LOGIN“Cantik banget, Mbak Lilyan,” puji penjahit butik dengan senyum ramah saat sore itu LilyN mencoba memakai gaun pengantin yang pesan beberapa bulan lalu.
Lilyan menatap pantulan dirinya di cermin besar di depannya. Gaun itu memang indah, lembut, berkilau, dan sempurna untuk seorang pengantin. Tapi di balik kilau kain satin dan renda putih itu, hatinya terasa hancur. Kini ia tak bisa lagi memberikan kesuciannya pada Vano seperti yang ia janjikan dulu pada pria itu. Kesuciannya telah direnggut oleh Rega, saudara angkat Vano sendiri. Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat. Vano melingkarkan tangannya pada perut rata calon istrinya itu. "Kau akan jadi pengantin wanita paling cantik, Ly. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari bahagia kita tiba. Kau akan jadi milikku seutuhnya." Vano mempererat pelukannya. Tak peduli pada sang pramuniaga yang masih berdiri tak jauh dari sana. Lilyan menegakkan bahunya sedikit, mencoba tersenyum melalui bayangan wajahnya di cermin. "Gaun ini memang cantik, gaun yang sudah lama aku impikan," Lilyan tersenyum getir mencoba menenangkan gemuruh di jantungnya. "Tapi kenapa kau malah kelihatan sedih. Wajahmu murung Ly, apa kamu tidak bahagia dengan pernikahan kita?" Vano mengernyit, tatapannya tertuju pada refleksi cermin di hadapannya. Lilyan mengerjapkan matanya. Ia angkat sudut bibirnya ke atas membentuk lengkungan tipis yang setengah dipaksakan. "Aku... aku hanya lelah, Mas. Akhir-akhir ini pekerjaanku padat sekali." Lilyan memberi alasan. "Yakin hanya karena lelah?" Mata Vano menyipit tak percaya. "Yakin Mas." Lilyan hanya menunduk, menatap jemarinya yang gemetar halus. Ada rasa bersalah yang menyesakkan di dadanya. Tatapan Vano begitu tulus, terlalu murni untuk seseorang sepertinya yang telah ternoda oleh kesalahan yang bahkan belum sanggup ia ceritakan. Ia mencoba menarik napas panjang, lalu memutar sedikit tubuhnya agar tidak bertemu pandang dengan Vano. "Pernikahan kita tinggal hitungan bulan. Jangan sampai kau sakit karena kelelahan. Kalau perlu aku akan bilang pada Rega agar tidak terlalu sering membuatmu lembur." "Jangan..." potong Lilyan cepat. "Kenapa?" "Tidak perlu Mas. Aku bisa mengatasinya sendiri." Lilyan menggeleng cepat. Vano mengerutkan dahi. “Baiklah kalau begitu, aku cuma minta kau jaga kesehatan sampai hari pernikahan kita." Lilyan hanya mengangguk. Hatinya mencelos sakit. Andai Vano tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu, apakah ia masih bisa menerima dirinya seperti ini? Lilyan menggigit bibir bawahnya. Di dalam cermin, ia melihat pantulan matanya sendiri yang kosong, sedikit berembun menyimpan kesedihan yang sekuat tenaga ia sembunyikan. Vano memperhatikan perubahan ekspresinya. “Sayang?” panggilnya pelan. “Kau yakin tidak ada yang kau sembunyikan dariku?” Pertanyaan itu seperti duri yang menancap langsung ke dadanya. Lilyan buru-buru menggeleng. “Nggak, ada Mas. Aku hanya lelah saja.” Ia tersenyum memaksa, mencoba menutupi getar suaranya. Vano tak bisa lagi memaksa Lilyan untuk jujur meski ia sedikit curiga pada Lilyan yabg tampak berbeda dari sebelumnya. Biasanya Lilyan akan selalu bersemangat mengurusi persiapan pernikahannya ini. Tapi sekarang gadis itu justru tampak tidak terlalu antusias. "Habis ini kita makan malam ya, sayang," ajak Vano selepas Lilyan mencoba gaun terakhirnya. "Ya, boleh," sahut Lilyan. Dia masuk ke dalam ruang ganti untuk melepas gaun pengantinnya dan berganti dengan baju kerjanya. Lilyan menghela napasnya. Pantulan dirinya di cermin memang tampak menyedihkan. Pantas jika Vano curiga. "Ayo bangkit Lilyan, kau pasti bisa melewati semua ini. Vano pasti akan mengerti walaupun aku sudah tidak suci lagi." Kedua tangan Lilyan terkepal kuat di samping tubuh. