Apa hubungannya waktu dengan semua ini?
Langit malam itu berwarna ungu kelam, seperti tinta yang ditumpahkan di atas kanvas hitam. Tak ada bintang, hanya lengkung samar bulan sabit yang tergantung seperti senyuman miring di langit. Angin yang berhembus dari utara membawa aroma aneh: bau logam, bunga kering, dan sesuatu yang seperti... api yang belum menyala.Rakasura membuka matanya perlahan. Ia duduk bersila di atas batu besar, dikelilingi lingkaran kecil yang ia ukir sendiri: simbol-simbol pelindung, simpul roh, dan garis pemisah antara alam sadar dan tak sadar. Gelang di lengannya bersinar lembut, seluruh fragmen yang telah terkumpul kini menyatu dalam satu lingkar penuh, namun masih tampak retakan kecil yang belum terisi cahaya."Sudah siap?" suara Ayu terdengar pelan dari belakang.Ia berdiri tak jauh dari Rakasura, mengenakan jubah tipis yang ia tem
Hutan yang mereka masuki selepas Lembah Kabut terasa lebih liar, lebih sunyi, seakan suara burung pun enggan tinggal di antara pohon-pohon tinggi yang daunnya menyaring cahaya matahari menjadi bayangan hijau kebiruan. Angin hanya berhembus pelan, membawa aroma basah dari dedaunan tua dan tanah yang belum disentuh langkah manusia selama bertahun-tahun."Ini bukan jalur biasa, ya?" tanya Tirta sambil menepis ranting yang menjulur.Rakasura mengangguk pelan. "Ini bukan tempat yang ditemukan lewat peta. Tempat ini memilih siapa yang bisa masuk.""Dan kita... dipilih?" Tirta melirik ke Ayu, yang hanya mengangguk dengan waspada."Untuk sementara," gumam Rakasura. "Jika niat kita berubah, hutan ini bisa menutup jalan."Hari sudah me
Setelah rentetan pertemuan gaib dan pertarungan batin, pagi itu akhirnya datang juga. Bukan dengan kilatan cahaya atau denting kemenangan, tapi dengan embun yang diam-diam menetes dari ujung dedaunan, dan sinar matahari pertama yang malu-malu menyusup dari celah akar raksasa.Tirta adalah yang pertama bangun. Rambutnya awut-awutan, dan ia menggeliat seperti anak kucing yang baru keluar dari selimut. Setelah menengok ke kanan dan kiri, ia menarik napas panjang lalu menggumam, "Masih hidup... Alhamdulillah."Di dekatnya, Ayu duduk bersandar pada akar, matanya masih sayu, tapi lebih tenang. Rakasura sendiri masih bermeditasi, wajahnya bersinar lembut oleh cahaya samar gelang di tangannya."Kalau ini hari libur, aku pilih tidur lagi," keluh Tirta, mengambil sisa roti dari tasnya dan menggigitnya pelan. "Tapi ya sudahlah, petualangan belum selesai."Ayu tersenyum tipis. "Petualangan atau penderitaan terselubung?""Dua-duanya," sahut Tirta sambil duduk d
Udara di sisi lain lembah terasa berbeda. Lebih kering, lebih sunyi, seolah semua suara tertelan oleh tanah. Rakasura, Ayu, dan Tirta melangkah perlahan melewati jalur batu tua yang tampaknya belum dipijak manusia selama puluhan tahun.Dedaunan di kanan-kiri jalur telah mengering, namun tidak gugur. Mereka menggantung di ranting seperti ditahan oleh waktu. Setiap langkah menimbulkan gema kecil, meskipun tanahnya tak keras. Keheningan terasa pekat."Tempat ini seperti menahan napas," bisik Ayu.Rakasura mengangguk. "Kita semakin dekat. Fragmen keempat seharusnya berada di pusat lembah terdalam. Tapi... aku rasa itu bukan hanya sekadar tempat persembunyian.""Maksudmu?" tanya Tirta."Tempat ini menyimpan sesuatu yang dikunci. B
