Perjalanan menuju Batu Pemantul dimulai saat fajar masih bersembunyi di balik garis bukit. Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap meski beban di dadanya makin berat. Tirta dan Ayu mengikuti di belakang, mata mereka masih menyimpan sisa keheranan dan kegelisahan dari apa yang mereka alami di sumur gema.Kabut pagi menyelimuti jalur sempit yang membelah hutan dataran tinggi. Pohon-pohon tinggi menjulang seperti penjaga bisu, dan suara burung-burung pun terdengar aneh—seolah dipantulkan kembali oleh udara itu sendiri. Setiap langkah terasa berulang, setiap suara terasa seperti bergema dua kali."Ini bukan pantulan biasa," gumam Ayu. "Suara kita... seperti dipelintir sebelum kembali."Rakasura mengangguk. "Batu Pemantul bukan sekadar tempat. Ia cermin bagi suara batin, bukan suara mulut. Semakin dekat kita, semakin gema itu akan memantulkan sisi yang kita sembunyikan."Tirta meneguk ludah. "Berarti... kita bisa dengar pikiran satu sama lain?"
Matahari pagi menyusup malu-malu ke celah-celah pepohonan di tepi Lembah Sunyi. Tirta duduk sendirian di atas batu besar, menatap ke arah mulut sumur tempat Rakasura dan Ayu turun malam sebelumnya. Laras berdiri tidak jauh, menggenggam tongkat kayunya erat-erat."Sudah terlalu lama," gumam Tirta.Laras mengangguk pelan. "Tapi waktu tidak berjalan sama di bawah sana. Bisa jadi baru beberapa menit bagi mereka, sementara di sini terasa seperti berjam-jam.""Tetap saja. Aku nggak tenang."Mereka terdiam. Angin pagi berhembus lembut, tapi udara tetap terasa berat, seolah masih menyimpan gema dari pertarungan suara yang mengguncang tanah kemarin. Bahkan burung-burung pun belum kembali berkicau.Tiba-tiba, tanah di sekitar mulut sumur bergetar pelan. Sebuah cahaya lembut merambat dari dalam, lalu sosok Ayu muncul, terengah, dengan wajah penuh kelegaan. Di belakangnya, Rakasura naik perlahan, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, tapi matanya tenang
Langit di atas sumur telah berubah warna. Bukan malam, bukan pula siang. Semuanya tampak seperti lukisan abu-abu yang dicuci cahaya biru pucat, tak berbayang dan tak bernuansa. Rakasura berdiri di tepi ruang gema, memandangi air gelap yang kini menguap perlahan, menampakkan dasar cekungan yang berkilau seperti cermin retak."Kita... masih di sini, kan?" suara Tirta terdengar ragu. Ia menyentuh dinding yang semula bersuara, tapi kini bisu seperti batu mati.Ayu menatap langit-langit sumur yang sangat jauh di atas sana. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada jalan kembali. "Tempat ini berubah. Seolah sudah mendengarkan kita. Sekarang ia... menunggu.""Menunggu apa?" Tirta berbisik.Rakasura menjawab tanpa menoleh, suaranya rendah. "Menunggu kita membuat keputusan."Langkahnya membawa mereka mendekati lengkungan jantung yang sebelumnya menyala. Kini lengkungan itu tampak seperti celah gelap yang menganga, dan dari dalamnya keluar angin aneh—tidak din
Sumur itu tak lagi berbicara, namun resonansinya masih bergema dalam dada mereka saat langkah kaki membawa mereka keluar dari kedalaman batu. Rakasura, Ayu, dan Tirta mendaki spiral itu dengan langkah berat namun hati yang sedikit lebih terbuka. Seolah suara yang mereka dengar di dalam sana—walau tak pernah berupa kata—telah meninggalkan jejak tak terlihat.Di permukaan, angin kembali terasa. Kabut masih bergulung di lembah, namun langit tampak lebih jernih. Cahaya keemasan dari matahari yang menurun menyapu puncak batu-batu tegak yang mengelilingi sumur."Rasanya seperti... kita tidak kembali sebagai orang yang sama," gumam Ayu sambil berdiri di tepi lingkaran batu, menatap cakrawala.Rakasura mengangguk perlahan. Ia memandang kedua tangan kosongnya, lalu gelang di pergelangan kirinya yang kini tampak lebih tenang—tak lagi bergetar, tak lagi bersinar, tapi menyimpan keheningan yang dalam."Sumur itu bukan memberi jawaban, tapi menunjukk
Langkah kaki mereka bergaung samar di sepanjang dinding batu melingkar. Undakan demi undakan membawa Rakasura, Ayu, dan Tirta turun ke dalam sumur, menyusuri spiral batu yang terasa tak berujung. Cahaya dari atas mulai lenyap, tergantikan keremangan samar yang tampaknya muncul dari ukiran-ukiran di dinding."Ini... aneh," gumam Tirta. Suaranya seperti tertelan dinding.Ayu menatap sisi lorong, tempat simbol-simbol kuno memendar cahaya biru lembut seiring mereka melangkah. "Mereka hidup. Tapi bukan hidup seperti makhluk."Rakasura tak berkata apa pun. Ia menajamkan indra. Setiap lekuk dinding tampak seperti urat-urat di tubuh raksasa. Setiap gema langkah seperti detak jantung dari sesuatu yang jauh lebih tua dari dunia manusia.Di sebuah titik, tangga berhenti. Mereka tiba di ruang terbuka, bundar, berdinding batu hitam mengilap. Di tengahnya, ada sebuah lempeng batu datar yang mengambang di atas cekungan dangkal berisi air gelap. Di sekeliling ruangan, ad
Langit masih kelabu ketika tiga sosok meninggalkan kota yang baru saja selamat dari kekacauan. Angin pagi membawa aroma hangus yang samar, seperti pengingat akan tragedi semalam. Rakasura berjalan paling depan, bahunya sedikit lebih tegang dari biasanya. Ayu di belakangnya, membawa tas kecil berisi ramuan dan catatan, sedangkan Tirta menenteng buntalan dari Ibu Sinta yang berisi makanan kering dan doa bertinta biru."Kita ke mana sekarang?" tanya Tirta, suaranya pelan agar tidak mengusik kesunyian pagi.Rakasura menatap jalur berbatu yang menurun ke arah lembah. "Sumur. Salah satu titik gema yang disebut dalam catatan Penjaga Teks.""Sumur yang bisa bicara?" Tirta mengangkat alis."Bukan bicara. Bertanya," jawab Ayu. "Laras bilang ini bagian dari lima suara kuno. Setelah nada sunyi, kita harus menemukan suara yang bertanya.""Kita baru saja melewati sunyi yang membuat telinga berdarah," gumam Tirta. "Sekarang suara yang bertanya? Dunia ini makin aneh."Mereka menyusuri jalan setapak y