasana canggung diantara mereka.

“Siapa namamu wahai nona? Terimakasih telah membantuku”

“Namaku Ayunda”

“Nama yang indah, perkenalkan aku Rakasura”

Pipi Ayu memerah mendengar pujian dari Rakasura, ia berusaha fokus membantu Rakasura berjalan menuju desanya.

Rakasura dibantu Ayu menuju desa yang berada di tepi hutan. Penduduk desa, yang kebanyakan petani, menatap Rakasura dengan rasa ingin tahu dan sedikit kewaspadaan. Namun, mereka memperlakukannya dengan ramah, menyediakan makanan dan tempat istirahat.

Malam itu warga memutuskan untuk membiarkan Rakasura untuk tinggal sementara di balai desa. Namun, malam itu, kedamaian desa terganggu. Sekawanan siluman kecil menyerbu saat Rakasura mencoba tidur. Desa tiba-tiba digemparkan oleh suara jeritan.

Ia keluar dari balai desa dan melihat api melalap salah satu rumah. Sekelompok makhluk hitam setinggi paha laki-laki dewasa dengan mata merah bersinar menyerang desa, menculik anak-anak dan menakuti penduduk.

Rakasura langsung mengambil pedangnya. Meski kekuatannya jauh dari penuh, ia melawan para siluman dengan pengalaman bertarungnya yang luar biasa. Setiap tebasan pedang menghancurkan makhluk-makhluk itu, dan akhirnya, ia berhasil menyelamatkan anak-anak yang diculik.

Saat memantau situasi Rakasura melihat tiga siluman yang sedang berusaha memasuki salah satu rumah warga. Rakasura tanpa pikir panjang menendang salah satu dari makhluk itu, mengalihkan perhatian mereka. Kini perhatian tiga makhluk itu tertuju padanya.

Terlihat 3 makhluk setinggi paha orang dewasa berkepala kadal berbadan kera. Salah satu makhluk itu melompat mencoba menyerang bagian kepala Rakasura. Serangan itu berhasil dihindari Rakasura dan sejurus dengan itu ia menebaskan pedangnya pada makhluk kedua yang berlari menuju ke arahnya.

Satu makhluk telah diatasi dengan mudah. Kini posisi Rakasura terjepit oleh dua siluman yang tersisa membuatnya berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Dua siluman itu melompat menyerang secara bersamaan membuat Rakasura tak sempat menghindar.

“Hiyaaa!!!”

Rakasura mengerahkan sisa tenaganya yang belum pulih dan melakukan tebasan memutar. Membelah dua siluman itu sekaligus. Rakasura lanjut berkeliling desa dengan para warga untuk memastikan bahwa tak ada lagi makhluk yang tersisa. Terlihat beberapa siluman yang tersisa kabur setelah melihat aksi Rakasura menebas dua siluman dengan satu tebasan.

Penduduk desa bersorak, menganggap Rakasura sebagai pahlawan. Namun, di balik kegembiraan itu, hati Rakasura dipenuhi kegelisahan. Ia tahu ini hanyalah awal dari perjalanan panjangnya untuk merebut kembali Gelang Kahyangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelang Langit   Bab 86

    Perjalanan menuju Batu Pemantul dimulai saat fajar masih bersembunyi di balik garis bukit. Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap meski beban di dadanya makin berat. Tirta dan Ayu mengikuti di belakang, mata mereka masih menyimpan sisa keheranan dan kegelisahan dari apa yang mereka alami di sumur gema.Kabut pagi menyelimuti jalur sempit yang membelah hutan dataran tinggi. Pohon-pohon tinggi menjulang seperti penjaga bisu, dan suara burung-burung pun terdengar aneh—seolah dipantulkan kembali oleh udara itu sendiri. Setiap langkah terasa berulang, setiap suara terasa seperti bergema dua kali."Ini bukan pantulan biasa," gumam Ayu. "Suara kita... seperti dipelintir sebelum kembali."Rakasura mengangguk. "Batu Pemantul bukan sekadar tempat. Ia cermin bagi suara batin, bukan suara mulut. Semakin dekat kita, semakin gema itu akan memantulkan sisi yang kita sembunyikan."Tirta meneguk ludah. "Berarti... kita bisa dengar pikiran satu sama lain?"

  • Gelang Langit   Bab 85

    Matahari pagi menyusup malu-malu ke celah-celah pepohonan di tepi Lembah Sunyi. Tirta duduk sendirian di atas batu besar, menatap ke arah mulut sumur tempat Rakasura dan Ayu turun malam sebelumnya. Laras berdiri tidak jauh, menggenggam tongkat kayunya erat-erat."Sudah terlalu lama," gumam Tirta.Laras mengangguk pelan. "Tapi waktu tidak berjalan sama di bawah sana. Bisa jadi baru beberapa menit bagi mereka, sementara di sini terasa seperti berjam-jam.""Tetap saja. Aku nggak tenang."Mereka terdiam. Angin pagi berhembus lembut, tapi udara tetap terasa berat, seolah masih menyimpan gema dari pertarungan suara yang mengguncang tanah kemarin. Bahkan burung-burung pun belum kembali berkicau.Tiba-tiba, tanah di sekitar mulut sumur bergetar pelan. Sebuah cahaya lembut merambat dari dalam, lalu sosok Ayu muncul, terengah, dengan wajah penuh kelegaan. Di belakangnya, Rakasura naik perlahan, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, tapi matanya tenang

