Dua hari kemudian, saat matahari belum sepenuhnya naik dan embun masih menempel di pucuk-pucuk rumput, Rakasura, Ayu, dan Tirta kembali melangkah.
Kali ini, arah perjalanan mereka bukan menuju pusat kekuatan langit, melainkan ke arah yang selama ini tak pernah disebut dalam peta maupun cerita rakyat. Wilayah itu hanya dikenal dengan satu nama yang dibisikkan para pengelana: Tanah Bisu.
Tidak ada yang tahu pasti letaknya. Tidak ada jalur dagang yang melewatinya. Tapi Rakasura pernah mendengar desas-desus di antara para penjaga kehendak lama, bahwa di Tanah Bisu pernah berdiri kuil yang tak memiliki doa.
“Namanya aja udah bikin aku gak nyaman,” gumam Tirta sambil memeriksa ulang ranselnya.
“Kau bisa tinggal kalau mau,” sindir Ayu.
Langit masih kelabu ketika tiga sosok meninggalkan kota yang baru saja selamat dari kekacauan. Angin pagi membawa aroma hangus yang samar, seperti pengingat akan tragedi semalam. Rakasura berjalan paling depan, bahunya sedikit lebih tegang dari biasanya. Ayu di belakangnya, membawa tas kecil berisi ramuan dan catatan, sedangkan Tirta menenteng buntalan dari Ibu Sinta yang berisi makanan kering dan doa bertinta biru."Kita ke mana sekarang?" tanya Tirta, suaranya pelan agar tidak mengusik kesunyian pagi.Rakasura menatap jalur berbatu yang menurun ke arah lembah. "Sumur. Salah satu titik gema yang disebut dalam catatan Penjaga Teks.""Sumur yang bisa bicara?" Tirta mengangkat alis."Bukan bicara. Bertanya," jawab Ayu. "Laras bilang ini bagian dari lima suara kuno. Setelah nada sunyi, kita harus menemukan suara yang bertanya.""Kita baru saja melewati sunyi yang membuat telinga berdarah," gumam Tirta. "Sekarang suara yang bertanya? Dunia ini makin aneh."Mereka menyusuri jalan setapak y
Langit sore dipenuhi warna jingga muram saat ketiga sosok itu berdiri di depan gerbang kota tua bernama Tanasraya. Dindingnya tinggi, dari batu-batu yang seolah pernah melihat ribuan tahun kejatuhan dan kebangkitan."Tempat ini pernah jadi pusat pengajaran suara di masa lampau," kata Ayu, suaranya pelan. "Tapi setelah Perjanjian Langit-Manusia dilupakan, kota ini... diam."Tirta menggoyangkan bahunya. "Diam bukan berarti mati, kan?"Rakasura menatap gerbang itu. Hatinya tak nyaman. Bukan karena ketakutan. Tapi karena resonansi gelangnya terasa menolak setiap batu yang menyusun dinding kota.Saat mereka memasuki Tanasraya, jalanan lebar dan kosong menyambut. Tak ada pasar. Tak ada suara tawar-menawar. Hanya bangunan tua yang berjajar, dan di antara mereka, samar, bayangan-bayangan manusia. Menatap dari balik jendela, dari celah pintu. Diam."Ini... bukan desa kosong," gumam Tirta. "Mereka hidup. Tapi seperti menahan napas."Langkah mereka ter
Kabut masih belum sepenuhnya surut ketika Ayu terbangun. Udara pagi di perbatasan desa Gatra terasa lebih berat dari biasanya. Di kejauhan, bayangan hutan dan reruntuhan kuil kuno masih tertutup lapisan putih keperakan yang seolah tidak mau pergi.Ayu duduk perlahan, merasakan embun dingin meresap ke kulit. Di sampingnya, Rakasura masih tertidur, nafasnya teratur namun tak sedalam biasanya. Tirta, yang seharusnya berjaga semalaman, kini meringkuk di bawah pohon dengan selimut yang sudah setengah terlepas.Ia bangkit pelan, menghindari suara. Gelang di tangan Rakasura—yang kini tak lagi bersinar—tetap terasa berat oleh keberadaannya. Ayu memandanginya sebentar. Walau tidak ada cahaya, kehadirannya tetap terasa seperti suara tertahan di ujung lidah.Ia berjalan ke tepi hutan, tempat mereka sempat menyaksikan pergeseran tanah semalam. Setelah pertarungan dan gema liar yang mengguncang langit, semuanya tiba-tiba... diam. Bukan damai, tapi diam yang menek
Senja menjingga mengalir di atas kota kecil yang dulunya ramai. Kini, bangunan-bangunan batu berlumut dan jendela-jendela pecah berdiri membisu, menyimpan kisah tentang manusia-manusia yang pernah bernyanyi di lorong-lorongnya. Di atas menara tua yang masih kokoh, bendera kusam Sekte Cahaya Terakhir berkibar pelan, seolah mengisyaratkan bahwa harapan tinggal riak samar.Namun di bawah tanah kota itu, suara lain mulai tumbuh."Apa ini tempatnya?" bisik Ayu, menyibakkan terpal tua yang menutupi lorong sempit."Ya," jawab Rakasura dari belakang. Matanya menyapu dinding batu yang dipenuhi ukiran samar. "Ini bekas tempat penyimpanan air. Tapi sekarang jadi markas mereka. Gerakan Tanpa Nama."Tirta melongokkan kepala, matanya berbinar. "Akhirnya! Kau dengar itu, Ayu? Mereka ada beneran! Bukan cuma desas-desus."Lorong itu lembap dan dingin. Suara langkah kaki mereka bergema lembut, semakin dalam seiring perjalanan mereka menuruni tangga batu yang melingk
Hari ketiga setelah insiden di altar.Kabut pagi menyelimuti desa kecil di kaki perbukitan. Rakasura berdiri di halaman belakang rumah Pak Wira, mengenakan pakaian sederhana yang dipinjamkan Ayu. Meski tubuhnya bergerak, pikirannya masih terbelah antara kenangan yang perlahan kembali dan kehampaan yang belum bisa dijelaskan.Gelang di tangannya tidak lagi bersinar. Tapi itu bukan berarti kekuatannya lenyap. Justru sebaliknya: ia merasakan kehadiran kekuatan itu kini tersembunyi di dalam dirinya, bukan lagi berpusat di gelang. Sebuah perubahan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia masih "penjaga"... atau sudah menjadi sesuatu yang lain."Kau sudah lebih tenang hari ini," kata Ayu dari balik pintu, membawakan sepiring nasi hangat dan sayur bening.Rakasura mengangguk. "
Malam tiba pelan-pelan di desa. Setelah hari yang cerah dan penuh tawa, langit mulai dipenuhi bintang, dan angin malam bertiup tenang. Rumah Pak Wira sudah sepi. Tirta tertidur pulas di ruang tengah, masih memeluk bantalnya seperti anak kecil, sementara Ayu duduk di beranda, memandangi bulan.Rakasura berdiri di belakang rumah, di bawah pohon mangga tua. Ia tak bisa tidur. Gelang di pergelangan tangannya tak lagi bersinar, tapi tetap dingin seperti batu.Angin berembus. Tapi kali ini, ada sesuatu yang aneh.Sebuah... nada. Sangat pelan, seperti nyanyian dari kejauhan. Tapi bukan nyanyian yang indah. Nada itu terdengar seakan berasal dari suara manusia yang terputus-putus, tak selesai. Seperti gema yang kehilangan sumber aslinya.Rakasura memejamkan mata, mencoba menangka