LOGINTaksi berhenti di depan gedung Angkasa Mining. Suasana kantor sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa security yang berjaga.
"Bu Lilyan, apa ada yang ketinggalan?" tanya security sebelum mengizinkan Lilyan untuk masuk. "Iya Pak. Ada barang saya yang tertinggal di dalam." Lilyan melangkah masuk. Ia langsung menuju ke ruangan Rega yang tampak masih menyala terang. Pintu ruangan terbuka dan di dalam ruangan Rega sudah menunggunya. Ia duduk di kursinya, dengan kemeja hitam yang lengannya tergulung, wajah dingin tanpa ekspresi. Di tangan kirinya, ponsel yang tadi mengirimkan mimpi buruk itu tergenggam erat. “Cepat juga kau datang,” ucapnya datar dengan senyuman tipis mengembang di bibirnya. Lilyan menatapnya tajam, napasnya naik turun dengan cepat. Ada kilatan amarah di sorot matanya. "Kenapa kau melakukan ini biasanya padaku Rega!" Hilang sudah rasa hormat Lilyan pada atasannya itu. Berganti dengan amarah yang meledak-ledak. "Tenang Lilyan, aku hanya ingin kau menemaniku malam ini." Rega tersenyum tipis lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri Lilyan yang masih berdiri tegak di depannya. "Ini tidak lucu. Aku bukan bonekamu!" pekik Lilyan kesal. Rega malah tertawa melihat kemarahan Lilyan saat itu. Wajah Lilyan jadi semakin lucu dimatanya membuatnya semakin gemas. "Kamu makin cantik saat marah." Tangan Rega terulur dan mengangkat dagu Lilyan yang berwajah masam. "Jangan menyentuhku lagi!" Lilyan menepis tangan itu dengan cepat. Tangan Rega menggantung di udara, membuat pria itu terdiam untuk sesaat. Tatapan matanya tajam ke arah Lilyan. "Aku tidak suka penolakan Lilyan." Tiba-tiba Rega mencengkram rahang Lilyan dengan cukup keras. Rega membuatnya terpaksa mendongak ke arah Rega. Tatapan mereka bertemu. Aura dingin Rega kembali terlihat membuat tubuh Lilyan gemetar. "Lepaskan aku!" Mata Lilyan berkilat. "Tidak akan sebelum kau menuruti perintahku." "Apa maumu?" Akhirnya Lilyan luluh. Rega melepaskan cengkramannya. Ia mengambil sebuah paper bag ke arah Lilyan. Dengan cepat wanita itu mengambilnya. Di dalamnya ada sebuah gaun berwarna biru gelap yang tampak mewah. "Pakai itu dan ikut aku!" tegas Rega tanpa bisa dibantah. "Kemana?" "Tidak usah banyak tanya. Aku tidak suka wanita cerewet." Rega kembali ke mejanya dan duduk memperhatikan Lilyan. Gadis cantik berkulit putih itu menghela napas berat. Rasanya ia ingin sekali memukul kepala Rega yang begitu menyebalkan malam ini. Namun ia tak punya keberanian untuk melakukan itu. Rega bisa saja mengirim foto-foto panas mereka pada Vano dan itu sangat berbahaya. "Baiklah, aku akan pakai baju ini." Lilyan memutar tubuhnya hendak pergi ke toilet. "Mau kemana kau?" tanya Rega dengan suara baritonnya. "Tentu saja aku mau ganti baju di kamar mandi." Lilyan memutar bola matanya. "Siapa yang mengizinkanmu pergi dari sini?" Rega menatap dingin dengan melipat kedua tangan di dada. "Apa maksudmu aku harus ganti baju di depanmu?" Lilyan membelalak lebar. "Tentu saja. Apa bedanya ganti baju di sini atau di kamar mandi. Toh, aku sudah melihat seluruh tubuhmu, bahkan aku masih ingat detailnya dengan jelas." Rega menyeringai tipis. Mulut Lilyan menganga, ia tak