Kabut masih menyelimuti lembah saat mereka keluar dari lorong batu. Langit mulai berubah warna, mengguratkan semburat jingga di ujung cakrawala. Malam nyaris usai, tapi udara tetap dingin. Tirta menggigil pelan sambil merapatkan jubahnya."Kita harus cari tempat berteduh," gumamnya. "Aku tidak yakin kabut ini cuma kabut."Ayu menoleh, matanya menyapu lembah yang tampak asing meski mereka baru saja melewatinya beberapa jam lalu. Tanaman menjalar di dinding-dinding tebing kini tampak layu, dan tanah di sekitar kaki mereka terasa lembek seperti baru disiram hujan.Rakasura berdiri diam di tempatnya, mata terpejam. Fragmen ketiga yang baru saja ia peroleh kini menggantung di lehernya, disatukan dengan dua lainnya oleh tali kulit sederhana."Airnya mengalir ke tempat yang tidak semestinya," ucapnya pelan. "Ada sesuatu yang mengubah aliran unsur di lembah ini."Tirta mengangkat alis. "Maksudmu... ada yang mengacaukan energi alam?"Rakasura mengang
Kabut masih menyelimuti lembah ketika langkah mereka menyusuri jalan berbatu yang perlahan menurun. Matahari hanya menembus samar-samar melalui celah tebing tinggi di kedua sisi, membuat seluruh tempat tampak seperti berada dalam senja abadi. Setelah percakapan penuh ketegangan dengan Purnama, kini Rakasura, Ayu, dan Tirta melanjutkan perjalanan mereka menuju bagian terdalam dari Lembah Kabut."Kau yakin tempat ini ada hubungannya dengan fragmen ketiga?" tanya Ayu, matanya tak lepas dari belukar yang mereka lewati."Ya. Aku bisa merasakannya," jawab Rakasura, suaranya rendah. Ia membuka telapak tangan kirinya, tempat serpihan logam — dua bagian gelang yang telah mereka temukan — berdenyut lembut dengan cahaya kebiruan.
Pagi itu, kabut menggantung rendah di atas Kota Maruta. Rakasura, Ayu, dan Tirta duduk di sudut belakang sebuah kedai kecil, jauh dari jalan utama. Suara pasar terdengar sayup dari luar: langkah tergesa, tawar-menawar, dan derit roda gerobak. Tapi di dalam ruangan, semuanya terasa tenang. Terlalu tenang.Di atas meja kayu kasar, terbentang serpihan logam yang mereka ambil dari lorong bawah tanah. Saat disinari cahaya pagi, guratan-guratannya menampilkan pola samar: bukan sekadar ukiran, tapi garis-garis yang perlahan membentuk sebuah peta.Ayu menyipitkan mata. "Ini bukan peta kota. Tapi... semacam jalur."Tirta memiringkan kepalanya. "Kalau ini jalur rahasia, kenapa bisa tergambar di pecahan gelang? Apa peta ini muncul karena fragmen lain bereaksi?"Rakasura mengangguk
Kota Maruta saat pagi tidak seperti kota lain. Kabut tipis menggantung di udara bahkan setelah matahari naik. Pasar mulai hidup dengan suara besi bertemu besi, bau roti hangat, dan teriakan pedagang yang bersaing dengan denting palu pandai besi.Rakasura, Ayu, dan Tirta berjalan menyusuri jalur utama pasar, mata mereka waspada. Di antara keramaian, mereka mencari petunjuk yang hanya bisa dilihat jika tahu apa yang dicari: lambang tersembunyi, kata-kata berkode, bisikan tentang lorong-lorong yang tidak tercantum dalam peta."Pasar ini padat tapi... terlalu rapi," gumam Ayu.Tirta melirik sekeliling. "Kau yakin ini bukan karena kota ini memang disiplin? Mungkin rajanya perfeksionis.""Bukan. Lebih seperti... ada sesuatu yang disembunyikan."
Langit sore menjingga pucat saat tiga sosok berjalan melintasi jalur sempit di antara bukit-bukit kecil yang mulai gersang. Udara berubah; tidak lagi segar seperti di pinggir hutan Aranira, melainkan lebih kering, berdebu, dan membawa bau tanah terbakar. Daerah ini adalah perbatasan menuju wilayah utara — arah Kota Maruta.Tirta mengibas debu dari wajahnya. "Kita udah jalan berapa hari, sih? Rasanya punggungku udah menua sepuluh tahun."Ayu, yang berjalan di depan, tak menjawab. Ia menatap horison di kejauhan, tempat bayang-bayang tembok kota mulai terlihat samar.Rakasura berjalan pelan di belakang mereka, satu tangannya menyentuh bagian dada tempat fragmen-fragmen disimpan. Ada denyut samar di sana. Energi yang semakin kuat, semakin resah, seolah tahu mereka mendekati sesuatu.