LOGINMusik lembut dari band akustik mengalun di pojok ruangan. Lampu-lampu gantung berwarna keemasan menciptakan nuansa hangat di vila yang dipenuhi tawa dan percakapan ringan. Meski disebut “reuni kampus”, suasananya lebih seperti pesta eksklusif bagi kalangan terbatas. Sepertinya hanya teman-teman dekat Rega saja yang hadir di acara itu.
Lilyan duduk di salah satu meja, sementara Rega berbincang dengan beberapa pria di sisi lain ruangan. Ia menatap gelas jus di tangannya, berusaha menenangkan diri dari rasa canggung yang masih menghantuinya. “Sendirian, ya?” Suara lembut seorang wanita memecah lamunannya. Lilyan mendongak. Di hadapannya berdiri dua wanita cantik dengan senyum ramah. Yang satu berambut pendek bergelombang, yang lain berambut panjang dan mengenakan gaun satin berwarna gading. “Boleh duduk?” tanya yang berambut pendek. “Oh, tentu,” jawab Lilyan cepat, memberi isyarat agar mereka duduk. “Aku Mira,” ucap si rambut pendek memperkenalkan diri. “Dan ini Livia. Kami teman kuliahnya Rega dulu. Kamu Lilyan, kan?” “Iya, benar. Senang bertemu kalian.” Lilyan mengangguk pelan. "Akhirnya ada juga perempuan yang bisa menaklukkan Rega," celetuk Mira. “Maksudnya?” Lilyan mengerjap, sedikit bingung. "Rega itu dulu terkenal sekali di kampus. Pintar, tampan, sukses, tapi dingin. Tidak pernah mau dekat sama siapa pun. Banyak yang mencoba mendekati tapi semua ditolak mentah-mentah.” Livia menatapnya dengan senyum samar. "Dan semua orang di sini kaget saat dia datang menggandengmu karena kami mengira dia akan menjomblo seumur hidup." Mira mengangguk membenarkan. "Rega yang dulu bahkan malas datang ke acara seperti ini, sekarang sepertinya dia akan mulai rajin menggandengmu dan memamerkanmu pada orang lain," sambung Livia. Lilyan terdiam. Jantungnya berdetak tak menentu. Ia tahu Rega pria yang kaku, tapi mendengar semua itu dari orang lain membuat hatinya berdesir aneh. "Rega pasti sayang sekali padamu. Dia tidak pernah membawa perempuan ke lingkaran pertemanannya. Bahkan waktu dulu dia sempat dekat dengan salah satu dosen muda pun, dia tidak pernah memperkenalkannya pada siapapun," lanjut Mira. Lilyan mengangkat wajah, terkejut. “Dosen muda?” Livia tertawa kecil. “Iya, itu cuma rumor kok. Rega memang punya daya tarik misterius. Semua perempuan waktu itu suka sama dia.” Senyum Lilyan mengambang di bibirnya, tapi hatinya campur aduk. Ia merasa seperti sedang mendengarkan kisah tentang seseorang yang sama sekali berbeda dari pria yang mengancamnya dengan foto malam itu. Entah kenapa Lilyan jadi terkesan saat mendengar segala sesuatu tentang Rega. Lilyan menatap Rega dari kejauhan. Ia sedang tertawa kecil bersama teman-temannya, ekspresinya santai, bahkan ramah. Sesuatu yang jarang sekali ia lihat. Untuk sesaat, Lilyan merasa bingung apakah yang ia kenal selama ini benar-benar Rega yang sama? “Kau kelihatan tegang sekali, santai saja ini kan pesta, bukan rapat kerja.” Mira berkata sambil tertawa “Aku hanya tidak biasa di tempat seperti ini. Terlalu ramai.” Lilyan tersenyum tipis. “Makanya, kau harus sedikit rileks,” sahut Livia, lalu menoleh ke arah pelayan yang lewat sambil membawa nampan berisi minuman. “Mas, dua gelas mojito sama satu wine ya, sini taruh di meja.” "Aku tidak minum." Lilyan buru-buru menggeleng. “Ayolah, segelas aja. Ini cuma minuman