Share

Bab 4 Hasil Tes

     Aku tetap pura-pura tidak mengetahui akan pengkhianatan dua manusia yang justru orang-orang terdekatku itu. Aku lebih fokus ke pekerjaanku. 

     

     "Tante Eri jangan pulang dulu ya, Tan. Hari ini kita mau lihat hasil tes kesuburan Mas Habib dan Mbak Bilna. Nanti biar Bilna juga ikut untuk nemenin Mbak Aliyah buat ambilkan hasil tesnya. Sekalian mau membezuk teman Bilna di rumah sakit. Mas Habib tetaplah untuk bekerja. Hitung-hitung saya mau turut membantu."

     

     "Niatmu sangat baik Bil. Tante nggak keberatan dengan niatmu.

     

     "Kemarin saya sudah menghubungi bos saya, Tante. Dia mengizinkan saya untuk tidak masuk hari ini."

     

     Lagi-lagi Bilna seperti terlalu bersemangat dengan hasil tes itu. Mengapa dia terlalu bersemangat bahkan cuma mau mengambil hasil tes saja dia rela meliburkan diri. Aneh. Aku saja biasa-biasa saja. Kok dia yang lebih sibuk di banding Aku.

     

     "Kalau sampai kamu mengorbankan hari kerjamu, mendingan nggak usah Bil. Biar Mbak saja yang ambil nanti."

     

     "Nggak apa-apa, Mbak. Bilna mau ikut."

     

     Aku iyakan saja akhirnya. Buat apa Aku melarangnya lagi. Lumayan juga sih, tidak mengganggu jam kerjaku di kantor. 

     

     Bilna ini sangat rajin dirumah, selagi ada Mertuaku. Beruntung pula Aku kalau ada Ibu mertua. Semua pekerjaan rumah tangga di borong oleh Bilna. Aku tidak perlu bersusah payah membantu. Bahkan dia sempat menyuruh Bik Jum meliburkan diri selama beberapa hari. Subuh-subuh dia akan bangun mendahuluiku. Luar buasa acting Bilna. Untuk apalagi coba kalau tidak untuk mengambil hati si Ibu Mertua. Sehingga actingnya menuai berkali-kali pujian dari Ibu Mertuaku. Padahal kalau tidak ada Ibu, mencuci piring bekas makannya saja dia ogah.

     

     Bagus.. usahanya untuk merebut hati Ibu sepertinya sudah menampakkan hasil. Sekarang Ibu malah lebih sayang kepada Bilna di banding Aku. Bahkan juga sekarang Ibu sangat sering membanding-bandingkan Aku dengan Bilna. Katanya Bilna itu sosok perempuan sempurna. Sudah cantik, rajin, perhatian sama orang tua, cekatan, sambil kerja lagi.

     

     "Seharusnya kamu bisa mengikuti jejak Bilna Adikmu itu, Aliyah. Menurut Ibu, Bilna adalah wanita sempurna. Sangat beruntung seorang laki-laki yang mendapatkannya nanti."

     

     "Iya, Bu. Sungguh beruntung laki-laki yang akan menikahinya nanti. Sayangnya, Aliyah belum bisa mengikuti langkah Bilna. Terlalu berat rasanya, Bu."

     

     Tentu saja Aku tidak mau mengikuti jejak Bilna. Yang hidupnya seperti sebuah sandiwara. Mendekati suami orang, apalagi suami kakaknya sendiri. Semua itu tidak pantas untuk di ikuti. Ingin rasanya Aku mengatakan kepada Ibu, bahwa Ibu belum tahu siapa sebenarnya sosok Bilna. Tapi buat apa Aku mengatakannya. Toh Bilna sudah terlanjur meyakinkan hati, Ibu. Sedikit saja Aku menyinggung keburukan Bilna, Ibu malah memarahiku. Pernah sahabis memergoki Bilna dan Habib berduaan di kamar dan Habib hanya mengenakan boxer pendek waktu itu, Aku berniat memecahkan masalah ini bersama Ibu mertua. Tapi apa jawabannya,

     

     "Bu, tadi Aku tidak sengaja melihat Bilna dan Habib berduaan di kamar dan sepertinya......."

     

     "Husssss... Jangan bicara begitu. Bilna itu perempuan baik-baik. Tidak mungkin dia berbuat macam-macam. Apalagi sama suamimu. Berduaan di kamar, mungkin mereka ngobrol biasa. Habib juga tidak mungkin berbuat tidak senonoh sama Bilna adik iparnya sendiri. Kamu tidak usah mencurigakan Bilna ataupun suamimu. Mereka orang-orang baik. Ibu percaya sama mereka." Ibu Malah langsung memotong pembicaraanku yang belum selesai dengan perkataan seperti itu.

     

     Aku menghela nafas mendengar penuturan Ibu mertuaku. Dia sepertinya tidak akan mempercayai penjelasanku lagi. Dia sudah menekankan agar jangan mencurigai. Dan jangan mengintimidasi. 

***

     "Sini, Mbak kertas hasil tesnya, biar Bilna ajah yang pegang!" Bilna merebut kertas di tanganku.

     Uuh! Andai saja aku tidak memikirkan ini tempat umum.

 

    "Lhoo! Kamu kenapa sih, Bil? Apa urusanmu sama hasil tes kami?" Aku melotot.

     "Mbak kok jadi kasar gini sih? Kan aku cuma pengen pegang doang. Biar aku yang simpen! Kok gitu ajh marah?" protesnya.

   

     Didepan rumah,  Bilna dengan begitu bersemangatnya memanggil suamiku.

