Senja turun perlahan, meninggalkan langit dengan semburat jingga yang indah, seolah ingin menutup hari dengan kelembutan. Namun bagi Celina, senja itu justru menjadi tanda dimulainya malam panjang yang menyesakkan. Ia berdiri di depan kaca rias, menatap bayangan dirinya sendiri. Celana jeans biru yang ia kenakan membentuk siluet tubuhnya, blouse sederhana dipadu riasan tipis di wajah membuat pesonanya kian terpancar. Rambut hitam panjang dibiarkan terurai, mengalir bebas di bahu. Dari luar, ia tampak menawan. Tapi di balik pantulan kaca, mata itu menyimpan getir dan luka yang tak bisa ia sembunyikan. Celina menghela napas panjang. Aku harus kuat. Aku harus terlihat biasa di depan Rian. Jangan sampai dia tahu… jangan sampai dia curiga. Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. “Lin, Rian sudah datang. Dia nunggu di depan,” suara Dewi terdengar dari balik pintu. Celina menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya refleks meremas ujung blouse, mencari kekuatan
Dewi sejak tadi tak henti memperhatikan Celina. Gadis itu duduk di balik meja kasir, jemarinya berulang kali salah menekan tombol mesin hitung hingga harus mengulang lagi. Kening Celina berkerut, seolah pikirannya terbang entah ke mana. “Lin, kamu kenapa? Dari tadi kelihatan nggak fokus,” tanya Dewi sambil mendekat, suaranya lembut tapi sarat dengan rasa khawatir. Celina terperanjat kecil, lalu buru-buru memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, Kak. Mungkin cuma kurang tidur.” Dewi tidak langsung percaya. Tatapannya tajam menelusuri wajah Celina yang terlihat pucat, bibirnya pun nyaris tak berwarna. “Kamu yakin cuma kurang tidur? Dari tadi sudah tiga kali ngulang hitungan nota. Itu bukan Celina yang biasanya, lho.” Celina menunduk, jari-jarinya memainkan bolpoin di meja. Ada jeda panjang sebelum ia akhirnya membuka suara. “Aku… aku lagi banyak pikiran. Tapi nggak apa-apa kok, bisa aku atasi.” Dewi menarik kursi di samping kasir lalu duduk. Ia meletakkan tangan di atas punggung C
Dalam hati, Melisa merasa dadanya sesak. Kata-kata Bram barusan seolah menusuk tepat ke dalam relung hatinya yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Ia sudah lama mengagumi pria itu—Bram, dengan ketampanan dewasa, kharisma seorang pemimpin, dan pesona duda yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, semua perasaan itu hanya bisa ia pendam. Baginya, Bram adalah mimpi indah yang tidak boleh disentuh. Hanya bisa dinikmati dari kejauhan, diam-diam, sambil berharap suatu hari takdir berbaik hati. "Andai saja kau bisa melihatku, Bram... andai saja kau tahu betapa aku ingin menjadi orang yang selalu ada di sisimu," batinnya bergetar. Lamunannya buyar ketika suara Bram yang berat dan serak menyentak kesadarannya. “Melisa…” Wanita itu tersentak, matanya berkedip cepat, berusaha menata ekspresi agar tak terlihat linglung. “Ya, Pak?” suaranya agak tergagap. Bram menatapnya dengan sorot mata yang penuh luka, membuat Melisa semakin sulit bernapas. “Aku bert
Bram melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan bahu merosot, seolah seluruh beban dunia menempel di punggungnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi empuk di balik meja besar itu. Tangannya refleks terangkat, memijat pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Sesak. Kepalanya penuh dengan suara-suara yang tak mau diam, terutama tangisan Celina yang terus terngiang. "Astaga, Celina... kenapa kau harus menangis seperti itu di hadapanku?" batinnya menggeram, namun sesal menusuk jauh lebih kuat daripada amarah. Ia menunduk, jemarinya mencengkeram rambut sendiri, seolah dengan begitu bisa meredam rasa bersalah yang menghantam. Pikiran Bram melayang pada wajah Celina—mata bening yang kini dipenuhi air mata, bibirnya yang bergetar saat memohon agar ia tidak lagi mengganggu kehidupannya. Suara tangis itu kembali menggema di telinganya. "Tolong, Om... jangan buat semuanya semakin sulit..." Bram menghela napas panjang, matanya terpejam rapat. “Celina…” gumam
Bram mencoba menahan dirinya tetap terlihat tenang, meski dadanya terasa sesak. Pandangan matanya sempat melirik Rian yang begitu antusias bercerita tentang Celina, membuat hatinya makin tersayat. Ada desakan kuat dalam dirinya untuk mengungkapkan kebenaran, untuk berteriak bahwa ada sesuatu yang harus Rian ketahui. Namun, setiap kali niat itu menguat, bayangan Celina dengan tatapan dingin dan kata-kata tegasnya kembali menghantui. "Kalau kau benar-benar tidak ingin punya hubungan lagi denganku, Bram... lupakan insiden semalam. Anggap saja itu tidak pernah terjadi." Ucapan itu terus berulang di kepalanya, bagai gema yang tak mau padam. Rian, yang tidak menyadari pergolakan batin ayahnya, menepuk bahu Bram sambil tersenyum lebar. “Pa, aku serius dengan Celina. Aku merasa dia wanita yang tepat. Kau pasti akan suka padanya kalau lebih mengenalnya,” ucap Rian penuh semangat. Bram terdiam sejenak, jemarinya mengepal di sisi kursi. Ingin rasanya ia berkata ‘Rian, kau salah... Ce
Di seberang telepon terdengar tarikan napas panjang. Rian berusaha menahan gejolak hatinya, lalu berkata dengan nada tegas, mantap, tanpa keraguan sedikit pun. “Lin, aku nggak mau menunda lagi. Aku akan menikahi kamu secepatnya.” Kata-kata itu membuat dada Celina berdesir hebat. Ia memejamkan mata, menggenggam ponselnya erat-erat. Air matanya hampir tumpah, bukan karena tak bahagia, melainkan karena hatinya diselimuti ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. “Mas...” suaranya pelan, bergetar. “Bisa nggak... kasih aku waktu? Aku... aku belum siap.” “Belum siap?” Rian langsung menukas, nada kecewanya tak bisa ia sembunyikan. “Lin, kita sudah setahun bersama. Setahun. Apa itu masih kurang buat kamu? Masih kurang waktu untuk saling mengenal?” Celina terdiam, napasnya tercekat. Dalam hati ia tahu, Rian benar. Mereka sudah melewati banyak hal bersama. Rian selalu ada, selalu setia, selalu menunjukkan kesungguhannya. Rian melanjutkan, suaranya semakin mantap, seolah ingin menepis s