Sejak hasil tes kami keluar, Ibu mertua dan suamiku mulai perlahan berubah sikap. Tidak lagi begitu peduli denganku. Aku bisa merasakan perubahan itu. Bahkan Ibu lebih perhatian ke Bilna dari pada kepadaku. Sedangkan Bilna tampak semakin berkuasa saja di rumah ini.
Pagi hari di meja makan, Aku berniat sarapan bersama-sama dengan mereka. Ku ambil piring untuk mengambilkan nasi buat suamiku, tapi lagi-lagi Bilna mendahuluiku. "Nggak usah Mbak, biar Bilna saja yang ambilkan Mas Habib nasi!" Ujarnya cepat, sambil tangannya dengan cekatan menaruh sarapan buat suamiku. Lalu buat mertuaku. Seolah-olah dia mau mengambil peranku di rumah ini. "Iya, Aliyah. Nggak apa-apa Bilna yang ambilkan." Suamiku membenarkan kata-kata Bilna. Dari sudut bibirnya Aku melihat ada senyuman tipis yang menggambarkan kebahagiaannya. Apa yang dia bahagiakan? Sedangkan Aku masih saja terbawa-bawa rasa pilu karena surat keputusan dokter itu. Apakah Habib tidak merasakan kesedihanku. Ah mana mungkin. Dengan adanya Bilna di rumah ini, sudah pasti dia merasa bahagia. Seusai sarapan, Aku berniat ingin mencuci piring. Tapi lagi-lagi Bilna mendahuluiku. Padahal tadi sarapannya belum habis. "Kamu kan lagi makan, selesaikan dulu makanmu, Bilna." "Bilna sudah selesai kok, Mbak. Sini sini biar Bilna saja yang nyuciin." Ya di sana ada Ibu mertuaku, ini yang menyebabkan Bilna berperilaku seperti ini. Beberapa saat kemudian, mencari perhatian calon mertua rupanya. Selalu saja seperti ini. Di hadapan mertuaku selalu rajin luar biasa. Tapi di belakangnya. Kamar sendiripun berantakan. Setelah sarapan, mertuaku beranjak meninggalkan kami. Setelah mertuaku hilang dari pandangan, "Eh Mbak, Mbak kemari sebentar." Ada apalagi Bilna memanggilku. Dengan suara pelan-pelan lagi. Bukannya dia keseringan kalau bicara setengah berteriak. Kok sekarang jadi seperti bisik-bisik ya? "Ada apa, Bil. Kok manggil-manggil?" "Hey Mbak, Mbak kira siapa saya ini? Pembantu? Sini bantuin bersihkan meja makannya, habis makan ngeloyor saja." Aneh Bilna ini tadi sewaktu ada si Ibu Mertuaku, dia bela-belain mengerjakan semuanya sendiri, Aku mau membantupun tidak boleh. Sekarang setelah Ibu keluar malah bicara begitu. Memang benar-benar mau mencari perhatian nih orang. "Eh Bukan nya kamu mau mengerjakannya seorang diri. Ya selesaikan saja seorang diri. Kamu kan bisa mengerjakannya sendiri. Aku mau berangkat kerja buru-buru." Aku ngeloyor meninggalkannya yang memasang wajah jutek. Di pintu kamar Aku berpapasan dengan Habib yang sepertinya mau menuju dapur. Ku ikuti langkahnya pelan-pelan. "Tuh Mas si Mandul itu tidak mau membantuku membereskan meja makan. Meninggalkan Aku yang dia suruh mengerjakan ini semua. Keterlaluan, Mas si Mandul itu. Kapan sih kamu menceraikannya. Aku sudah tidak tahan hidup serumah dengan dia." "Sabar dulu, sayang. Belum bisa sekarang. Sekarang kamu pintar-pintar saja mengambil hati Ibu, sampai dia benar-benar menyukaimu. Kita harus mendapatkan dukungan Ibu." "Tapi Bilna capek, Mas. Lebih baik Mas membelikan rumah yang lain saja untuk ku tempati. Atau usir saja dia Mas." "Sabar. Membeli rumah itu bukan soal gampang, lokasinya harus di cari yang bagus. Desainnya harus sesuai