Share

Bab 7

Author: Zidan Fadil
last update Last Updated: 2025-04-15 11:14:06

Langkah Rakasura menyusuri tanah berembun yang dingin. Malam belum sepenuhnya larut, tapi hutan sudah tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Hanya cahaya rembulan yang terselip di antara sela dedaunan lebat, memberi sedikit pencahayaan yang samar.

Dedaunan pepohononan besar di sekeliling Rakasura bergoyang pelan. Angin malam mengangkat aroma tanah basah, disertai suara-suara kecil dari beberapa binatang malam sesekali terdengar seakan ada yang mengalangi mereka untuk bersuara lebih lantang.

"Aku tahu kau ada di sini..." gumam Rakasura pelan, hampir seperti berbicara kepada sang hutan itu sendiri.

Kretek!!

Terdengar suara ranting patah diikuti suara langkah ringan. Rakasura menoleh cepat.

"Siapa di sana?"

Tak ada jawaban.

Ia melangkah lebih dalam, menyusuri jejak samar yang seperti baru terbentuk. Banyak bekas dedaunan terinjak, menunjukkan anda-tanda kehadiran seseorang—atau sesuatu.

Lalu sebuah bisikan asing terdengar. Suara bisikan itu terdengar dari seluruh penjuru seakan seluruh hutan berubah menjadi sebuah media yang menghantarkan getaran suara bisikan itu.

Rakasura berhenti

"Jangan berpura-pura,"

"Kau mencium keberadaanku sejak aku melangkah ke sini." Ucapnya dengan suara rendah.

Bersamaan dengan itu bayangan menyelinap di antara batang-batang pohon.

Rakasura menarik napas panjang. "Keluar. Aku tahu kau bukan sekadar siluman biasa."

Bayangan itu melewati balik pepohonan dari kanan dan kiri lalu berkumpul mengarah ke satu titik di dalam kegelapan hutan tepat di hadapan Rakasura. Dari kegelapan itu tiba-tiba, sosok tinggi menjulang muncul disetai kabut tipis mendekat ke arah Rakasura.

Sosok itu mengenakan jubah gelap, warnanya terlihat samar tertutup oleh gelapnya hutan malam itu, wajahnya tertutup oleh topeng kayu tua yang tersorot oleh cahaya rembulan yang berhasil melewati celah celah sempit dedaunan menunjukkan ukiran ukiran kuno di permukaan topeng itu.

Ia berdiri tepat di hadapan Rakasura. terlihat kedua bola mata yang menyala menatap Rakasura dengan sorot mata tajam.

"Kau bukan dari dunia ini," ucap sosok itu.

"Kau pun begitu. Tapi berbeda dariku."

"Apa yang membuatmu turun ke tanah manusia?"

"Seseorang harus menghentikan ini. Kau melukai banyak orang tak bersalah."

"Tak bersalah? Mereka semua adalah bagian dari perjanjian lama. Mereka lupa... tapi aku tidak."

Rakasura menatapnya tajam. "Perjanjian lama?!Apa maksudmu?"

"Gelang itu. Itu bukan milik mereka. Itu kutukan. Dan kau—kau penjaganya yang gagal."

Seketika Rakasura maju dan menyerang. Tapi sosok bertopeng itu menghilang dalam bayangan. Hanya suara tawanya yang tertinggal.

"Hati-hati, Penjaga. Waktu tak berpihak padamu di dunia ini. Kau akan kehabisan alasan untuk kembali."

Suara makhluk itu menggema memenuhi hutan, merambat melalui pepohonan yang ada

Rakasura berdiri terpaku. Lalu menarik napas pelan. Ia tahu ini baru permulaan.

Bayangan makhluk itu lenyap seolah menyatu kembali dengan pepohonan dan kabut. Tapi jejak kehadirannya masih terasa. Seakan ada getaran tipis yang tertinggal di udara. Rakasura memejamkan mata sejenak, mengandalkan instingnya. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya lebih dalam ke hutan—bukan suara, tapi dorongan samar dari dalam dirinya.

Ia mengikuti naluri itu. Kakinya melangkah tanpa ragu menembus semak dan akar. Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi, akar-akarnya mencengkeram tanah dengan kuat. Di bawah salah satu akar, cahaya samar tampak memancar.

"Ini... tempat awalnya."

***

Di desa, Ayu duduk di depan rumahnya, menatap langit malam.

"Apa ayah yakin dia akan baik-baik saja?" tanyanya pada ayahnya.

Pak Wira duduk di sampingnya.

"Sejujurnya sulit untuk meyakininya. Tapi aku percaya dia tahu apa yang sedang dia hadapi."

"Aku hanya takut... dia kembali seperti Pak Darmo. Atau lebih parah."

Pak Wira menghela napas. "Orang-orang seperti dia lahir untuk menghadapi hal-hal yang tak bisa dijelaskan. Tapi orang-orang seperti kita... kita yang menanggung rindunya."

Ayu menunduk.

"Aku berharap dia kembali. Secepatnya."

