"Paman sedang bercanda, 'kan?" pekik Amera. Hermawan menatap sekilas ke arah Amera yang nampak begitu terkejut dan menggeleng pelan sebagai jawaban dari pertanyaan wanita itu.Amera membuang nafasnya kasar dan meminta agar Hermawan untuk menghentikan mobil, namun lelaki itu tidak mau menuruti permintaannya."Paman! Aku mau turun di sini saja!" teriak Amera bagaikan angin lalu untuk Hermawan.Namun, Amera tidak menyerah. Ia memukuli bahu Hermawan, tapi segera dihentikan oleh lelaki itu yang kini menatap tajam kearahnya."Jangan kekanak-kanakan, Ra. Ingat, kamu sudah punya anak!" kata Hermawan dengan nada sedikit meninggi membuat Amera terdiam dan memilih membuang wajahnya ke arah lain.Sebagai seroang perempuan ia merasa begitu dihinakan, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa statusnya lah yang membuat setiap pandangan orang menjadi begitu.Apalah dirinya yang hanya seorang janda, di mana membuat lelaki baik yang bujang ataupun sudah memiliki istri tertarik kepadanya.Isak tangis Amer
Malam ini Kejora tidak mau tidur bersama Amera, gadis kecil itu hanya ingin ditemani oleh Bik Tini. Bahkan sampai pagi sekalipun, Kejora tidak ingin bertemu dengan Amera.Apa yang dilakukan oleh Kejora membuat hati Amera terasa di robek, sebelum berangkat bekerja. Tidak lupa wanita itu berpesan kepada Bik Tini agar membujuk Kejora supaya sang putri mau memaafkan dirinya."Bu, aku titip Kejora. Mungkin mulai saat ini, aku akan sangat sibuk bekerja," jelas Amera seraya memasang sepatu seraya menatap ke arah Bik Tini dengan penuh harapan. Setelah sarapan, wanita paruh baya itu nampak sibuk sendiri. Seolah menghindari dirinya, hal itu yang Amera rasakan."Bu," panggil Amera lagi sebab tidak ada respon dari Bik Tini sampai wanita paruh baya itu menghampirinya yang tengah duduk di ruangan tamu.Bik Tini membuang nafas panjang, sebelum berbicara. Nampak sekali raut wajah kekecewaan yang tergambar dari wanita paruh baya itu."Nak Mera, apa salahnya Kejora? Dia hanya ingin bertemu dengan Nak A
Saat ini seorang wanita cantik tengah berdiri di hadapan seorang lelaki paruh baya dengan wajah yang menunduk, baru saja berkerja. Namun, nasib sial menimpa dirinya.Amera merasa begitu malu, sampai tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap Hermawan yang kini tengah menahan emosi.Bisa-bisanya berkas yang kemarin Amera kerjakan lenyap begitu saja tanpa jejak sama sekali, berkali-kali ia meminta bantuan kepada Selvi. Tapi, tamannya itu tidak mau membantu. Dengan alasan, tidak tahu–menahu dengan file yang kemarin Amera ketik di laptop wanita itu."Ra, bukan aku gak percaya sama kemampuan yang kamu miliki. Tapi, berkas tersebut merupakan file berharga." Hermawan mendesah berat, baru sehari Amera berkerja. Berkas amat penting hilang, lelaki paruh baya itu memijat dahinya yang terasa berdenyut.Walaupun sudah berhasil menekan perusahan Bowo, tapi kali ini ada masalah yang lebih berat. File yang diberikan Selvi kepada Amera kemarin merupakan proposal yang akan diajukan ke beberapa par
Tubuh Amera telah basah oleh keringat, ia menghampiri Hermawan yang baru saja keluar dari ruangan kerjannya."Pak Her," panggil Amera membuat lelaki itu berbalik badan dan menatap ke arahnya.Amera merasa bersalah, karena telah teledor. Bukan hanya itu saja, Amera bahkan belum memberikan jawaban pasti tetang ajakan lelaki yang ada dihadapannya itu untuk menikah.Sebab, Amera masih tidak mau kalau nama Kejora diubah. Walaupun hanya demi status saja, sebab bagi Amera. Kejora tetap anak kandung Rudy, sekalipun suaminya telah tiada."Ayo ikut aku," ajak Hermawan membuat Amera mendongak untuk menatap wajah lelaki itu.Sesaat kemudian, Amera bergegas mengikuti langkah jenjang Hermawan. Hingga mereka berada di area pakiran.Amera selalu mengabaikan tatapan sinis karyawan lain, walaupun sering terdengar bisikan-bisikan mereka yang merendahkan dirinya serta mengatakan hal yang menyakitkan.Bahkan, Amera bisa mengingatnya. Seperti, 'Janda gatel!.' 'Wanita murahan,' dan lain-lainnya lagi."Pak,