menyangka kalau Rega begitu mesum. Gadis itu ingin menolak keinginan Rega, namun pria itu mengangkat ponselnya dan siap mengirim foto panas mereka pada Vano. Rahang Lilyan mengeras. Dia mengumpat kesal. "Dasar sakit jiwa." Namun Rega tetap bergeming dan hanya menyeringai tipis. Dengan terpaksa Lilyan membuka kancing kemejanya. Tubuh indahnya perlahan terekspos membuat Rega menahan napasnya. Harga diri Lilyan benar-benar terkoyak. Ia hampir menangis saat harus setengah telanjang di depan Rega. Sementara itu mata Rega terus menatap lekat pemandangan indah di depan matanya. Naluri laki-lakinya bangkit. Ingin sekali ia menerkam Lilyan saat itu juga. Namun ia harus menahan keinginan itu. Ia tidak mau. memaksa Lilyan melayaninya dan hanya akan membuatnya takut. Selesai mengganti bajunya, Lilyan pun mendongak menatap tajam ke arah Rega. "Sekarang, apalagi maumu?" ketus Lilyan. "Ikut aku." Rega meraih kunci mobilnya dan keluar dari ruangan itu. --- Udara malam terasa hangat ketika mobil Rega berhenti di halaman sebuah vila besar di pinggir kota. Lampu-lampu taman berkelip indah, musik lembut terdengar dari dalam, dan deretan mobil mewah memenuhi pelataran. Lilyan menatap ke luar jendela, bingung. "Mau ngapain kita ke sini?" tanyanya pelan. “Reuni kampus,” jawab Rega singkat sambil turun dari mobil. Ia berjalan memutari kap mobil dan membukakan pintu untuk Lilyan. Lilyan sempat ragu. Namun tatapan Rega seolah memaksanya untuk turun. Dia merapikan dahulu rambutnya yang diikat asal sebelum masuk ke dalam vila. "Sepertinya kau akan lebih cantik bila rambutnya kau biarkan tergerai." Rega mengulurkan tangan untuk membuka ikatan rambut Lilyan. Dan benar saja, Lilyan tampak lebih cantik dan seksi saat rambutnya digerai. Dia tampil lebih elegan walaupun tanpa riasan tebal. Rega semakin kagum dengan kecantikan alami yang dimiliki oleh Lilyan. Ia semakin tergila-gila dan bertekad merebut Lilyan dari tangan Vano. "Ayo masuk." Rega menggandeng tangan Lilyan. Kini mereka layak disebut pasangan kekasih. Begitu mereka masuk, suasana riuh menyambut. Musik, tawa, dan obrolan menggema. Beberapa pria dan wanita berpenampilan elegan langsung menoleh ke arah Rega. “Rega! Lama sekali kita tidak bertemu, bro!” seru salah satu pria tinggi. Ia menepuk bahu Rega dengan akrab, lalu menatap Lilyan penasaran. "Dan siapa gadis cantik ini? Apa dia pacar barumu?” Lilyan refleks ingin menjelaskan kalau dia bukan pacar Rega, tetapi Rega lebih cepat menyela. “Iya, kami baru saja meresmikan hubungan,” katanya santai, merangkul bahu Lilyan dengan tangan kokohnya. " Oh, ya? Selamat kalau begitu. Kenalin aku Andreas." Pria itu mengulurkan tangannya pada Lilyan. "Lilyan." Gadis itu memperkenalkan dirinya secara singkat. Beberapa wanita langsung berkasak-kusuk. Entah apa yang mereka bicarakan namun jelas ada sorot kagum dari mata mereka. "Akhirnya Bro Rega dapat tambatan hati juga. Kita kira kamu akan menjomblo seumur hidup,” timpal yang lain. Lilyan membuka mulut, mencoba menyangkal, tapi tangan Rega menepuk lembut punggungnya sebagai peringatan halus agar ia diam. "Kita cari tempat duduk, sayang,” bisik Rega dengan suara rendah namun tegas. Lilyan tak punya pilihan. Ia