Share

Bab. 5

Author: Daisy Quinn
last update Last Updated: 2025-08-24 11:47:52

Di seberang telepon terdengar tarikan napas panjang. Rian berusaha menahan gejolak hatinya, lalu berkata dengan nada tegas, mantap, tanpa keraguan sedikit pun.

“Lin, aku nggak mau menunda lagi. Aku akan menikahi kamu secepatnya.”

Kata-kata itu membuat dada Celina berdesir hebat. Ia memejamkan mata, menggenggam ponselnya erat-erat. Air matanya hampir tumpah, bukan karena tak bahagia, melainkan karena hatinya diselimuti ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.

“Mas...” suaranya pelan, bergetar. “Bisa nggak... kasih aku waktu? Aku... aku belum siap.”

“Belum siap?” Rian langsung menukas, nada kecewanya tak bisa ia sembunyikan. “Lin, kita sudah setahun bersama. Setahun. Apa itu masih kurang buat kamu? Masih kurang waktu untuk saling mengenal?”

Celina terdiam, napasnya tercekat. Dalam hati ia tahu, Rian benar. Mereka sudah melewati banyak hal bersama. Rian selalu ada, selalu setia, selalu menunjukkan kesungguhannya.

Rian melanjutkan, suaranya semakin mantap, seolah ingin menepis semua keraguan Celina. “Aku ini sudah punya pekerjaan tetap. Aku manager di perusahaan Papa. Kamu tahu sendiri, aku sanggup menghidupi kamu. Kamu nggak perlu takut apa-apa. Aku ingin kamu bahagia, Lin. Itu saja.”

Celina menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan isakan yang hampir pecah. Bahagia... kata itu terasa begitu menyesakkan. Rian berbicara tentang masa depan yang indah, penuh kepastian. Tapi Celina justru dihantui oleh rahasia kelam yang, jika terbongkar, bisa menghancurkan segalanya.

“Lin,” suara Rian kembali lembut, “katakan saja. Kamu mau kan, menikah denganku?”

Jantung Celina seakan berhenti berdetak. Air matanya jatuh membasahi pipi, sementara bibirnya bergetar menahan jawaban yang sulit ia ucapkan.

Celina mengusap air matanya cepat-cepat, lalu menarik napas panjang sebelum menjawab.

“Aku mau, Rian... aku mau menikah sama kamu,” bisiknya lirih, “tapi... bukan sekarang. Aku butuh waktu. Aku belum siap kalau terlalu cepat.”

Di seberang, terdengar helaan napas lega. Nada suara Rian berubah lembut, penuh kehangatan.

“Syukurlah... akhirnya kamu jawab begitu, Lin. Kamu nggak tahu betapa aku takut kamu akan menolak. Terima kasih... karena kamu percaya sama aku.”

Senyum samar terlukis di wajah Celina, meski hatinya masih terasa berat.

Rian melanjutkan dengan nada mantap, “Kalau begitu, nanti sore aku jemput kamu di restoran, ya? Kita bisa makan malam bareng, sekalian bicara lebih jauh soal ini.”

Celina tersentak. Cepat-cepat ia mencari alasan, karena tubuhnya sendiri masih lemas dan pikirannya kacau.

“Rian... hari ini aku nggak masuk kerja. Badanku agak kurang enak. Aku butuh istirahat,” katanya pelan, berusaha terdengar meyakinkan.

“Oh? Kamu sakit?” Nada cemas langsung terdengar dari Rian. “Kenapa nggak bilang dari tadi? Mau aku ke sana sekarang?”

Celina buru-buru menggeleng, meski Rian tak bisa melihat. “Nggak perlu. Aku cuma butuh tidur. Jangan khawatir, besok juga pasti sudah baikan.”

Rian terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada tegas namun lembut, “Baiklah, kalau begitu aku percaya sama kamu. Tapi janji, Lin, jangan terlalu dipaksakan. Aku akan jaga kamu. Besok aku tetap jemput kamu, ya?”

