Share

Bab. 4

Penulis: Daisy Quinn
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-24 11:29:49

Celina menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu kontrakannya yang catnya sudah mulai mengelupas. Begitu pintu terbuka, aroma dapur sederhana langsung menyambut, bercampur dengan wangi teh hangat yang baru diseduh.

Dewi, teman satu kerjaannya di restoran, langsung menoleh dari kursi rotan tempatnya duduk. Wajahnya yang polos mendadak berubah tegang, matanya melebar penuh kecemasan.

“Celina... astaga, kemana saja kamu semalam? Aku tunggu sampai hampir tengah malam, tapi kamu nggak pulang juga,” suara Dewi bergetar, ada nada khawatir sekaligus penasaran.

Celina tersenyum tipis, meski senyum itu terasa dipaksakan. Dia melangkah masuk, menutup pintu pelan-pelan seakan ingin menunda percakapan itu. Jantungnya berdegup tak karuan, pikirannya masih kacau, berusaha mencari alasan yang terdengar masuk akal.

“Aku... maaf, Wi,” ucap Celina lirih sambil meletakkan tasnya di atas meja kecil. “Aku ketiduran... di rumah salah satu kenalan.”

Dewi mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban itu. “Ketiduran? Sampai nggak kasih kabar sama sekali? Kamu bikin aku khawatir, Lin. Aku kira ada apa-apa di jalan...”

Celina tertawa kecil, berusaha menutupi kegugupan yang menyelinap. “Hehe, iya, maaf banget. Aku nggak sempat ngecek ponsel. Lagi capek banget habis kerja, jadi... ya kebablasan.”

Dewi menatap Celina lama, seolah ingin menembus topeng tenang yang berusaha dipasang sahabatnya itu. Ada sesuatu yang aneh pada sorot mata Celina—lelah, kosong, tapi juga ada jejak gelisah yang tak bisa disembunyikan.

“Lin,” suara Dewi melunak, “kamu pasti baik-baik aja kan? Jangan bikin aku nebak-nebak.”

Celina terdiam. Tenggorokannya tercekat. Ia tersenyum lagi, namun kali ini ada kilatan sedih di baliknya. “Aku baik-baik saja, Wi... sungguh. Cuma butuh istirahat.”

Dewi tak bertanya lebih jauh, meski hatinya masih diliputi tanda tanya besar. Ia hanya mengangguk pelan, mencoba menghormati ruang Celina. Sementara Celina melangkah menuju kamarnya, dalam hati dia menjerit—seandainya Dewi tahu apa yang sebenarnya terjadi semalam, mungkin dunia Celina akan runtuh seketika.

Dewi masih menatap Celina penuh tanda tanya. Sorot matanya berkilat curiga saat menyadari wajah sahabatnya itu pucat, dan matanya sembab seolah semalam tak benar-benar beristirahat.

“Lin...” Dewi menyipitkan mata, mencondongkan tubuhnya, “jangan-jangan... kamu semalam sama Rian, ya? Hah? Makanya nggak pulang?”

Celina spontan berdecak, matanya membulat. “Astaga, Dewi! Kamu ini, ada-ada aja,” protesnya, berusaha terdengar biasa.

Namun, sebelum Dewi sempat menimpali, Celina cepat-cepat mendekat lalu menjepit pipi sahabatnya itu dengan kedua jarinya. Cubitannya lumayan keras hingga Dewi meringis.

“Aduh, aduh! Lin, sakit! Hahaha... iya, iya, aku bercanda!” Dewi tergelak, sambil mengusap pipinya yang memerah.

Celina ikut terkekeh, meski tawanya hanya sekilas, cepat tenggelam dalam letih yang masih menempel di wajahnya. “Dasar mulutmu nggak bisa dijaga. Aku ini kalau sama Rian selalu pulang, tahu!” katanya, mencoba terdengar ringan.

Dewi mengangkat alis, lalu menyilangkan tangan di dada. “Hmmm... ya sudah deh. Tapi tetap aja, aku curiga. Lihat muka kamu tuh pucat banget. Kayak habis lari maraton semalaman. Jangan-jangan bukan sama Rian, tapi...”