mengikuti langkah Rega menuju meja di sudut ruangan. Di sepanjang jalan, pandangan tamu-tamu lain mengikuti mereka, sebagian tersenyum, sebagian berbisik-bisik. Sementara itu, di dalam dada Lilyan, emosi bertubrukan. Malu, marah, bingung, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tak tahu kenapa Rega melakukan ini padanya. Apa hanya untuk pamer, atau ada maksud tersembunyi di balik pengakuan itu.Musik lembut dari band akustik mengalun di pojok ruangan. Lampu-lampu gantung berwarna keemasan menciptakan nuansa hangat di vila yang dipenuhi tawa dan percakapan ringan. Meski disebut “reuni kampus”, suasananya lebih seperti pesta eksklusif bagi kalangan terbatas. Sepertinya hanya teman-teman dekat Rega saja yang hadir di acara itu. Lilyan duduk di salah satu meja, sementara Rega berbincang dengan beberapa pria di sisi lain ruangan. Ia menatap gelas jus di tangannya, berusaha menenangkan diri dari rasa canggung yang masih menghantuinya. “Sendirian, ya?” Suara lembut seorang wanita memecah lamunannya.Lilyan mendongak. Di hadapannya berdiri dua wanita cantik dengan senyum ramah. Yang satu berambut pendek bergelombang, yang lain berambut panjang dan mengenakan gaun satin berwarna gading.“Boleh duduk?” tanya yang berambut pendek.“Oh, tentu,” jawab Lilyan cepat, memberi isyarat agar mereka duduk.“Aku Mira,” ucap si rambut pendek memperkenalkan diri. “Dan ini Livia. Kami teman kuli
Taksi berhenti di depan gedung Angkasa Mining. Suasana kantor sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa security yang berjaga. "Bu Lilyan, apa ada yang ketinggalan?" tanya security sebelum mengizinkan Lilyan untuk masuk. "Iya Pak. Ada barang saya yang tertinggal di dalam." Lilyan melangkah masuk. Ia langsung menuju ke ruangan Rega yang tampak masih menyala terang. Pintu ruangan terbuka dan di dalam ruangan Rega sudah menunggunya. Ia duduk di kursinya, dengan kemeja hitam yang lengannya tergulung, wajah dingin tanpa ekspresi. Di tangan kirinya, ponsel yang tadi mengirimkan mimpi buruk itu tergenggam erat. “Cepat juga kau datang,” ucapnya datar dengan senyuman tipis mengembang di bibirnya. Lilyan menatapnya tajam, napasnya naik turun dengan cepat. Ada kilatan amarah di sorot matanya. "Kenapa kau melakukan ini biasanya padaku Rega!" Hilang sudah rasa hormat Lilyan pada atasannya itu. Berganti dengan amarah yang meledak-ledak. "Tenang Lilyan, aku hanya ingin kau menema
“Cantik banget, Mbak Lilyan,” puji penjahit butik dengan senyum ramah saat sore itu LilyN mencoba memakai gaun pengantin yang pesan beberapa bulan lalu. Lilyan menatap pantulan dirinya di cermin besar di depannya. Gaun itu memang indah, lembut, berkilau, dan sempurna untuk seorang pengantin. Tapi di balik kilau kain satin dan renda putih itu, hatinya terasa hancur. Kini ia tak bisa lagi memberikan kesuciannya pada Vano seperti yang ia janjikan dulu pada pria itu. Kesuciannya telah direnggut oleh Rega, saudara angkat Vano sendiri. Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat. Vano melingkarkan tangannya pada perut rata calon istrinya itu. "Kau akan jadi pengantin wanita paling cantik, Ly. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari bahagia kita tiba. Kau akan jadi milikku seutuhnya." Vano mempererat pelukannya. Tak peduli pada sang pramuniaga yang masih berdiri tak jauh dari sana. Lilyan menegakkan bahunya sedikit, mencoba tersenyum melalui bayangan wajahnya di cermin. "Ga