     "Mas Habib....!"

     

     Terdengar suara Bilna menggema hingga ke ruang tamu.

     

     "Iya ada apa, Bil kok kelihatan senang sekali?" Ibu mendekati Bilna.

     

     "Iya Bilna. Kok antusias sekali." Habib ikut menimpali.

     

     Aku penasaran ada apa gerangan. Pulang-pulang pake teriak-teriak. Aku menyusul mendekati mereka.

     "Sebentar!" Bilna menjawab sembari masuk ke kamar, kemudian balik lagi dengan tas di bahu. 

     "Oh ya lupa, Mbak Aliyah, sini dong duduk sama-sama bareng kita. Mas Habib, ini Bilna sudah bawain hasil tes kalian. Yuk kita buka sama-sama."

     

     "Mana-mana? Tidak sabar ingin melihatnya juga." Ibu mertuaku juga terlihat berbinar-binar sekali.

    "Bilna! Sini kasih sama Mbak saja hasil tesnya!" Aku berkata.

   

     "Ini kita liat sama-sama ajah, Mbak. Lagian hasil tes ini emang buat diliat, kan? Bukan buat disimpen." 

    Aku jijik dengan tingkahnya.

     

     Bilna dengan hati-hati membuka amplop yang membungkus hasil tes itu. Bukannya menyerahkan amplop itu kepada kami, malah tanpa di suruh Bilna membukanya sebelum izin dariku ataupun dari Habib. Sungguh semakin membuatku negh saja melihat tingkahnya. Namun sebisa mungkin Aku menampakkan raut wajah yang biasa-biasa saja.

     

     Dua lembaran  kertas Bilna keluarkan. Lalu meletakkannya di atas meja dengan tujuan agar kami bisa membacanya bersama-sama.

     

     Ku perhatikan lembaran itu, dan ku baca dengan seksama. Pertama surat analisis dokter mengenai Habib. Alhamdulilllah Habib di nyatakan sehat. Tidak ada masalah apapun untuk Habib.

     

     Lalu pandangan kami beralih ke lembaran keterangan dokter buatku. Ku baca lagi dengan seksama.hatiku dag...dig...dug.

     

     Lalu sederetan huruf-huruf yang tertera di atas lembaran itu perlahan membuatku lemas. Aku dinyatakan punya sel telur yang bermasalah dan 99% dinyatakan memiliki kendala dalam proses pembuahan. Itu artinya sebuah kemungkinan besar menunjukkan Aku tidak mampu memberi Habib keturunan. 

     

     Ibu mertuaku juga terlihat shock sehabis membaca huruf-huruf terakhir itu. Dia tidak berkata apa-apa lagi. Hanya terdiam lemas.

     

     "Nah kan, Tante. Apa Bilna bilang. Seharusnya sudah sejak awal kita melakukan tes ini. Sekarang kan kita tahu, mengapa Mbak Aliyah dan Mas habib tidak kunjung di beri keturunan. Masalahnya ada pada Mbakku sendiri."

     

     Bilna memecahkan kebisuan kami dengan kata-kata yang menyayatkan hati. Kata-katanya ada benarnya juga. Surat itu dengan jelas memberi penjelasan itu.

     

     "Iya, Bil. Kamu benar. Kemungkinan besar Aku tidak bisa memberi Masmu keturunan dan cucu buat Ibu. Aliyah minta maaf ya, Bu, Pa"

     

     "Mama yang sabar dulu. Siapa tahu masih bisa diperjuangkan. Kan tadi di nyatakan 99%,masih ada kemungkinan 1% lagi."

     

     Habib seperti berusaha menghiburku. Tapi tatapan Bilna seperti tidak suka mendengar ucapan. Habib.

     

     "Mas, 1% itu rasanya tidak mungkin terjadi , jika di bandingkan dengan kemungkinan yang 99%nya."

     

     "Ya siapa tahu saja kan."

     

     Dengan mencuri kesempatan melihat pandangan mata mereka beradu. Aku sempat melihat Habib memainkan matanya kepada Bilna. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia mereka dengan hasil tes ini. Walaupun mereka sudah berusaha. Terutama Bilna.

     

     "Mbak yang sabar ya. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ini sudah hasil kerja tim dokter. Saya turut prihatin dengan hasil tes ini."

     

     Bilna memegang pundakku. Berkata seolah-olah sedang menghiburku. Tapi dari matanya, bukanlah tatapan prihatin yang dia tunjukkan, melainkan tatapan penuh kemenangan.

     

     "Dan untuk Tante Eri, sabar ya tante, Tuhan pasti akan memberikan Tante cucu dengan cara lain yang tidak kita duga-duga."

     

     Bilna menghibur Ibu mertuaku dan memeluknya. 

     

     "Terimakasih Bilna. Berkat usulmu, kita bisa mengetahui kenyataan ini."

     

     "Sama-sama, Tante. Lagi pula ini untukbkebaikan kita juga, agar bisa mencari jalan keluarnya."

     

     "Ya kamu benar Bilna."

     

     Aku melangkah lunglai menuju kamarku. Tidak tertahankan kepiluan hatiku. Keputusan dokter itu akurat sekali. Tidak mungkin salah. Tapi apa mungkin Aku ini benar-benar mandul. Kami tidak memiliki riwayat adanya keluarga yang mandul dari keluarga Ayah maupun Ibu. Kemungkinan itu begitu besar. 99%, sungguh angka yang sangat mengecewakan sekali.

Bersambung

     

     

     

     

     

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status