selera, sabar-sabar saja dulu. Lagian kamu juga sih pakai acara pecat-pecat pembantu saja, jadi kan repot sendiri." Benar juga tuh ucapan Habib. Salah siapa coba memecat-mecat pembantu, padahal ini rumahku. Sebagai gantinya, dialah yang harus menggantikannya. Hihihiii. "Jadi, Mas mau menyalahkan Aku? Aku rela-rela begini karena benar-benar mau menjadi istrimu menggantikan si Mandul itu, Mas." Wanita itu merajuk rupanya. Ih jijiknya. Dia menyenderkan badannya ke bahu suamiku. Untung rasa cintaku telah memudar untuk Habib kalau tidak, bisa-bisa Aku cemburu berat. Dengan santai Aku menghampiri mereka. "Sudah selesai pelukannya? Bersihkan dulu meja makannnya, baru di lanjutin mesra-mesraannya." "Eeeh Mama, maaf Ma ini tidak seperti yang Mama lihat." Habib berusaha membela diri. Tapi bagaimanapun Aku tidak bisa di kelabui lagi. Bilna melepaskan dirinya dari bahu Habib. Dengab wajah pedenya dia menghampiriku. "Mas, sekarang tidak ada yang perlu di sembunyikan lagi. Aku dan Mas Habib memang punya hubungan khusus." "Apa maksudmu Bilna? Kita tidak ada hubungan apapun." Habib berusaha menolak pengakuan Bilna. Berani sekali wanita ini. Dan sangat tidak mempunyai rasa malu. " Sudahlah, Mas. Jangan berpura-pura lagi. Aku yang sebentar lagi menggantikan posisi Mbak Aliyah menjadi Istri Mas Habib. Kita saling mencintai. Aku akan memberikannya keturunan yang bisa mewarisi perusahaan Papa Mertuamu. Karena dari rahimmu tidak mungkin bisa melahirkannya. Kamu Mandul Aliyah. Rasain jadi mandul." Plakkk...... Tanganku tanpa dapat ku tahan lagi menampar wajah mulusnya. Dia terkesiap. Begitu juga dengan Habib. Kaget melihat kekesalanku. "Kamu harus menjaga tutur katamu Bilna. Aku ini kakakmu sendiri. Sudah di kasih numpang malah mau merebut suami orang. Wanita tidak berperasaan. Di mana otakmu coba?" "Kamu tidak bisa menyalahkan Aku begitu saja Aliyah. Kamu sadarkan kamu tidak bisa memberi Mas Habib anak. Makanya Aku terpaksa menggantikan posisimu. Sadar diri dong kamu." Hahaaa terpaksa katanya. Mana ada terpaksa mengambil suami orang? Itu mah namanya keinginan. Memang niatnya begitu Ingin rasanya ku tampar mukanya sekali kagi. Tapi Habib mencegat tanganku. "Sudahlah, Ma. Jangan main kasar. Kasihan Bilna." "Terus saja bela simpananmu itu. Wanita tidak tahu diri itu. Dikasih hati malah minta jantung. Teruskan saja hubungan kalian. Aku juga sudah muak melihat sandiwara kalian." "Aliyah Bukan begitu maksudku. Dengarkan dulu penjelasanku." Habib mengejarku. Namun Aku buru-buru menutup pintu kamarku. Dan keluar dengan baju kerja tanpa mempedulikan mereka lagi. Bilna Bilna , Kau pikir Aku takut denganmu. Sekalipun Aku mandul, bukan berarti Aku harus tunduk pada kalian. Sudah begitu jijiknya Aku melihat sikap pongah Bilna di rumahku. Salah perasaan kali, dia pikir dia nyonya di rumah ini. Memang payah kalau tidak sadarkan diri. Mana numpang, suami orang di embat, sudah begitu berlagak menjadi Nyonya Tuan Rumah. Ciih. Memalukan tuh wanita. Sebelum Aku pergi ke kantor. Ku sempatkan diri untuk memasuki kamar Bilna. Aku tahu Habib sudah tidak lagi di rumah, dia sudah pergi. Sedangkan Mertuaku tadi pamit mau ke pasar. Tanpa rasa takut ku hampiri wanita jalang ini. "Haloo, Bilna