“Stop!” Celina buru-buru menutup mulut Dewi dengan telapak tangannya, sambil menatap sahabatnya itu setengah sebal, setengah geli. “Mulutmu kalau dibiarkan bisa lebih tajam dari pisau dapur restoran. Udah, cukup. Aku cuma kecapekan, titik.”

Dewi menurunkan tangan Celina pelan, namun sorot matanya belum hilang rasa penasaran. Meski akhirnya ia menghela napas panjang, memilih tak lagi memaksa.

“Ya sudah, kalau kamu nggak mau cerita sekarang, aku tunggu sampai kamu siap. Tapi ingat, Lin...” suara Dewi melembut, “aku ini teman kamu. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian, apapun yang lagi kamu hadapin.”

Kata-kata itu membuat Celina terdiam. Senyum samar mengembang di bibirnya, namun sorot matanya berkaca-kaca. Dalam hatinya, ia tahu Dewi tulus. Tapi ada rahasia besar yang masih terlalu berat untuk diungkapkan.

Tiba-tiba, ponsel di saku Celina bergetar. Getarannya seolah menembus ke dada, membuatnya refleks terlonjak kecil. Ia melirik layar—nama yang muncul jelas: Rian.

Jantungnya berdegup kencang. Tanpa berkata apa-apa pada Dewi, Celina buru-buru berdiri dan melangkah cepat ke kamar. Pintu kamar ia tutup rapat, bersandar sejenak pada daun pintu, mencoba menenangkan napas sebelum akhirnya menekan tombol hijau.

“Halo, mas...” suaranya terdengar lembut, namun ada getar tipis yang tak bisa ia sembunyikan.

Di seberang sana, suara pria itu terdengar hangat, penuh semangat.

“Sayang, kamu sibuk nggak? Aku cuma mau bilang... nanti sepulang kerja aku jemput kamu, ya. Aku mau ajak kamu ke rumah.”

Celina tertegun. Tangannya yang menggenggam ponsel mendadak terasa dingin. “Ke rumah...?” ulangnya pelan.

“Iya, ke rumah,” jawab Rian mantap. “Aku sudah pikirkan ini baik-baik, Lin. Aku nggak mau buang waktu lagi. Aku ingin kita segera menikah.”

Kata-kata itu menghantam Celina seperti ombak besar. Matanya terpejam rapat, dada sesak seolah udara di kamar mendadak lenyap. Di satu sisi, ada bahagia yang menyeruak—Rian benar-benar serius, tak main-main dengan perasaannya. Tapi di sisi lain, ada bayangan kelam dari malam sebelumnya yang menghantui.

“Lin... kamu dengar aku, kan?” tanya Rian lagi, nadanya sedikit cemas karena Celina terdiam terlalu lama.

Celina buru-buru mengangguk meski tahu Rian tak bisa melihat. “I-ya, aku dengar...” suaranya lirih, nyaris bergetar. “Aku... aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi...”

“Tapi apa?” desak Rian lembut.

Celina menggigit bibir bawahnya, berusaha keras agar suaranya tetap tenang. “Aku bahagia dengar itu, Rian. Sungguh... aku bahagia.”

Rian tertawa kecil di seberang, lega mendengar jawaban itu. “Kalau begitu, jangan pikir macam-macam lagi. Aku serius sama kamu, Lin. Kita akan segera atur semuanya. Aku ingin kamu jadi istriku.”

Sementara Rian terus bicara penuh semangat, Celina menatap bayangannya sendiri di cermin kecil di sudut kamar. Wajah pucat itu seakan mengejek, mengingatkan bahwa dirinya menyimpan sebuah rahasia kelam—rahasia yang, jika terbongkar, bisa menghancurkan semua mimpi indah bersama Rian.

“Celina...” suara Rian terdengar lagi, kali ini lebih serius. “Kamu kenapa diam saja? Jangan bilang kalau sebenarnya kamu nggak serius sama aku.”

Celina terperanjat. “Hah? Apa maksud kamu, mas?” suaranya tercekat, hampir tak keluar.

“Ya, aku jadi kepikiran...” Rian menghela napas panjang di seberang sana. “Apa selama ini kamu cuma main-main? Kamu nggak benar-benar anggap hubungan kita serius? Aku ini bukan anak kecil lagi, Lin. Aku nggak mau buang waktu untuk cinta yang cuma setengah hati.”