ringan kok. Tidak bikin mabuk.” Livia menaikkan alis. “Aku benar-benar—” "Jangan menolak Ly, anggap saja ini minuman pertemanan kita. Hanya satu gelas dan itu tidak akan membuatmu mabuk." Mira menimpali cepat, suaranya lembut tapi sedikit memaksa. “Cuma ini, janji. Kalau kau tidak suka, taruh saja.” Livia menyerahkan segelas minuman padanya. Cairannya bening dengan sedikit irisan lemon di dalamnya. Lilyan menatap gelas itu ragu. Aroma alkoholnya samar, hampir tak tercium. Setelah beberapa detik, ia menarik napas pelan dan akhirnya menerima. “Baiklah. Tapi cuma satu gelas.” Mira dan Livia bersorak kecil. “Gitu dong!” Suara tawa mereka bercampur dengan musik. Lilyan meneguk sedikit. Rasanya manis di awal, lalu ada sensasi hangat yang menyebar di tenggorokannya. Ia pikir tak apa-apa. Tapi beberapa menit kemudian, kepalanya mulai terasa ringan. Livia menuangkan lagi, kali ini tanpa bertanya. Lilyan menolak halus. “Sudah, aku cukup—” Namun Mira menyentuh lengannya. “Tidak apa-apa, sayang. Malam ini kita senang-senang.” Gelas itu kembali di tangannya. Dan Lilyan, yang setengah bingung, akhirnya menyerah lagi. Beberapa menit kemudian, dunia di sekitarnya mulai berputar pelan. Musik terdengar lebih keras, tawa-tawa di sekelilingnya terasa jauh, tapi wajah Rega yang tadi jauh kini muncul di benaknya, tajam, membuat jantungnya berdetak cepat tanpa sebab. Lilyan menunduk, mencoba menstabilkan napas, tapi pandangannya mulai kabur. Suara-suara di sekitar terasa bergema. Tubuhnya terasa hangat. Saat itu Rega kembali, matanya langsung mencari sosok Lilyan. Dan ketika ia melihat perempuan itu sedang bersama dengan Mira dan Livia, Rega pun segera menghampiri. "Ly...!" panggilnya cemas. Ia menoleh tajam pada Mira dan Livia. "Stop! Jangan cekoki Lilyan lagi, dia tidak tahan alkohol, toleransinya rendah," serunya tegas. "Upps, sorry Ga, kita tidak tahu." Mira dan Livia saling melempar pandang. Sementara itu Lilyan menatap Rega samar-samar, matanya setengah terbuka. “Rega…” suaranya nyaris tak terdengar sebelum tubuhnya goyah di sofa. "Ly, kau mabuk, kita tidak bisa terus di sini. Ayo kita pulang saja." Rega merengkuh bahu Lilyan dan memapahnya keluar dari vila. "Aku tidak mabuk, aku baik-baik saja. Aku masih ingin di sini." Lilyan meronta dan mulai meracau. Pipinya terlihat lebih merah. Rega tak menggubrisnya. Dia membawa gadis itu masuk ke dalam mobil. “Kenapa kau bawa aku pulang? Aku masih ingin di sini. Mana minumannya lagi?" suaranya serak. "Kau mabuk Lilyan." Rega menarik napas panjang. "Sok tahu! Aku benci sama pria yang selalu merasa benar seperti dirimu!" Lilyan mendengus pelan, lalu tertawa kecil. Rega menoleh singkat, bibirnya menegang. “Benci?” “Iya, benci,” Lilyan mengulang dengan suara berat lalu mencondongkan dirinya ke arah Rega. “Kau menyebelkan. Seenaknya sendiri. Kau membuat semuanya jadi rumit, termasuk hatiku." Ia berhenti sejenak, menatap Rega dengan tatapan sayu. "Kenapa wajahmu harus setampan ini?" Tangan Lilyan terulur dan membelai pipi Rega dengan lembut. Lalu dengan gerakan spontan tiba-tiba saja Lilyan mencium bibir Rega. Rega terdiam, tidak tahu harus menanggapi dengan cara apa. Namun parutan kecil yang dilakukan Lilyan pada bibirnya membuat gairah Rega terpantik. Dia membalasnya dengan lebih panas. Napas mereka kian berat. Suasana yang semula