  • Gelang Langit   Bab 84

    Langit di atas sumur telah berubah warna. Bukan malam, bukan pula siang. Semuanya tampak seperti lukisan abu-abu yang dicuci cahaya biru pucat, tak berbayang dan tak bernuansa. Rakasura berdiri di tepi ruang gema, memandangi air gelap yang kini menguap perlahan, menampakkan dasar cekungan yang berkilau seperti cermin retak."Kita... masih di sini, kan?" suara Tirta terdengar ragu. Ia menyentuh dinding yang semula bersuara, tapi kini bisu seperti batu mati.Ayu menatap langit-langit sumur yang sangat jauh di atas sana. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada jalan kembali. "Tempat ini berubah. Seolah sudah mendengarkan kita. Sekarang ia... menunggu.""Menunggu apa?" Tirta berbisik.Rakasura menjawab tanpa menoleh, suaranya rendah. "Menunggu kita membuat keputusan."Langkahnya membawa mereka mendekati lengkungan jantung yang sebelumnya menyala. Kini lengkungan itu tampak seperti celah gelap yang menganga, dan dari dalamnya keluar angin aneh—tidak din

  • Gelang Langit   Bab 83

    Sumur itu tak lagi berbicara, namun resonansinya masih bergema dalam dada mereka saat langkah kaki membawa mereka keluar dari kedalaman batu. Rakasura, Ayu, dan Tirta mendaki spiral itu dengan langkah berat namun hati yang sedikit lebih terbuka. Seolah suara yang mereka dengar di dalam sana—walau tak pernah berupa kata—telah meninggalkan jejak tak terlihat.Di permukaan, angin kembali terasa. Kabut masih bergulung di lembah, namun langit tampak lebih jernih. Cahaya keemasan dari matahari yang menurun menyapu puncak batu-batu tegak yang mengelilingi sumur."Rasanya seperti... kita tidak kembali sebagai orang yang sama," gumam Ayu sambil berdiri di tepi lingkaran batu, menatap cakrawala.Rakasura mengangguk perlahan. Ia memandang kedua tangan kosongnya, lalu gelang di pergelangan kirinya yang kini tampak lebih tenang—tak lagi bergetar, tak lagi bersinar, tapi menyimpan keheningan yang dalam."Sumur itu bukan memberi jawaban, tapi menunjukk

  • Gelang Langit   Bab 82

    Langkah kaki mereka bergaung samar di sepanjang dinding batu melingkar. Undakan demi undakan membawa Rakasura, Ayu, dan Tirta turun ke dalam sumur, menyusuri spiral batu yang terasa tak berujung. Cahaya dari atas mulai lenyap, tergantikan keremangan samar yang tampaknya muncul dari ukiran-ukiran di dinding."Ini... aneh," gumam Tirta. Suaranya seperti tertelan dinding.Ayu menatap sisi lorong, tempat simbol-simbol kuno memendar cahaya biru lembut seiring mereka melangkah. "Mereka hidup. Tapi bukan hidup seperti makhluk."Rakasura tak berkata apa pun. Ia menajamkan indra. Setiap lekuk dinding tampak seperti urat-urat di tubuh raksasa. Setiap gema langkah seperti detak jantung dari sesuatu yang jauh lebih tua dari dunia manusia.Di sebuah titik, tangga berhenti. Mereka tiba di ruang terbuka, bundar, berdinding batu hitam mengilap. Di tengahnya, ada sebuah lempeng batu datar yang mengambang di atas cekungan dangkal berisi air gelap. Di sekeliling ruangan, ad

  • Gelang Langit   Bab 81

    Langit masih kelabu ketika tiga sosok meninggalkan kota yang baru saja selamat dari kekacauan. Angin pagi membawa aroma hangus yang samar, seperti pengingat akan tragedi semalam. Rakasura berjalan paling depan, bahunya sedikit lebih tegang dari biasanya. Ayu di belakangnya, membawa tas kecil berisi ramuan dan catatan, sedangkan Tirta menenteng buntalan dari Ibu Sinta yang berisi makanan kering dan doa bertinta biru."Kita ke mana sekarang?" tanya Tirta, suaranya pelan agar tidak mengusik kesunyian pagi.Rakasura menatap jalur berbatu yang menurun ke arah lembah. "Sumur. Salah satu titik gema yang disebut dalam catatan Penjaga Teks.""Sumur yang bisa bicara?" Tirta mengangkat alis."Bukan bicara. Bertanya," jawab Ayu. "Laras bilang ini bagian dari lima suara kuno. Setelah nada sunyi, kita harus menemukan suara yang bertanya.""Kita baru saja melewati sunyi yang membuat telinga berdarah," gumam Tirta. "Sekarang suara yang bertanya? Dunia ini makin aneh."Mereka menyusuri jalan setapak y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status