MasukLangkah Rakasura menyusuri tanah berembun yang dingin. Malam belum sepenuhnya larut, tapi hutan sudah tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Hanya cahaya rembulan yang terselip di antara sela dedaunan lebat, memberi sedikit pencahayaan yang samar.
Dedaunan pepohononan besar di sekeliling Rakasura bergoyang pelan. Angin malam mengangkat aroma tanah basah, disertai suara-suara kecil dari beberapa binatang malam sesekali terdengar seakan ada yang mengalangi mereka untuk bersuara lebih lantang. "Aku tahu kau ada di sini..." gumam Rakasura pelan, hampir seperti berbicara kepada sang hutan itu sendiri. Kretek!! Terdengar suara ranting patah diikuti suara langkah ringan. Rakasura menoleh cepat. "Siapa di sana?" Tak ada jawaban. Ia melangkah lebih dalam, menyusuri jejak samar yang seperti baru terbentuk. Banyak bekas dedaunan terinjak, menunjukkan anda-tanda kehadiran seseorang—atau sesuatu. Lalu sebuah bisikan asing terdengar. Suara bisikan itu terdengar dari seluruh penjuru seakan seluruh hutan berubah menjadi sebuah media yang menghantarkan getaran suara bisikan itu. Rakasura berhenti "Jangan berpura-pura," "Kau mencium keberadaanku sejak aku melangkah ke sini." Ucapnya dengan suara rendah. Bersamaan dengan itu bayangan menyelinap di antara batang-batang pohon. Rakasura menarik napas panjang. "Keluar. Aku tahu kau bukan sekadar siluman biasa." Bayangan itu melewati balik pepohonan dari kanan dan kiri lalu berkumpul mengarah ke satu titik di dalam kegelapan hutan tepat di hadapan Rakasura. Dari kegelapan itu tiba-tiba, sosok tinggi menjulang muncul disetai kabut tipis mendekat ke arah Rakasura. Sosok itu mengenakan jubah gelap, warnanya terlihat samar tertutup oleh gelapnya hutan malam itu, wajahnya tertutup oleh topeng kayu tua yang tersorot oleh cahaya rembulan yang berhasil melewati celah celah sempit dedaunan menunjukkan ukiran ukiran kuno di permukaan topeng itu. Ia berdiri tepat di hadapan Rakasura. terlihat kedua bola mata yang menyala menatap Rakasura dengan sorot mata tajam. "Kau bukan dari dunia ini," ucap sosok itu. "Kau pun begitu. Tapi berbeda dariku." "Apa yang membuatmu turun ke tanah manusia?" "Seseorang harus menghentikan ini. Kau melukai banyak orang tak bersalah." "Tak bersalah? Mereka semua adalah bagian dari perjanjian lama. Mereka lupa... tapi aku tidak." Rakasura menatapnya tajam. "Perjanjian lama?!Apa maksudmu?" "Gelang itu. Itu bukan milik mereka. Itu kutukan. Dan kau—kau penjaganya yang gagal." Seketika Rakasura maju dan menyerang. Tapi sosok bertopeng itu menghilang dalam bayangan. Hanya suara tawanya yang tertinggal. "Hati-hati, Penjaga. Waktu tak berpihak padamu di dunia ini. Kau akan kehabisan alasan untuk kembali." Suara makhluk itu menggema memenuhi hutan, merambat melalui pepohonan yang ada Rakasura berdiri terpaku. Lalu menarik napas pelan. Ia tahu ini baru permulaan. Bayangan makhluk itu lenyap seolah menyatu kembali dengan pepohonan dan kabut. Tapi jejak kehadirannya masih terasa. Seakan ada getaran tipis yang tertinggal di udara. Rakasura memejamkan mata sejenak, mengandalkan instingnya. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya lebih dalam ke hutan—bukan suara, tapi dorongan samar dari dalam dirinya. Ia mengikuti naluri itu. Kakinya melangkah tanpa ragu menembus semak dan akar. Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi, akar-akarnya mencengkeram tanah dengan kuat. Di bawah salah satu akar, cahaya samar tampak memancar. "Ini... tempat awalnya." *** Di desa, Ayu duduk di depan rumahnya, menatap langit malam. "Apa ayah yakin dia akan baik-baik saja?" tanyanya pada ayahnya. Pak Wira duduk di sampingnya. "Sejujurnya sulit untuk meyakininya. Tapi aku percaya dia tahu apa yang sedang dia hadapi." "Aku hanya takut... dia kembali seperti Pak Darmo. Atau lebih parah." Pak Wira menghela napas. "Orang-orang seperti dia lahir untuk menghadapi hal-hal yang tak bisa dijelaskan. Tapi orang-orang seperti kita... kita yang menanggung rindunya." Ayu menunduk. "Aku berharap dia kembali. Secepatnya." *** Kembali di hutan, Rakasura berdiri di tepi sebuah pohon tua. Di bawah akar pohon itu Ia meraih tanah, menyibak akar itu, dan melihat sebuah batu pipih dengan simbol ukiran—mirip dengan yang ada pada gelangnya. "Ini... tempat awalnya." Tiba-tiba, langkah kaki cepat terdengar dari belakang. "Rakasura!" Ia menoleh. Ayu berdiri di sana, terengah-engah, matanya cemas. "Apa yang kau lakukan di sini?! Ini berbahaya." "Aku tak bisa tinggal diam. Aku takut terjadi sesuatu padamu." "Ayu, kau tak seharusnya—" "Diam. Kalau kau bisa mengambil risiko, aku juga bisa. Aku tak mau duduk diam dan menunggu kabar buruk." Mereka saling menatap. Hening. Tapi bukan hening yang kosong. Ada keberanian di sorot mata Ayu. Dan kekaguman di mata Rakasura. "Baiklah," ujar Rakasura akhirnya. "Tapi tetap di belakangku. Kita belum tahu apa yang kita hadapi." Ayu mengangguk. Di bawah mereka, akar-akar mulai bergetar. Batu ukiran itu memancarkan cahaya terang. Dan bisikan itu kembali terdengar. "Kalian datang terlambat..."Kabut belum sepenuhnya sirna ketika fajar perlahan menjalar di lembah. Cahaya pertama yang menembus sela pepohonan tampak pucat, seperti sinar yang kehilangan keberaniannya setelah malam yang panjang. Rakasura membuka matanya perlahan, mendengar sayup desiran air di kejauhan. Udara dingin masih menusuk, namun tak lagi menggigit. Hening itu terasa berbeda, seolah dunia baru saja menarik napas panjang setelah ketegangan yang tak berujung.Ayu sudah terjaga lebih dulu. Ia duduk di atas batu besar, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya menatap jauh ke arah lembah yang tertutup kabut. Tangan kanannya memegang selendang, sementara tangan kirinya mengusap batu di sampingnya perlahan, seolah sedang menenangkan sesuatu yang tidak kasatmata.Tirta masih tidur, tubuhnya meringkuk di balik jubah yang lembap. Napasnya teratur, sesekali terdengar dengkuran kecil. Rakasura menatapnya sebentar, lalu berjalan mendekati Ayu."Kau tidak tidur sama sekali?" tanyanya pelan.Ayu menggeleng tanpa menoleh.
Setelah gema terakhir dari pertempuran itu sirna, lembah kembali tenggelam dalam diam. Kabut yang tadi terbelah oleh cahaya dan suara kini perlahan menutup lagi, seolah ingin menelan semua yang baru saja terjadi. Bau tanah hangus dan getah terbakar masih menggantung di udara, namun rasa gentar yang tadi menyelimuti mereka kini berganti dengan kelelahan yang dalam.Rakasura berdiri di tengah bebatuan, napasnya teratur tapi berat. Gelang di pergelangannya tampak redup, seperti bara yang hampir padam. Ia menatap ke arah jalur di mana makhluk bayangan terakhir tadi lenyap, lalu menunduk, memandangi tanah yang masih berasap.Ayu berjalan pelan menghampirinya. Raut wajahnya tidak lagi tegang, namun di balik ketenangan itu, ada sorot mata yang lelah dan khawatir. “Kau terluka?” tanyanya perlahan.Rakasura menggeleng. “Tidak. Tapi gelang ini... terlalu banyak menyerap yang seharusnya tidak ia tanggung.”Tirta datang menyusul, wajahnya kotor oleh debu dan abu. Ia mengusap peluh dengan lengan b