Mata Amera membulat sempurna, ketika melihat siapa yang baru saja menabrak dirinya. Dengan cepat ia bergegas bangun dan meraih tangan wanita itu, di saat hendak kabur."Mau ke mana kamu, hah!" bentak Amera dengan garang, emosinya mendidih seketika. Tidak perduli dengan para karyawan yang mulai ramai setelah jam makan siang dan ingin kembali bekerja.Amera tidak akan pernah melepaskan mangsanya, cengkraman tangan ia perkuat dan membuat wanita itu mengeluh kesakita."Lepaskan! Dasar wanita bar-bar!" pekik Siska mengeluh. Namun Amera tetap tidak mau melepaskannya."Ngapain kamu ke sini, hah?" bentak Amera lagi.Selvi yang baru saja masuk telah disuguhkan dengan pemandangan yang cukup ekstrim tersebut, sebisa mungkin wanita itu terlihat tetap tetang dan melangkah perlahan."Ingat karma, Vi," batin Selvi. Namun, naas. Amera menyeru namanya dengan lantang dan membuat langkah Selvi harus berhenti seraya berbalik badan.Niat hati tidak ingin terlibat dalam urusan Amera, tapi wanita itu yang
Amera tetap mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaan adik iparnya, walaupun tidak bisa disembunyikan bahwa ada rasa cemburu yang mengusik ketenangan hati wanita itu.Rasa nyaman dan sikap manis yang selalu Andre berikan membuat Amera tidak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau terbuai dalam perhatian adik iparnya itu berikan.Namun, sekali lagi keegoisan membuat Amera tidak mau mengakui semua itu dan menyimpannya baik-baik di dalam hati tanpa berniat sama sekali untuk mengungkapkan perasaannya tersebut.Setelah mengatur perasaannya yang sempat bergejolak, Amera melangkah dengan pasti menuju ke ruangan Hermawan."Pak Her!" seru Amera.Beberapa kali ia mengetuk pintu ruangan lelaki paruh baya itu, tapi tidak ada sahutan dari dalam. Hingga Amera memutuskan untuk masuk ke ruangan tersebut.Amera memutar hendel pintu yang ternyata tidak terkunci dan mendorongnya secara perlahan, manik matanya menatap ke adaan ruangan tersebut. Mencari keberadaan Hermawan, ruangan itu begitu sunyi. Samar-s
Di sebuah rumah yang megah, seroang wanita paruh baya menatap penuh kekecewaan ke arah Amera. Wanita itu adalah Bik Tini, walaupun bukan ibu kandung Amera. Tetap saja, ia mengkhawatirkan keadaan Amera dan Kejora.Setelah diajak pulang dengan tiba-tiba dan diberitahu, bahwa Hermawan merupakan dalang dari kematian Amar dan Darati. Tentu saja Bik Tini bukan hanya khawatir, melainkan benar-benar marah."Nak Mera, kenapa kamu baru bilang sekarang? Bagaimana kamu bisa membiarkan Kejora dekat dengan lelaki itu!" kata Bik Tini meluapkan perasaannya.Mereka kini duduk di ruangan tamu, sedangkan Kejora yang kelelahan akibat perjalan udara yang mereka tumpangi sudah terlelap di dalam kamar.Amera membuang nafas panjang, memperbaiki posisi duduknya agar menjadi nyaman sebelum menjawab pertanyaan dari Bik Tini barusan.Andaikan Amera mengetahui kebusukan Hermawan dari awal? Mungkin dirinya akan menjebloskan lelaki itu ke penjara, namun sayangnya Amera tidak memiliki bukti yang kuat."Aku belum yak
Sejak semalam Amera sudah menyusun rencananya, mulai dari mencoba merentas data perusahan Hermawan. Sampai mengumpulkan data-data tentang kematian kedua orangtuanya, semua itu Amera lakukan seorang diri. Karena kini tidak ada orang yang bisa dipercaya olehnya.Kasus kematian orangtuanya begitu bersih dan kemungkinan kecil bisa menjerat Hermawan, sebab kecelakaan yang menimpa Amar dan Darati begitu rapi. Bahkan kasusnya sudah lama ditutup.Di saat Amera tengah memikirkan cara untuk mendapatkan bukti yang akan ia pergunakan menjerat Hermawan, tiba-tiba saja dari luar kamar Amera mendengar suara ribut-ribut."Di mana wanita murahan itu!" Suara yang begitu familiar mengusik pendengarannya, membuat Amera bergegas keluar kamar, baru saja ia membuka pintu wajah Rossa yang tengah berkacak pinggang menyambutnya.Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu kini menampakkan aura tidak bersahabat, walaupun hal tersebut memang tabiat Rossa setiap kali bertemu dengan Amera.Namun, kali ini ad