***

Kembali di hutan, Rakasura berdiri di tepi sebuah pohon tua. Di bawah akar pohon itu Ia meraih tanah, menyibak akar itu, dan melihat sebuah batu pipih dengan simbol ukiran—mirip dengan yang ada pada gelangnya.

"Ini... tempat awalnya."

Tiba-tiba, langkah kaki cepat terdengar dari belakang.

"Rakasura!"

Ia menoleh. Ayu berdiri di sana, terengah-engah, matanya cemas.

"Apa yang kau lakukan di sini?! Ini berbahaya."

"Aku tak bisa tinggal diam. Aku takut terjadi sesuatu padamu."

"Ayu, kau tak seharusnya—"

"Diam. Kalau kau bisa mengambil risiko, aku juga bisa. Aku tak mau duduk diam dan menunggu kabar buruk."

Mereka saling menatap. Hening. Tapi bukan hening yang kosong. Ada keberanian di sorot mata Ayu. Dan kekaguman di mata Rakasura.

"Baiklah," ujar Rakasura akhirnya. "Tapi tetap di belakangku. Kita belum tahu apa yang kita hadapi."

Ayu mengangguk.

Di bawah mereka, akar-akar mulai bergetar. Batu ukiran itu memancarkan cahaya terang.

Dan bisikan itu kembali terdengar.

"Kalian datang terlambat..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelang Langit   Bab 43

    Hari telah berganti. Mereka kini berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah keluar dari hutan Tendala, meninggalkan tempat suci penyimpan api dan suara-suara lama yang telah dibebaskan. Tapi meski cahaya pagi menyambut mereka, hati Rakasura, Ayu, dan Tirta tidak sepenuhnya ringan.“Dengar, aku tahu kita sudah sering bertemu hal aneh,” Tirta membuka pembicaraan sambil mengunyah potongan buah asam hutan. “Tapi bisikan tadi malam? Yang kayak suara dari makam zaman purba? Itu... beda.”Ayu berjalan pelan di sampingnya, wajahnya masih terlihat muram. “Bukan hanya aneh. Itu menyakitkan. Seolah ada sesuatu dari dalam diri kita yang ikut bicara.”“Karena itu bukan hanya kenangan orang lain,” Rakasura menjawab tanpa menoleh. “Itu kenangan dunia. Dan ketika dunia mengi

  • Gelang Langit   Bab 42

    Pagi di hutan Tendala datang dengan perlahan. Kabut bergulung di antara pohon-pohon tua, membawa aroma tanah basah dan serbuk bunga liar yang hanya mekar di malam hari. Tapi pagi ini terasa berbeda. Langit tak benar-benar cerah, namun juga tak sepenuhnya mendung. Ada getaran halus di udara, seperti bisikan yang belum diucapkan.Rakasura berdiri di luar kuil yang mereka tinggalkan malam sebelumnya. Lentera merah telah padam, tapi bayangannya masih tertinggal di matanya. Ia tahu, sesuatu telah terbuka. Sesuatu yang tidak bisa ditutup kembali.Ayu datang dari arah sungai kecil, membawa air segar dalam tabung bambu.“Kau tidak tidur sama sekali?” tanyanya.Rakasura menggeleng. “Bukan karena takut. Tapi karena setiap kali aku pejamkan mata, suara itu kembali

  • Gelang Langit   Bab 41

    Setelah peristiwa di mata air suci, nama Rakasura perlahan menyebar di antara desa-desa lembah timur. Bukan sebagai dewa, bukan pula sebagai pahlawan, tapi sebagai pelintas yang membawa keseimbangan. Orang-orang menyebutnya "Yang Membawa Cahaya di Tangan".Namun gelar-gelar itu tidak pernah menyentuhnya. Rakasura tetap berjalan seperti sebelumnya—senyap, teguh, dan waspada. Karena ia tahu, setiap ketenangan adalah awal dari ujian baru.Mereka bertiga kini melanjutkan perjalanan ke utara, menuju kawasan hutan belantara yang dikenal sebagai Tendala—wilayah luas yang belum pernah dijamah kerajaan manapun. Di sana, menurut petunjuk dari benih cahaya Adaka, ada jejak-jejak pertama dari sekte bayangan.“Katanya daerah itu bahkan peta pun enggan menyentuh,” celetuk Tirta sambil menggigit buah mangga

  • Gelang Langit   Bab 40

    Tiga hari setelah mereka meninggalkan Sabana Sangsaka dan menetap sementara di Desa Sumberkaya, ketenangan mulai terasa seperti bagian dari dunia mereka. Tapi seperti semua hal yang terlalu damai, sesuatu yang gelisah mulai menyusup.Rakasura duduk sendirian di beranda rumah bambu, menatap cahaya senja yang membelah kabut tipis di kaki bukit. Tangannya menggenggam kain tenun pemberian warga, tapi pikirannya tak berada di sana. Gelang di lengannya, meski diam, seperti mengingatkannya bahwa waktu mereka tak bisa berlama-lama.Ayu datang membawa dua cangkir air rebusan akar. “Aku belum pernah melihatmu sepagi ini tidak bermeditasi.”“Aku mencoba,” jawab Rakasura pelan. “Tapi hari ini... pikiranku tidak bisa diam.”“Kau mimpi buruk l