sayang. Adikku yang tercinta juga perebut suamiku." Bilna kaget dengan kedatanganku. Rupanya kedatanganku kali ini sukses membuatnya ketakutan. Mungkin karena hadiah telapak tanganku di meja makan tadi memberitahunya bahwa dia bukanlah orang yang ku takuti. Kalau saja Aku mau bisa saja Aku buat kaki atau tangannya tidak berpungsi lagi. Tapi untuk apa. Nanti saja akan ku beri dia pelajaran yang lebih berartiBersambungBab 72Dugh!Honor pensiun?Haduh, mati aku! Kenapa Pak Tohir malah bicara soal honor pensiun sih? "Hmm ... Honor pensiun selalu kukirimkan pada mantan istriku, Pak. Menurutku anakku jauh lebih membutuhkan uang itu daripada saya." jawabku cepat.Untung aku cepat berpikir ke arah sana. Jadi tidak ketahuan kalo sebenarnya setiap bulan tidak ada yang namanya uang pensiun untukku. Lagipula aku tidak punya anak kan, he ... he ...!"Oooh, pemikiran seorang ayah yang baik." Pak Tohir menganggukkan kepalanya.Aku menghela nafas panjang, setidaknya aku bisa membuat Pak tohir percaya kalau aku memang benar-benar mendapatka uang pensiun setiap bulan. Berbohong memang tidak di larang demi bisa menjaga nama baik diri kita sendiri bukan? Memangnya siapa lagi yang akan menjaga nama baik kita selain dari diri kita sendiri?*** Pagi ini aku kembali menyetirkan sepeda motor bututku menuju ke kompleks mewah dimana kemarin aku bekerja. Huuh, untuk sementara tidak apa-apa lah aku bekerja seperti ini
Bab 71"Itu, tetangga sebelah, Bib.""Ooh ..!" Aku ber oh ria."Katanya dia mau minta tolong juga sama kamu buat bersihin paritnya juga. Soalnya tukang kebunnya lagi cuti. Kamu mau kan?" lanjut Pak Tohir."Boleh kok.. mau banget malah. Kebetulan aku lagi butuh banyak uang nih." celetukku.Tentu saja aku sedang membutuhkan uang sekarang. Soalnya mulai besok aku ingin mencoba untuk melamar pekerjaan baru dan itu aku butuh bensin tentunya. Beli bensin sekalian rokok itu sudah cukup untuk membuatku susah mencari uangnya. Tidak seperti dulu. Kalau dulu mah dua barang itu adalah dua hal yang sangat mudah untuk aku dapatkan. Ah beginilah nasib yang diberikan tuhan. Kadang terasa tidak adil memang.Setelah beberapa saat lamanya, aku memutuskan untuk memulai pekerjaan.Dengan semangat aku menggeluti pekerjaan ini. Aku mulai menebak, berapa kira-kira uang yang akan diberikan oleh anaknya Pak Tohir nanti. Siapa tahu lima ratus ribu. atau bisa-bisa lebih mengingat anaknya ini adalah seorang dok
Bab 70Aku fokuskan kembali pendengaranku agar lebih baik. Entahlah karena rasa benci ku padanya juga membuat aku penasaran dengan apa sebenarnya yang mereka obrolkan. Orang-orang biasa menyebut sifatku ini kepo. Tapi aku peduli amat.Ternyata tidak meleset pendengaranku sebelumnya, bahwa laki-laki itu benar-benar menolak ajakan temannya untuk berlibur hanya karena ayah dan anak mereka.Busyet sekali. Mungkin saja dengan cara itu ia sudah merasa menjadi pahlawan untuk Aliyah. Aku yakin sekali anggapanmu itu pasti salah, Rama. Andaikan saja kau sadar pada kenyataannya akulah yang lebih lama hidup bersama aliyah dibanding kamu yang baru beberapa tahun saja menikahinya. Jadi, aku belum merasa kalah dibanding kamu. Memang itu kenyataan kok.Beberapa saat kemudian aku lihat laki-laki itu pergi meninggalkan teman yang tadi berusaha merayunya untuk pergi berlibur bersama tanpa keikutsertaan Aliyah. Kulihat ada raut kesal pada wajah temannya yang ia tinggalkan.Ingin rasanya aku merebut A