Celina menggenggam ponselnya erat, mencoba menahan isak. “Iya... besok,” jawabnya lirih.

Begitu telepon berakhir, Celina menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Air matanya mengalir deras. Ia ingin berbahagia atas ketulusan Rian, tapi bayangan malam bersama Bram terus menyesakkan.

**

**

Rian meletakkan ponselnya di meja ruang tamu, senyum lega masih melekat di wajahnya. Hatinya terasa ringan, seolah semua beban hilang begitu saja setelah mendengar jawaban Celina.

Saat itulah pintu rumah terbuka. Bram masuk dengan langkah tenang, mengenakan kemeja yang sedikit kusut. Ia melepas sepatunya, lalu menyapa anaknya.

“Kamu kelihatan sumringah sekali, Nak. Ada kabar baik, ya?”

Rian menoleh, senyum di wajahnya makin merekah. “Iya, Pa. Celina akhirnya bilang kalau dia mau menikah sama aku. Memang dia minta waktu, tapi yang penting... dia nggak menolak. Aku lega sekali.”

Bram terdiam sejenak. Senyum tipis terukir di bibirnya, tapi matanya memendar redup, menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak. “Baguslah kalau begitu,” ucapnya pelan.

Rian lalu berdiri, menghampiri ayahnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Oh iya, Pa...” nada suaranya berubah, “dari mana saja? Kenapa baru pulang sekarang? Semalaman Papa nggak kelihatan di rumah?"

Bram sedikit terhuyung, lalu cepat menegakkan tubuhnya. Senyum tipisnya dipaksakan agar terlihat wajar. “Papa... ada urusan penting di luar kota. Baru bisa pulang tadi."

Rian menatap lekat, alisnya berkerut tipis. “Urusan apa sampai nggak kasih kabar? Papa kan biasanya selalu cerita ke aku kalau ada perjalanan.”

Bram terdiam sepersekian detik, sebelum menjawab datar, “Ada masalah perusahaan yang harus diselesaikan segera. Nggak perlu kamu pikirkan, Rian. Fokus saja pada kebahagiaanmu dengan Celina.”

Rian masih menatap dengan sorot penuh tanda tanya, tapi kemudian ia menghela napas dan tersenyum lagi, memilih tak memperpanjang. “Baiklah, Pa. Aku percaya. Lagipula... aku nggak sabar menunggu hari di mana aku bisa resmi memperkenalkan Celina di depan keluarga kita.”

Ucapan itu membuat Bram tertegun. Senyum di bibirnya seketika menegang. Dalam hati, ia tahu badai besar akan segera datang—karena perempuan yang ingin dinikahi anaknya, adalah perempuan yang seharusnya ia hindari mati-matian.

Bram melepas jasnya, meletakkannya di sandaran kursi. Ia menatap Rian yang masih berseri-seri sambil memandang layar ponselnya, seakan dunia hanya milik dia dan Celina.

“Rian...” suara Bram berat, penuh tekanan. “Kamu benar-benar serius dengan Celina? Papa hanya ingin tahu... apa sebenarnya kelebihan gadis itu sampai bisa bikin kamu buta begini?”

Rian spontan mendongak, menatap ayahnya dengan dahi berkerut. Nada suaranya berubah sedikit kesal.

“Pa, kenapa bicara seperti itu? Celina itu... dia wanita impianku. Aku nggak peduli dengan kekayaan atau status. Dia cantik, sederhana, tulus. Sesuatu yang jarang bisa aku temukan di orang lain.”

Bram terdiam, menelan ludah. Kata “tulus” terasa menampar batinnya, seakan mengingatkan pada luka yang ia sendiri torehkan pada gadis itu.

Rian melanjutkan dengan nada penuh keyakinan, “Selama setahun ini, Celina nggak pernah bikin aku ragu. Justru dia yang selalu menguatkan aku. Aku tahu Papa mungkin punya pandangan lain... tapi buatku, dia segalanya.”