Celina menutup mata rapat-rapat, jari-jarinya mencengkeram sprei di tempat tidur. Hatiku, oh Tuhan... pikirnya getir. Ia ingin berteriak mengatakan betapa ia mencintai Rian, betapa ia selalu menganggap pria itu segalanya. Tapi, bagaimana bisa ia menjawab dengan jujur, sementara bayangan malam kelam bersama Bram terus menghantuinya?

“Mas...” akhirnya Celina bersuara, pelan namun penuh getaran. “Kamu jangan bilang begitu. Aku... aku sayang sama kamu. Aku nggak main-main.”

“Kalau kamu sayang,” potong Rian cepat, “buktikan. Jangan diam, jangan bikin aku ragu. Aku ingin kamu jelas, Lin. Kamu mau jadi istriku atau tidak?”

Pertanyaan itu jatuh begitu tegas, seperti palu hakim yang mengetuk meja. Celina terhenyak, matanya membesar. Lidahnya kelu, seolah kata-kata tertahan di tenggorokan.

Di seberang, Rian menunggu. Degup jantung Celina menggema keras di telinganya sendiri. Ingin rasanya ia berteriak ‘ya’, menerima cinta dan masa depan indah yang Rian tawarkan. Namun, tubuhnya malah bergetar, bibirnya hanya mampu berbisik lirih—

“Aku... aku...”

Kalimat itu terhenti, tertelan oleh air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia cegah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 8

    Dalam hati, Melisa merasa dadanya sesak. Kata-kata Bram barusan seolah menusuk tepat ke dalam relung hatinya yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Ia sudah lama mengagumi pria itu—Bram, dengan ketampanan dewasa, kharisma seorang pemimpin, dan pesona duda yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, semua perasaan itu hanya bisa ia pendam. Baginya, Bram adalah mimpi indah yang tidak boleh disentuh. Hanya bisa dinikmati dari kejauhan, diam-diam, sambil berharap suatu hari takdir berbaik hati. "Andai saja kau bisa melihatku, Bram... andai saja kau tahu betapa aku ingin menjadi orang yang selalu ada di sisimu," batinnya bergetar. Lamunannya buyar ketika suara Bram yang berat dan serak menyentak kesadarannya. “Melisa…” Wanita itu tersentak, matanya berkedip cepat, berusaha menata ekspresi agar tak terlihat linglung. “Ya, Pak?” suaranya agak tergagap. Bram menatapnya dengan sorot mata yang penuh luka, membuat Melisa semakin sulit bernapas. “Aku bert

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab.7

    Bram melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan bahu merosot, seolah seluruh beban dunia menempel di punggungnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi empuk di balik meja besar itu. Tangannya refleks terangkat, memijat pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Sesak. Kepalanya penuh dengan suara-suara yang tak mau diam, terutama tangisan Celina yang terus terngiang. "Astaga, Celina... kenapa kau harus menangis seperti itu di hadapanku?" batinnya menggeram, namun sesal menusuk jauh lebih kuat daripada amarah. Ia menunduk, jemarinya mencengkeram rambut sendiri, seolah dengan begitu bisa meredam rasa bersalah yang menghantam. Pikiran Bram melayang pada wajah Celina—mata bening yang kini dipenuhi air mata, bibirnya yang bergetar saat memohon agar ia tidak lagi mengganggu kehidupannya. Suara tangis itu kembali menggema di telinganya. "Tolong, Om... jangan buat semuanya semakin sulit..." Bram menghela napas panjang, matanya terpejam rapat. “Celina…” gumam