Rega tersenyum tipis, matanya tertuju pada wajah Lilyan yang merona merah. "Aku bisa memberikan apapun yang kau mau jika kau mau melepaskan Vano dan menjadi kekasihku Ly. " Goda Rega lagi. Lilyan memejamkan matanya sesaat. Siapa yang tidak tertarik dengan pria setampan Rega. Spec Rega jauh melebihi Vano. Namun dia bukan wanita yang silau akan semua itu. Dia sudah bertunangan dengan Vano dan apa jadinya jika ia malah berselingkuh dengan Rega. "Pak Rega tolong hentikan. Sekali lagi saya bilang, saya tidak mungkin mengkhianati Vano dan kami akan menikah," tegas Lilyan. "Tapi jangan lupa Ly, kita sudah menghabiskan malam bersama dan itu akan menjadi kenangan tak terlupakan di antara kita." Tangan Rega terangkat dan dengan lembut menyentuh pipi kemerahan Lilyan. DEG. Jantung Lilyan berdebar kencang. Seluruh tubuhnya meremang. Lilyan tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Sebelumnya dia tidak merasakan apapun tapi kenapa sekarang... "Cukup Pak. Jangan pernah sentu
Suara mesin mobil sport itu berhenti di halaman luas rumah keluarga Angkasa. Rega turun dengan langkah mantap, jas kerjanya masih rapi, wajahnya tetap dingin dan tanpa senyum. Rumah besar yang dulu terasa seperti istana, kini baginya hanya bangunan yang dingin tanpa kehangatan yang pernah ia rasakan ketika ibunya masih hidup. Dari arah ruang makan, terdengar suara lembut yang memanggilnya. Tanpa menoleh ia tahu siapa wanita yang memanggilnya itu. Dia adalah Fatma. Ibu tiri Rega sekaligus ibu kandung Vano. Ayahnya, Pak Hartawan menikah lagi setelah ibunya meninggal. Dan sampai detik ini ia tidak pernah menganggap Fatma ibunya. “Rega... kau sudah pulang?” Bu Fatma, wanita paruh baya berwajah cantik yang masih terlihat muda di usianya segera berdiri menyambut kedatangan Rega. Sementara Pak Hartawan sedang minum air putih miliknya. "Kebetulan kau datang, ayo kita makan bersama," ajak Bu Fatma antusias, tangannya melambai ke arah Rega yang masih berdiri acuh. “Papa sudah lam
“Surat Perintah – Penunjukan Sekretaris Pribadi CEO”. Lilyan menahan napas saat membaca surat perintah tersebut. Ia resmi diangkat menjadi sekretaris pribadi Rega. Hatinya berdebar. Ini berarti ia akan lebih sering berinteraksi dengan Rega, bahkan tiap hari. "Ada apa Ly, apa isi surat itu?" suara Vano terdengar tegang. Matanya menatap surat yang ada di tangan Lilyan. "Pak Rega mengangkatku jadi sekretaris pribadinya," jawab Lilyan dengan tegang. “Apa maksudnya? Kamu jadi sekretaris pribadi Rega?!” Lilyan menoleh, gugup. “Ya, sayang., aku juga tidak tahu kenapa Pak Rega memilihku." "Aku tidak terima Ly... Bagaimanapun juga kau adalah sekretarisku, Rega tidak bisa seenaknya saja mengambil sekretarisku!" Vano menahan geram. Dia berdiri dan melangkah keluar dari dalam ruangan Lilyan. "Mau kemana, Mas?" Lilyan berteriak pelan namun Vano tidak menggubrisnya. Lelaki itu berjalan cepat menuju ruangan Rega. BRAAKK! Dengan penuh amarah Vano membuka pintu, Namun sepertiny