  • Gelang Langit   Bab 39

    Langit telah kembali tenang. Setelah cahaya, setelah tameng putih menahan gelombang merah, setelah suara-suara dari masa lalu menggema... akhirnya hanya ada keheningan.Mereka bertiga berjalan menyusuri lereng yang mengarah ke timur, turun dari Sabana Sangsaka menuju daratan yang lebih hijau. Di bawah sana, lembah-lembah mulai hidup kembali. Sungai mengalir jernih, burung-burung bernyanyi, dan warna mulai kembali pada dedaunan.Tirta mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, lalu menjatuhkannya sambil mendesah puas. “Akhirnya tempat yang gak menyeramkan. Aku bisa tidur di rerumputan tanpa mimpi diserang bayangan!”Ayu tersenyum, kali ini tidak setipis biasanya. “Mungkin kita memang butuh istirahat. Warga desa pun berhak cuti, apalagi kita.”Rakasu

  • Gelang Langit   Bab 38

    Langit telah pecah.Bukan pecah seperti badai atau perang petir. Tapi retak perlahan, seperti kulit lama yang mengelupas dari tubuh yang tumbuh. Retakan itu membentang di atas Sabana Sangsaka, membentuk celah cahaya yang tak menyilaukan—justru terasa menatap balik. Seolah langit itu bukan hanya langit, tapi mata. Mata tua yang selama ini tertutup.Rakasura berdiri di tengah sabana, gelang di lengannya kini memancarkan cahaya keperakan yang tenang, tapi dalam. Ia seperti diselimuti aura tak kasatmata yang membuat angin pun tak berani menyentuhnya.Tirta berjalan perlahan ke sisinya. “Kau... baik-baik saja?”“Tidak,” jawab Rakasura jujur. “Tapi aku siap.”Ayu berdiri tak jauh, matanya m

  • Gelang Langit   Bab 37

    Angin di puncak Gunung Simbar tidak lagi dingin. Ia hangat dan lembut, seperti sapaan langit kepada anak-anaknya yang pulang. Cahaya dari gelang Rakasura perlahan-lahan meresap ke udara, membentuk lapisan tipis yang nyaris tak terlihat. Namun kekuatannya bisa dirasakan. Seolah bumi menarik napas lega setelah ribuan tahun menahan beban yang tak dikenal.Tapi bahkan dalam keheningan itu, bahaya tidak sepenuhnya pergi.Mereka bertiga duduk di batu besar di tepi puncak. Di bawah mereka, dunia tampak seperti lautan hijau dan kabut. Rakasura menatap cakrawala dengan dahi mengernyit.“Kau merasa sesuatu?” tanya Ayu, yang duduk di sampingnya.“Gelang ini... belum stabil. Ia menyatu, tapi belum tenang.”Tirta,

  • Gelang Langit   Bab 36

    Kabut malam telah surut. Di langit, bintang-bintang bersinar lebih tajam dari biasanya, seolah memperhatikan perjalanan mereka dari jauh. Tapi Gunung Simbar belum tampak. Yang terlihat hanyalah punggung bukit dan jurang, lembah dan akar-akar pohon yang seperti tangan-tangan tua merangkak keluar dari tanah.“Kalau kita nggak nyasar, gunungnya harusnya udah kelihatan dari sini,” ujar Tirta sambil menepuk-nepuk peta usang yang sudah beberapa kali basah dan robek.“Gunung ini tak bisa dilihat jika kita hanya mencarinya dengan mata,” jawab Rakasura pelan. “Ia hanya muncul jika jiwa yang mencari sudah siap mendakinya.”“Ah, jadi ini semacam pintu spiritual lagi?” keluh Tirta. “Kenapa gak ada tangga aja gitu?”Ayu mena

  • Gelang Langit   Bab 35

    Langit pagi menjelang dengan lambat, seolah ragu untuk menyapa dunia yang masih beristirahat. Embun menggantung di ujung daun, memantulkan sinar mentari yang baru menetas dari balik bukit. Di depan kuil Cahaya Senja, tiga sosok duduk bersisian di atas batu rata yang menghadap ke jurang.Rakasura menatap kejauhan tanpa bicara. Di tangannya, gelang langit perlahan-lahan menunjukkan pola cahaya baru. Empat fragmen telah kembali menyatu, dan kini seluruh lingkar gelang itu berdenyut seperti jantung hidup—masih belum lengkap, tapi sudah bangkit dari tidur panjangnya.“Dari sini… ke mana arah kita?” tanya Ayu pelan. Suaranya masih dibalut kelelahan, tapi ketegasan mulai kembali di matanya.Rakasura menjawab setelah diam sejenak. “Kita akan menuju Gunung Simbar. Tempat tertinggi yang bisa dis

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status