Dengung dari lima batu nada semakin nyaring. Seperti lonceng yang tak dibunyikan oleh tangan, melainkan oleh waktu. Suara-suara itu bergetar dalam dada, membentur dinding batin, memaksa setiap jiwa di dalam ruangan untuk menatap ke dalam dirinya.Penjaga Sunyi masih berdiri di tengah ruangan, tenang seperti patung hidup. Cahaya dari kelima batu memantul di mata kelabunya, tapi tidak menunjukkan emosi.“Jika kalian tidak memilih,” ujarnya lembut, “maka semua gema yang telah kalian lepaskan akan menghilang seperti embun pagi.”Rakasura menatap gelangnya. Cahaya lembutnya berdenyut, namun tidak menguat. Seolah-olah ia tahu, bahwa untuk melangkah lebih jauh, ia harus kehilangan lebih dulu.Ayu menunduk. “Apa yang kau pikirkan?”“Aku... sedang mencari sesuatu yang bisa kuberikan,” jawab Rakasura pelan.Tirta, yang biasanya paling cerewet, kini duduk diam di lantai batu, menatap ke bawah.&ldq
Perjalanan ke barat daya membawa Rakasura dan rombongannya melewati jalur hutan yang tak lagi tenang. Pohon-pohon berakar tinggi saling menjulur seperti tangan yang mencoba menahan mereka. Kabut tipis turun dari langit tanpa awan, membuat pandangan menyempit, seolah alam sendiri sedang menimbang apakah mereka layak melangkah lebih jauh.Tirta berjalan paling belakang, sesekali menyibak ranting yang menghalangi jalan. “Jalurnya makin sempit. Kenapa semua tempat penting di dunia ini selalu harus susah dicapai?”“Karena suara yang tulus butuh perjalanan panjang,” jawab Ayu dari depan.Nila menambahkan, “Dan tempat yang menyimpan gema paling dalam... pasti tersembunyi dari suara-suara palsu.”Mereka tiba di sebuah bukit yang dipenuhi batu
Langkah mereka kembali mengarah ke selatan, menyusuri jalan setapak yang perlahan berubah dari tanah lembap menjadi jalur berbatu. Pohon-pohon tinggi menjulang seperti tiang-tiang penyangga langit, dan angin berembus seolah membawa bisikan yang belum sempat diucapkan di lembah sebelumnya.Rakasura berjalan paling depan, matanya waspada, tapi ada ketenangan baru dalam geraknya. Ayu dan Tirta mengikuti dari belakang, bersama Nila yang kini membawa kantung kecil berisi perbekalan dari desanya.“Kita benar-benar tidak tahu apa yang menunggu,” kata Ayu sambil memeriksa belatinya. “Setelah semua itu, aku tidak yakin dunia sudah selesai menguji kita.”“Dunia tidak pernah selesai menguji siapa pun,” sahut Rakasura. “Tapi kita tak perlu tahu semua jawabannya hari ini.”Tirta menambahkan, “Yang penting kita tahu arah. Dan punya teman di samping. Sisanya bisa direka-reka sambil jalan.”Jalan mereka melewati jembatan kayu tua yang menggantung di atas jurang sempit. Di seberangnya, sebuah jalan me
Matahari pagi menyinari lembah yang baru saja pulih dari gejolak. Kabut telah menyingkir, meninggalkan embun di ujung daun dan ketenangan yang nyaris asing setelah malam penuh suara dan cahaya. Rakasura, Ayu, Tirta, dan Nila menetap sementara di sisi timur lembah, di antara reruntuhan bangunan tua yang kini menjadi tempat bernaung mereka sejenak.Burung-burung mulai kembali, bersiul ringan di dahan-dahan. Tirta menatap seekor burung kecil yang menclok di batu dekat kakinya dan berseru riang, “Akhirnya makhluk hidup lain selain kita!”Ia mencomot potongan roti dan menjatuhkannya di tanah. “Ini buat kamu, teman kecil. Jangan bilang aku pelit.”Ayu duduk di dekat perapian kecil yang ia buat dari batu dan ranting. Rambutnya diikat seadanya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia tidak
Serangan mendadak yang dilancarkan oleh Rakasura dan rekan-rekannya telah mengguncang keseimbangan ritual yang hampir selesai. Para imam tersisa panik, lari ke sisi-sisi altar untuk mempertahankan posisi. Tapi gema yang telah bangkit dari dalam diri para tawanan—suara yang perlahan mengalir dari hati ke udara—mulai meretakkan lingkaran sihir biru yang mereka bentuk.Ayu terus bergerak di antara tiang-tiang batu, melempar belati ke arah pengikut yang mencoba menyerang balik. Tirta menciptakan pengalih pandangan berupa kabut dan kilatan cahaya, membuat barisan musuh terus kacau.Namun pusat pertarungan tetap berada di antara Rakasura dan pemimpin sekte. Ledakan energi dari benturan antara tongkat si pemimpin dan perisai cahaya Rakasura berulang kali menghantam tanah dan memantul ke sisi-sisi lembah. Suara mereka tidak lagi dalam bentuk kata-kata, tapi
Lembah Gema menggema dengan ketegangan tak terlihat. Langkah kaki para pengikut Cahaya Terakhir terdengar berat, seakan terjerat oleh gema keyakinan yang sudah terlalu lama mereka tanam, tapi tak pernah mereka dengar dengan jujur. Di kejauhan, barisan tenda hitam berdiri seperti duri yang menusuk tanah suci.Rakasura berjongkok di balik bebatuan tinggi, menatap pusat upacara tempat para tawanan desa—termasuk ibu Nila—berlutut dalam lingkaran simbol api biru. Mantra samar terdengar, dibacakan oleh empat imam sekte yang berdiri di empat penjuru gerbang batu besar. Di tengah, berdiri pemimpin baru yang mengenakan jubah lebih gelap, wajah tertutup topeng kain, suaranya berat dan menggema melalui megafon ilusi yang memperbesar niatnya.“Kita akan buka suara tertua dunia,” serunya, “dan menggantinya dengan kebenaran baru: bahwa suara han