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 6

    Bram mencoba menahan dirinya tetap terlihat tenang, meski dadanya terasa sesak. Pandangan matanya sempat melirik Rian yang begitu antusias bercerita tentang Celina, membuat hatinya makin tersayat. Ada desakan kuat dalam dirinya untuk mengungkapkan kebenaran, untuk berteriak bahwa ada sesuatu yang harus Rian ketahui. Namun, setiap kali niat itu menguat, bayangan Celina dengan tatapan dingin dan kata-kata tegasnya kembali menghantui. "Kalau kau benar-benar tidak ingin punya hubungan lagi denganku, Bram... lupakan insiden semalam. Anggap saja itu tidak pernah terjadi." Ucapan itu terus berulang di kepalanya, bagai gema yang tak mau padam. Rian, yang tidak menyadari pergolakan batin ayahnya, menepuk bahu Bram sambil tersenyum lebar. “Pa, aku serius dengan Celina. Aku merasa dia wanita yang tepat. Kau pasti akan suka padanya kalau lebih mengenalnya,” ucap Rian penuh semangat. Bram terdiam sejenak, jemarinya mengepal di sisi kursi. Ingin rasanya ia berkata ‘Rian, kau salah... Ce

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 5

    Di seberang telepon terdengar tarikan napas panjang. Rian berusaha menahan gejolak hatinya, lalu berkata dengan nada tegas, mantap, tanpa keraguan sedikit pun. “Lin, aku nggak mau menunda lagi. Aku akan menikahi kamu secepatnya.” Kata-kata itu membuat dada Celina berdesir hebat. Ia memejamkan mata, menggenggam ponselnya erat-erat. Air matanya hampir tumpah, bukan karena tak bahagia, melainkan karena hatinya diselimuti ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. “Mas...” suaranya pelan, bergetar. “Bisa nggak... kasih aku waktu? Aku... aku belum siap.” “Belum siap?” Rian langsung menukas, nada kecewanya tak bisa ia sembunyikan. “Lin, kita sudah setahun bersama. Setahun. Apa itu masih kurang buat kamu? Masih kurang waktu untuk saling mengenal?” Celina terdiam, napasnya tercekat. Dalam hati ia tahu, Rian benar. Mereka sudah melewati banyak hal bersama. Rian selalu ada, selalu setia, selalu menunjukkan kesungguhannya. Rian melanjutkan, suaranya semakin mantap, seolah ingin menepis s

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 4

    Celina menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu kontrakannya yang catnya sudah mulai mengelupas. Begitu pintu terbuka, aroma dapur sederhana langsung menyambut, bercampur dengan wangi teh hangat yang baru diseduh. Dewi, teman satu kerjaannya di restoran, langsung menoleh dari kursi rotan tempatnya duduk. Wajahnya yang polos mendadak berubah tegang, matanya melebar penuh kecemasan. “Celina... astaga, kemana saja kamu semalam? Aku tunggu sampai hampir tengah malam, tapi kamu nggak pulang juga,” suara Dewi bergetar, ada nada khawatir sekaligus penasaran. Celina tersenyum tipis, meski senyum itu terasa dipaksakan. Dia melangkah masuk, menutup pintu pelan-pelan seakan ingin menunda percakapan itu. Jantungnya berdegup tak karuan, pikirannya masih kacau, berusaha mencari alasan yang terdengar masuk akal. “Aku... maaf, Wi,” ucap Celina lirih sambil meletakkan tasnya di atas meja kecil. “Aku ketiduran... di rumah salah satu kenalan.” Dewi mengerutkan kening, jelas tak puas

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 3

    Bram lantas turun dari ranjang dengan gerakan tergesa. Ia meraih boxer yang tergeletak di lantai, lalu segera mengenakannya. Napasnya masih berat, pelipisnya berdenyut, dan hatinya diliputi kebingungan. Pelan, ia melangkah mendekati tubuh mungil yang masih terkulai di sisi ranjang. Wajah Celina tampak pucat, helai rambut panjangnya menutupi sebagian pipi yang basah oleh sisa air mata semalam. “Celina…” suara Bram terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang penuh penyesalan. Tubuh wanita muda itu sedikit bergerak, matanya perlahan terbuka. Pandangannya kabur, tapi begitu sadar siapa yang berdiri di hadapannya, tubuhnya refleks menegang. “Jangan sentuh aku…” bisik Celina parau, ia berusaha bangkit namun tubuhnya lemah. Bram menelan ludah, rasa bersalah menohok dada. “Celina, aku… aku tidak tahu apa yang terjadi tadi malam. Aku kehilangan kendali.” Air mata menggenang di pelupuk mata Celina. Ia menatap pria itu dengan sorot yang penuh luka. “Kau pikir dengan ucapan itu sem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status