dingin kini berubah panas. Lilyan tidak sadar kalau ia telah membangunkan singa yang sedang tidur. Berbahaya. "Lilyan..." Rega terpaku saat Lilyan tiba-tiba naik ke atas pangkuannya. "Ly... kau sadar dengan apa yang kau lakukan?" Rega terkejut dengan jantung berdebar. "Kenapa kau terus muncul di pikiranku, hm?" Lilyan meracau lagi. Tangannya mulai membuka kancing kemeja Rega. Rega semakin membelalak. Tak menyangka kalau Lilyan akan melakukan hal ini. "Ly, kau sendiri yang memintanya. Aku hanya mengabulkan keinginanmu." Rega menyeringai tipis dan menurunkan jok mobilnya hingga lebih landai dari sebelumnya. Membuat pergerakan Lilyan menjadi lebih leluasa.Musik lembut dari band akustik mengalun di pojok ruangan. Lampu-lampu gantung berwarna keemasan menciptakan nuansa hangat di vila yang dipenuhi tawa dan percakapan ringan. Meski disebut “reuni kampus”, suasananya lebih seperti pesta eksklusif bagi kalangan terbatas. Sepertinya hanya teman-teman dekat Rega saja yang hadir di acara itu. Lilyan duduk di salah satu meja, sementara Rega berbincang dengan beberapa pria di sisi lain ruangan. Ia menatap gelas jus di tangannya, berusaha menenangkan diri dari rasa canggung yang masih menghantuinya. “Sendirian, ya?” Suara lembut seorang wanita memecah lamunannya.Lilyan mendongak. Di hadapannya berdiri dua wanita cantik dengan senyum ramah. Yang satu berambut pendek bergelombang, yang lain berambut panjang dan mengenakan gaun satin berwarna gading.“Boleh duduk?” tanya yang berambut pendek.“Oh, tentu,” jawab Lilyan cepat, memberi isyarat agar mereka duduk.“Aku Mira,” ucap si rambut pendek memperkenalkan diri. “Dan ini Livia. Kami teman kuli
Taksi berhenti di depan gedung Angkasa Mining. Suasana kantor sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa security yang berjaga. "Bu Lilyan, apa ada yang ketinggalan?" tanya security sebelum mengizinkan Lilyan untuk masuk. "Iya Pak. Ada barang saya yang tertinggal di dalam." Lilyan melangkah masuk. Ia langsung menuju ke ruangan Rega yang tampak masih menyala terang. Pintu ruangan terbuka dan di dalam ruangan Rega sudah menunggunya. Ia duduk di kursinya, dengan kemeja hitam yang lengannya tergulung, wajah dingin tanpa ekspresi. Di tangan kirinya, ponsel yang tadi mengirimkan mimpi buruk itu tergenggam erat. “Cepat juga kau datang,” ucapnya datar dengan senyuman tipis mengembang di bibirnya. Lilyan menatapnya tajam, napasnya naik turun dengan cepat. Ada kilatan amarah di sorot matanya. "Kenapa kau melakukan ini biasanya padaku Rega!" Hilang sudah rasa hormat Lilyan pada atasannya itu. Berganti dengan amarah yang meledak-ledak. "Tenang Lilyan, aku hanya ingin kau menema
“Cantik banget, Mbak Lilyan,” puji penjahit butik dengan senyum ramah saat sore itu LilyN mencoba memakai gaun pengantin yang pesan beberapa bulan lalu. Lilyan menatap pantulan dirinya di cermin besar di depannya. Gaun itu memang indah, lembut, berkilau, dan sempurna untuk seorang pengantin. Tapi di balik kilau kain satin dan renda putih itu, hatinya terasa hancur. Kini ia tak bisa lagi memberikan kesuciannya pada Vano seperti yang ia janjikan dulu pada pria itu. Kesuciannya telah direnggut oleh Rega, saudara angkat Vano sendiri. Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat. Vano melingkarkan tangannya pada perut rata calon istrinya itu. "Kau akan jadi pengantin wanita paling cantik, Ly. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari bahagia kita tiba. Kau akan jadi milikku seutuhnya." Vano mempererat pelukannya. Tak peduli pada sang pramuniaga yang masih berdiri tak jauh dari sana. Lilyan menegakkan bahunya sedikit, mencoba tersenyum melalui bayangan wajahnya di cermin. "Ga