Bram mengusap wajahnya, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang semakin menekan dada. Ia tersenyum tipis, meski senyum itu kaku.

“Papa hanya khawatir kamu terburu-buru mengambil keputusan. Banyak perempuan di luar sana, Rian. Kenapa harus Celina?”

Rian berdecak, lalu menatap ayahnya dengan sorot mata penuh tekad.

“Karena aku cinta dia, Pa. Sesederhana itu. Aku nggak akan melepaskan Celina hanya karena Papa nggak suka. Kalau perlu... aku akan melawan siapa pun yang menghalangi.”

Kata-kata itu membuat Bram tercekat. Untuk pertama kalinya, ia melihat keberanian sekaligus ketegasan dalam diri putranya. Tapi di saat yang sama, hatinya remuk—karena orang yang akan Rian perjuangkan sampai titik darah penghabisan, justru adalah gadis yang terjerat dalam dosa masa lalu Bram sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 25

    Bram akhirnya berhasil meraih tubuh Celina. Dengan kasar ia menariknya ke dalam pelukan, mendekap erat seolah tak mau melepaskannya lagi. Nafas hangatnya menerpa wajah Celina, dan tanpa ragu, pria itu mencium bibirnya dengan penuh nafsu dan semangat yang membara. Celina kalang kabut. Tubuhnya meronta, kedua tangannya menekan dada Bram sekuat tenaga, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman yang begitu kuat. Air mata bercucuran, bercampur dengan rasa takut yang membuat dadanya sesak. “Om! Jangan... kumohon hentikan! Lepaskan aku!” jeritnya parau, suara tercekik di sela tangis. Namun Bram tak peduli. Semakin Celina berusaha melepaskan diri, semakin kuat ia menahan. Ciumannya semakin menuntut, seperti pria yang tak pernah mengenal kata puas. Celina mencoba memalingkan wajahnya, tetapi dagunya digenggam kasar, memaksa dirinya tetap menghadap Bram. “Aku benci kau! Lepaskan aku!” isak Celina, berusaha menendang dan mendorong tubuh besar di depannya. Bram tersenyum tipis di sel

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 24

    Celina baru saja memejamkan matanya ketika suara klik halus terdengar dari arah pintu. Awalnya ia mengira hanya perasaannya saja, tetapi suara itu kembali terdengar, jelas sekali—seperti bunyi kunci yang diputar. Sekejap tubuhnya menegang. Celina sontak terduduk, jantungnya berdentum kencang seolah ingin meloncat keluar. Pandangannya terpaku pada gagang pintu yang perlahan bergerak. Siapa itu? batinnya panik. Dan benar saja. Begitu pintu terbuka sepenuhnya, sosok yang paling ia hindari berdiri di ambang pintu. Bram. Pria itu melangkah masuk tanpa permisi, tatapannya dingin, senyumnya menyeringai seakan menikmati ketakutan Celina. Celina mundur beberapa langkah ke arah ranjang, suara gemetar keluar dari bibirnya. “Om.. apa yang Om akukan di sini? Bagaimana bisa masuk?” Bram menutup pintu dengan tenang, lalu memutar kuncinya dari dalam. Bunyi klik kecil itu membuat bulu kuduk Celina meremang. “Aku sudah bilang, Celina... kau tak akan pernah bisa bersembunyi dariku.”

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 23

    Pintu kamar Rian terbuka perlahan. Celina masuk dengan hati-hati, membawa nampan kecil berisi semangkuk bubur hangat. Aroma kaldu ayam yang lembut segera memenuhi ruangan, bercampur dengan bau obat yang masih samar. Rian, yang sejak tadi berbaring, menoleh pelan. Senyumnya muncul tipis, seolah kehadiran Celina saja sudah cukup membuatnya merasa lebih baik. “Kau membuatkan bubur untukku?” suaranya serak tapi penuh syukur. Celina tersenyum samar, berusaha terlihat tenang meski hatinya masih diliputi kegelisahan. “Iya, makanlah sedikit dulu. Perutmu tidak boleh kosong.” Ia meletakkan nampan di meja kecil, lalu duduk di sisi ranjang. Dengan lembut, ia meniup sendok berisi bubur agar tidak terlalu panas, lalu menyodorkannya ke bibir Rian. Rian menerima suapan pertama dengan sabar, lalu menatap Celina dalam diam. Matanya seolah membaca lebih dari sekadar wajah yang tersenyum. Ada guratan lelah, dan sesuatu yang disembunyikan. “Kau terlihat berbeda,” ucap Rian tiba-tiba. Celi