Udara di lembah itu diam. Tak ada suara burung, tak ada desir angin. Hanya sisa abu yang melayang perlahan, membentuk pusaran samar di atas tanah. Di tengahnya, Rakasura berdiri dengan tubuh nyaris tak bergerak. Napasnya berat, tapi matanya masih menatap ke arah di mana bayangan dirinya tadi menghilang.Cahaya gelang di pergelangannya kini tenang. Tidak berdenyut, tidak bergetar, seolah sedang menunggu. Tapi di antara keheningan itu, ada sesuatu yang baru—gema halus, seperti bisikan yang datang dari dalam gelang sendiri."Kau sudah menatap dirimu sendiri, Rakasura," suara itu bergaung lembut. Bukan suara asing, melainkan pantulan dari dirinya sendiri. Suara yang pernah ia dengar di masa ketika masih menjadi dewa langit. "Tapi apakah kau sudah mengenali dirimu sepenuhnya?"Rakasura menutup mata. Dalam gelap, ia melihat kilasan masa lalu: istana langit yang runtuh oleh kesombongannya, petir yang ia lempar ke bumi, dan wajah-wajah manusia yang ia remehkan. Lalu berganti menjadi wajah Ayu
Sisa gema pertempuran masih terasa di udara ketika mereka bertiga memasuki ruang yang lebih luas. Cahaya yang berdenyut dari gelang di pergelangan Rakasura memantul di dinding-dinding batu, memperlihatkan relief-relief kuno yang menggambarkan sosok-sosok bersayap dan manusia yang berlutut, tangan terentang ke arah langit. Udara di sini tidak lagi hanya dingin, tetapi sarat getaran, seperti suara yang nyaris terdengar namun menahan diri untuk tidak pecah.Rakasura melangkah pelan. Kakinya menyentuh permukaan lantai yang licin, namun setiap pijakan terasa seolah menyentuh nadi bumi. Gelang di pergelangannya berdenyut makin kencang, seakan mengenali tempat ini. Ayu berdiri di sampingnya, wajahnya pucat namun mata bersinar. Tirta berjalan sedikit di belakang, jemarinya menggenggam pusaka kecil yang diberikan oleh ayahnya dulu."Ini… ruang inti perjanjian lama," gumam Rakasura lirih. "Semua jalan yang kita tempuh mengarah ke sini." Kata-katanya tidak sekadar penegasa
Kabut tebal yang tercabik oleh ledakan pertemuan mereka dengan Makhluk Bayangan perlahan menutup kembali, seperti luka yang berusaha sembuh. Bau tanah basah bercampur darah samar masih tertinggal di udara. Sisa-sisa energi hitam berputar di atas tanah, menari-nari sebelum lenyap menjadi percikan cahaya dingin. Di tengahnya, Rakasura berdiri tegak dengan napas tersengal. Gelang di pergelangannya berdenyut seirama dengan jantungnya, memancarkan sinar biru pucat yang kini terasa lebih berat daripada sebelumnya.Ayu menahan tubuhnya dengan tongkat kayu yang ditemukan di sela bebatuan. Bibirnya memucat, namun matanya tetap menyala. "Itu... baru bayangannya saja," ucapnya lirih. "Seperti penjaga awal. Kita bahkan belum sampai ke inti."Tirta menatap sekeliling, memegangi bahu yang tadi sempat tercakar. "Kalau ini baru awal, aku tidak bisa membayangkan apa yang menunggu kita nanti." Ia berusaha tertawa kecil, tapi suaranya teredam oleh kabut.Rakasura mengangkat wajahn
Langkah mereka membawa ke sebuah ruang lapang yang tak ada di peta gunung mana pun. Permukaan tanahnya rata, seperti dipahat tangan raksasa, dan setiap sisi dipenuhi tiang batu menjulang seperti senar instrumen purba. Kabut yang tadi lembut kini berputar-putar, membentuk pusaran besar di atas kepala. Di tengah pusaran itu, seberkas bayangan menggantung—makhluk itu seakan tak memiliki bentuk tetap, hanya gumpalan gelap dengan ujung-ujung menjulur seperti tinta yang larut dalam air.Rakasura berhenti di bibir lapangan. Cahaya gelangnya berdenyut cepat, kali ini panasnya terasa sampai ke tulang. Ayu menutup telinga, karena dari bayangan itu terdengar bunyi rendah yang bukan suara manusia atau hewan; bunyi yang lebih mirip gema dari perjanjian lama yang patah. Tirta melangkah maju satu langkah, lalu terhenti. "Itu dia… makhluk yang selalu mengikuti kita." Suaranya lirih.Bayangan itu memanjang, menjalar ke tiang-tiang batu. Tiap kali menyentuh permukaan, muncul kilatan gambar: Rakasura di







