Senja menjingga mengalir di atas kota kecil yang dulunya ramai. Kini, bangunan-bangunan batu berlumut dan jendela-jendela pecah berdiri membisu, menyimpan kisah tentang manusia-manusia yang pernah bernyanyi di lorong-lorongnya. Di atas menara tua yang masih kokoh, bendera kusam Sekte Cahaya Terakhir berkibar pelan, seolah mengisyaratkan bahwa harapan tinggal riak samar.
Namun di bawah tanah kota itu, suara lain mulai tumbuh.
"Apa ini tempatnya?" bisik Ayu, menyibakkan terpal tua yang menutupi lorong sempit.
"Ya," jawab Rakasura dari belakang. Matanya menyapu dinding batu yang dipenuhi ukiran samar. "Ini bekas tempat penyimpanan air. Tapi sekarang jadi markas mereka. Gerakan Tanpa Nama."
Tirta melongokkan kepala, matanya berbinar. "Akhirnya! Kau dengar itu, Ayu? Mereka ada beneran! Bukan cuma desas-desus."
Lorong itu lembap dan dingin. Suara langkah kaki mereka bergema lembut, semakin dalam seiring perjalanan mereka menuruni tangga batu yang melingk
Langit sore dipenuhi warna jingga muram saat ketiga sosok itu berdiri di depan gerbang kota tua bernama Tanasraya. Dindingnya tinggi, dari batu-batu yang seolah pernah melihat ribuan tahun kejatuhan dan kebangkitan."Tempat ini pernah jadi pusat pengajaran suara di masa lampau," kata Ayu, suaranya pelan. "Tapi setelah Perjanjian Langit-Manusia dilupakan, kota ini... diam."Tirta menggoyangkan bahunya. "Diam bukan berarti mati, kan?"Rakasura menatap gerbang itu. Hatinya tak nyaman. Bukan karena ketakutan. Tapi karena resonansi gelangnya terasa menolak setiap batu yang menyusun dinding kota.Saat mereka memasuki Tanasraya, jalanan lebar dan kosong menyambut. Tak ada pasar. Tak ada suara tawar-menawar. Hanya bangunan tua yang berjajar, dan di antara mereka, samar, bayangan-bayangan manusia. Menatap dari balik jendela, dari celah pintu. Diam."Ini... bukan desa kosong," gumam Tirta. "Mereka hidup. Tapi seperti menahan napas."Langkah mereka ter
Kabut masih belum sepenuhnya surut ketika Ayu terbangun. Udara pagi di perbatasan desa Gatra terasa lebih berat dari biasanya. Di kejauhan, bayangan hutan dan reruntuhan kuil kuno masih tertutup lapisan putih keperakan yang seolah tidak mau pergi.Ayu duduk perlahan, merasakan embun dingin meresap ke kulit. Di sampingnya, Rakasura masih tertidur, nafasnya teratur namun tak sedalam biasanya. Tirta, yang seharusnya berjaga semalaman, kini meringkuk di bawah pohon dengan selimut yang sudah setengah terlepas.Ia bangkit pelan, menghindari suara. Gelang di tangan Rakasura—yang kini tak lagi bersinar—tetap terasa berat oleh keberadaannya. Ayu memandanginya sebentar. Walau tidak ada cahaya, kehadirannya tetap terasa seperti suara tertahan di ujung lidah.Ia berjalan ke tepi hutan, tempat mereka sempat menyaksikan pergeseran tanah semalam. Setelah pertarungan dan gema liar yang mengguncang langit, semuanya tiba-tiba... diam. Bukan damai, tapi diam yang menek
Senja menjingga mengalir di atas kota kecil yang dulunya ramai. Kini, bangunan-bangunan batu berlumut dan jendela-jendela pecah berdiri membisu, menyimpan kisah tentang manusia-manusia yang pernah bernyanyi di lorong-lorongnya. Di atas menara tua yang masih kokoh, bendera kusam Sekte Cahaya Terakhir berkibar pelan, seolah mengisyaratkan bahwa harapan tinggal riak samar.Namun di bawah tanah kota itu, suara lain mulai tumbuh."Apa ini tempatnya?" bisik Ayu, menyibakkan terpal tua yang menutupi lorong sempit."Ya," jawab Rakasura dari belakang. Matanya menyapu dinding batu yang dipenuhi ukiran samar. "Ini bekas tempat penyimpanan air. Tapi sekarang jadi markas mereka. Gerakan Tanpa Nama."Tirta melongokkan kepala, matanya berbinar. "Akhirnya! Kau dengar itu, Ayu? Mereka ada beneran! Bukan cuma desas-desus."Lorong itu lembap dan dingin. Suara langkah kaki mereka bergema lembut, semakin dalam seiring perjalanan mereka menuruni tangga batu yang melingk
Hari ketiga setelah insiden di altar.Kabut pagi menyelimuti desa kecil di kaki perbukitan. Rakasura berdiri di halaman belakang rumah Pak Wira, mengenakan pakaian sederhana yang dipinjamkan Ayu. Meski tubuhnya bergerak, pikirannya masih terbelah antara kenangan yang perlahan kembali dan kehampaan yang belum bisa dijelaskan.Gelang di tangannya tidak lagi bersinar. Tapi itu bukan berarti kekuatannya lenyap. Justru sebaliknya: ia merasakan kehadiran kekuatan itu kini tersembunyi di dalam dirinya, bukan lagi berpusat di gelang. Sebuah perubahan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia masih "penjaga"... atau sudah menjadi sesuatu yang lain."Kau sudah lebih tenang hari ini," kata Ayu dari balik pintu, membawakan sepiring nasi hangat dan sayur bening.Rakasura mengangguk. "
Malam tiba pelan-pelan di desa. Setelah hari yang cerah dan penuh tawa, langit mulai dipenuhi bintang, dan angin malam bertiup tenang. Rumah Pak Wira sudah sepi. Tirta tertidur pulas di ruang tengah, masih memeluk bantalnya seperti anak kecil, sementara Ayu duduk di beranda, memandangi bulan.Rakasura berdiri di belakang rumah, di bawah pohon mangga tua. Ia tak bisa tidur. Gelang di pergelangan tangannya tak lagi bersinar, tapi tetap dingin seperti batu.Angin berembus. Tapi kali ini, ada sesuatu yang aneh.Sebuah... nada. Sangat pelan, seperti nyanyian dari kejauhan. Tapi bukan nyanyian yang indah. Nada itu terdengar seakan berasal dari suara manusia yang terputus-putus, tak selesai. Seperti gema yang kehilangan sumber aslinya.Rakasura memejamkan mata, mencoba menangka
Pagi datang dengan warna yang lebih lembut dari biasanya. Langit desa masih diliputi awan tipis sisa peristiwa semalam, tapi sinarnya hangat, seolah dunia juga butuh istirahat.Ayu duduk di tepi sungai kecil di belakang rumah Pak Wira. Air mengalir pelan, membelai batu-batu sambil mengeluarkan suara gemericik yang menenangkan. Ia menyibak rambutnya ke belakang, membiarkan angin pagi bermain-main dengan ujung selendangnya.Tirta berlari-lari kecil di pinggiran, berusaha mengejar kupu-kupu putih yang entah dari mana datangnya. Tawanya kembali terdengar, agak serak, tapi jujur.Rakasura berdiri agak jauh, di antara batang pohon yang sudah tua. Matanya menatap ke kejauhan, ke arah langit yang mulai jernih. Ia memegang gelangnya, yang kali ini benar-benar diam."Aneh ya," kat