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 22

    Bram berdiri terpaku di dalam kamar yang kini hening. Pintu masih terbuka, berayun pelan seakan mengejeknya. Nafasnya berat, dadanya naik-turun tak beraturan. Bayangan wajah Celina yang berlinang air mata terus menghantam benaknya tanpa ampun. Tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Rasa kesal, marah, dan penyesalan bercampur jadi satu, membuatnya ingin menghantamkan tinju ke dinding. Namun, tubuhnya justru lemas, seakan semua tenaga tersedot oleh perasaan yang berkecamuk. Kenapa aku sampai seperti ini? pikirnya, rahangnya mengeras. Kenapa aku begitu terobsesi padanya? Ia membungkuk, menekan dahinya dengan telapak tangan. Kilatan rasa bersalah menusuk hatinya, tapi obsesi yang sudah terlanjur mengakar membuat pikirannya semakin kusut. “Rasanya aku mulai gila…” rutuknya dalam hati, suara batinnya getir. Bram menutup mata, mencoba menenangkan diri, namun semakin ia berusaha, bayangan Celina justru semakin jelas. Senyumnya, tatapannya pada Rian, sikap lemb

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 21

    Celina baru selesai mandi. Uap tipis masih melekat di kulitnya, aroma sabun wangi lembut menempel di udara. Ia mengenakan dress berwarna cokelat tua yang jatuh anggun di tubuhnya. Rambutnya sengaja diikat ke belakang, sederhana namun justru membuat wajahnya tampak lebih segar. “Rian, aku buatkan bubur dulu, ya,” ucap Celina lembut sambil menoleh pada pria yang masih berbaring lemah di ranjang. Rian tersenyum samar, sorot matanya penuh rasa syukur. “Hati-hati, jangan terburu-buru.” Celina mengangguk, lalu melangkah keluar dari kamar dengan hati-hati. Namun, baru saja pintu kamar ditutup, Celina terhenti sejenak. Tepat di hadapannya, pintu kamar lain terbuka. Dari seberang, sosok Bram muncul. Tatapan mereka langsung bertemu. Sesaat ruangan itu seakan dipenuhi keheningan yang menekan. Bram berdiri tegap, mengenakan kaos hitam dan celana santai, tetapi sorot matanya menusuk, seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa terucap. Celina menundukkan wajahnya cepat, berusaha menjaga sik

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 20

    Bram berjalan keluar kamar dengan langkah berat, menutup pintu begitu hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Tapi begitu pemandangan itu menghilang dari matanya, amarah yang tadi ia tahan meledak di dalam dada. Ia menuruni tangga dengan cepat, wajahnya memerah menahan emosi. Begitu tiba di ruang tamu, tangannya meraih gelas kristal di meja lalu melemparkannya ke dinding. Prak! Suara pecahan memenuhi ruangan. Asisten rumah tangga yang mendengar segera berlari keluar dari dapur, namun seketika menahan diri begitu melihat wajah Bram. Tatapan pria itu tajam, penuh bara api. “Keluar!” bentaknya singkat. Asisten itu menunduk, lalu segera pergi meninggalkan Bram sendirian. Bram menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menengadahkan kepala dengan napas tersengal. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bayangan Celina yang tertidur dengan lembut di sisi Rian, masih tergambar jelas di kepalanya. Genggaman tangan mereka—sesuatu yang sederhana namun membuatnya ingin menghancurkan semuany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status