Siang ini serasa aku tidak berselera untuk menyelesaikan semrawut agenda pekerjaan di perusahaan. Batinku masih terbayang-bayang dengan sikap Aliyah yang sedang menaruh curiga padaku. Aku memilih untuk duduk di restoran seorang diri. Biasanya aku sangat bersemangat untuk pulang dan menemui Aliyah dan juga Bian. Tapi kali ini aku merasa pasti akan sia-sia bila aku pulang. Sebab Aliyah pasti akan kembali mengabaikan aku. Sesuatu yang cukup membuatku tersiksa."Hai...!" aku di kejutkan dengan suara yang tidak terlalu asing di telingaku.Aku menoleh."Jhoni? Kamu lagi?" Jhoni terlihat tersenyum menanggapi respon dariku. "Sendirian ajah?" tanyanya."Iya nih." jawabku."Kenapa nggak bareng temen?" tanyanya."Ah sesekali menyendiri, Jhon." jawabku datar."Kenapa malah terlihat sendu, Bro? kamu punya masalah apa? Hayoo ngaku,! Iya, kan? Sini ..! Cerita sama aku ajah!" Jhoni duduk di depanku setelah memesan santap siangnya."Ah enggak, aku nggak punya masalah apa-apa kok." jawabku menyembu
Bab 68Hari ini aku berniat menyibukkan diri dengan kegiatan bersama beberapa teman kantor. Kebetulan ada sebuah kegiatan yang diadakan hari ini.Biasanya di hari libur seperti ini, aku akan senantiasa berlibur bersama Rama dan Bian, putraku. Kalaupun ada kegiatan, aku biasa memilih untuk tidak ikut, sebab waktu bersama keluarga lebih penting bagiku.Tapi tidak dengan hari libur kali ini. Aku seperti tidak berselera untuk menghabiskan waktu bersama Rama. Laki-laki yang baru saja membuat hatiku terluka.Sederetan pesan yang sedemikian gamblang menunjukkan siapa si pengirim pesan, membuatku sulit untuk mempercayai kata-kata ramah. Untuk saat ini, aku merasa tak bersimpati sedikitpun dengan segenap alasan yang ia utarakan. Bisa saja itu hanyalah salah satu cara yang Rama tempuh untuk mengambil kepercayaanku kembali. Tidak Rama! Tidak akan semudah itu untuk mengembalikan kepercayaan ini.Memang ini pertama kalinya seumur-umur pernikahan kami aku mendapati ujian seperti ini. Dan ini merup
Bab 67"Siapa yang mengirimkan pesan seperti ini? Siapa?"[Rama, aku tunggu kamu di depan Mutiara Hotel ya. Sesuai sama janji kamu kemarin. Masih ingat kan kamu bilang apa. Oke deh ditunggu malam ini. Seperti biasa, jam 08.00 malam jangan lupa. Hmm... Jangan sampe ketahuan Aliyah ya, Sayang.]Degh!Jantungku berdegup, apa maksudnya coba.[Oh ya, Rama, jangan lupa katanya kamu pengen beliin aku cincin buat hadiah ulang tahunku besok? Makanya sebaiknya kamu nginep aja malam ini di Mutiara hotel, biar pagi besok kita langsung ke toko perhiasan buat memenuhi janji kamu. Aku pengen kamu beliin aku liontin yang berwarna biru. Hehee]Aku semakin tidak mengerti dengan pesan itu. Aneh benar-benar aneh.Sementara aku melihat jekas ekspresi marah pada wajah istriku.Aku tidak bisa menyalahkannya. Bagaimanapun aku bisa memposisikan diri sebagai dirinya yang merupakan istriku. Jujur saja jika seandainya aku yang berada pada posisinya saat ini tak urung aku juga pasti akan termakan emosi. Siapa ya