Rega tersenyum tipis, matanya tertuju pada wajah Lilyan yang merona merah. "Aku bisa memberikan apapun yang kau mau jika kau mau melepaskan Vano dan menjadi kekasihku Ly. " Goda Rega lagi. Lilyan memejamkan matanya sesaat. Siapa yang tidak tertarik dengan pria setampan Rega. Spec Rega jauh melebihi Vano. Namun dia bukan wanita yang silau akan semua itu. Dia sudah bertunangan dengan Vano dan apa jadinya jika ia malah berselingkuh dengan Rega. "Pak Rega tolong hentikan. Sekali lagi saya bilang, saya tidak mungkin mengkhianati Vano dan kami akan menikah," tegas Lilyan. "Tapi jangan lupa Ly, kita sudah menghabiskan malam bersama dan itu akan menjadi kenangan tak terlupakan di antara kita." Tangan Rega terangkat dan dengan lembut menyentuh pipi kemerahan Lilyan. DEG. Jantung Lilyan berdebar kencang. Seluruh tubuhnya meremang. Lilyan tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Sebelumnya dia tidak merasakan apapun tapi kenapa sekarang... "Cukup Pak. Jangan pernah sentu
Suara mesin mobil sport itu berhenti di halaman luas rumah keluarga Angkasa. Rega turun dengan langkah mantap, jas kerjanya masih rapi, wajahnya tetap dingin dan tanpa senyum. Rumah besar yang dulu terasa seperti istana, kini baginya hanya bangunan yang dingin tanpa kehangatan yang pernah ia rasakan ketika ibunya masih hidup. Dari arah ruang makan, terdengar suara lembut yang memanggilnya. Tanpa menoleh ia tahu siapa wanita yang memanggilnya itu. Dia adalah Fatma. Ibu tiri Rega sekaligus ibu kandung Vano. Ayahnya, Pak Hartawan menikah lagi setelah ibunya meninggal. Dan sampai detik ini ia tidak pernah menganggap Fatma ibunya. “Rega... kau sudah pulang?” Bu Fatma, wanita paruh baya berwajah cantik yang masih terlihat muda di usianya segera berdiri menyambut kedatangan Rega. Sementara Pak Hartawan sedang minum air putih miliknya. "Kebetulan kau datang, ayo kita makan bersama," ajak Bu Fatma antusias, tangannya melambai ke arah Rega yang masih berdiri acuh. “Papa sudah lam
“Surat Perintah – Penunjukan Sekretaris Pribadi CEO”. Lilyan menahan napas saat membaca surat perintah tersebut. Ia resmi diangkat menjadi sekretaris pribadi Rega. Hatinya berdebar. Ini berarti ia akan lebih sering berinteraksi dengan Rega, bahkan tiap hari. "Ada apa Ly, apa isi surat itu?" suara Vano terdengar tegang. Matanya menatap surat yang ada di tangan Lilyan. "Pak Rega mengangkatku jadi sekretaris pribadinya," jawab Lilyan dengan tegang. “Apa maksudnya? Kamu jadi sekretaris pribadi Rega?!” Lilyan menoleh, gugup. “Ya, sayang., aku juga tidak tahu kenapa Pak Rega memilihku." "Aku tidak terima Ly... Bagaimanapun juga kau adalah sekretarisku, Rega tidak bisa seenaknya saja mengambil sekretarisku!" Vano menahan geram. Dia berdiri dan melangkah keluar dari dalam ruangan Lilyan. "Mau kemana, Mas?" Lilyan berteriak pelan namun Vano tidak menggubrisnya. Lelaki itu berjalan cepat menuju ruangan Rega. BRAAKK! Dengan penuh amarah Vano membuka pintu, Namun sepertiny