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya keluar dari kamar ganti. Di luar Vano sudah menunggunya. Ia langsung tersenyum saat melihat wajah Lilyan yang begitu cantik. "Ayo kita pergi. Aku tahu restoran romantis yang harus kita datangi malam ini." Vano terlihat bersemangat. Ia langsung menggandeng lengan Lilyan keluar dari butik ternama itu. Lilyan menurut meski otaknya kosong. Vano membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Lilyan untuk masuk ke dalamnya. Setelah itu, Vano masuk lewat pintu lainnya dan bersiap membawa Lilyan pergi ke restoran yang ia maksud. Suasana di dalam kabin mobil terasa hening. Hanya ada suara musik lembut mengalun merdu. Sesekali Vano menoleh ke arah Lilyan yang masih membisu. Dia tidak tahu apa yang tengah dipikirkan wanita itu. Suara dering ponsel terdengar. Bukan ponsel Vano, tapi ponsel milik Lilyan. Gadis itu mengambil benda pipih itu dari dalam tasnya. Matanya sedikit membelalak saat tahu kalau ada pesan masuk dari Rega. Dengan tergesa ia membuka pesan tersebut dan di detik berikutnya tubuh Lilyan terasa lemas seketika. Pesan itu berisi foto saat Lilyan dan Rega sedang berhubungan badan dengan pose yang begitu intim. Membuat Lilyan menahan napasnya karena malu. Ting! Satu pesan kembali muncul. Kali ini berisi beberapa kalimat yang membuat Lilyan geram. "Temui aku sekarang juga. Kalau tidak maka foto ini akan sampai di galeri ponsel Vano." "Ada apa?" tanya Vano yang heran dengan perubahan ekspresi Lilyan. Lilyan kaget dan terperangah. Ia segera memasang senyum palsunya. "Mas, sepertinya kita harus pulang. Ibuku menyuruh aku pulang sekarang juga." Lilyan berpikir keras agar Vano percaya. "Ada masalah?" tanya Vano penasaran. "Aku juga tidak tahu. Ibu hanya bilang kalau aku harus secepatnya pulang. Aku mohon Mas. Makan malamnya jangan sekarang ya." Lilyan menatap dengan perasaan bersalah. Vano menghela napasnya. Sejujurnya ia kecewa. Tapi sepertinya ada masalah serius yang sedang Lilyan alami saat ini. "Baiklah aku antar kamu pulang sekarang." Vano membanting setirnya kembali ke arah rumah Lilyan. Tak lama mereka pun tiba di depan rumah sederhana milik keluarga Lilyan. Dengan tergesa-gesa Lilyan keluar dari dalam mobil. "Terima kasih dan maaf karena telah mengecewakan." Lilyan menunduk penuh rasa bersalah. "Tidak apa-apa Ly, makan malam bisa kita lakukan besok. Aku pulang dulu ya." Vano melambaikan tangannya dan menginjak pedal gas mobilnya. Lilyan membalas lambaian tangan itu dengan senyuman tipis. Dia masih berdiri kaku di tepi jalan. Pintu rumahnya masih tertutup rapat. Pertanda ibunya belum tahu kalau ia sudah pulang. Sebuah taksi lewat di depannya. Dengan cepat dia menghentikannya lalu masuk dengan ke dalam. "Tolong antar saya ke gedung Angkasa Mining, Pak. Cepat!" pintanya dengan tergesa.Musik lembut dari band akustik mengalun di pojok ruangan. Lampu-lampu gantung berwarna keemasan menciptakan nuansa hangat di vila yang dipenuhi tawa dan percakapan ringan. Meski disebut “reuni kampus”, suasananya lebih seperti pesta eksklusif bagi kalangan terbatas. Sepertinya hanya teman-teman dekat Rega saja yang hadir di acara itu. Lilyan duduk di salah satu meja, sementara Rega berbincang dengan beberapa pria di sisi lain ruangan. Ia menatap gelas jus di tangannya, berusaha menenangkan diri dari rasa canggung yang masih menghantuinya. “Sendirian, ya?” Suara lembut seorang wanita memecah lamunannya.Lilyan mendongak. Di hadapannya berdiri dua wanita cantik dengan senyum ramah. Yang satu berambut pendek bergelombang, yang lain berambut panjang dan mengenakan gaun satin berwarna gading.“Boleh duduk?” tanya yang berambut pendek.“Oh, tentu,” jawab Lilyan cepat, memberi isyarat agar mereka duduk.“Aku Mira,” ucap si rambut pendek memperkenalkan diri. “Dan ini Livia. Kami teman kuli
Taksi berhenti di depan gedung Angkasa Mining. Suasana kantor sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa security yang berjaga. "Bu Lilyan, apa ada yang ketinggalan?" tanya security sebelum mengizinkan Lilyan untuk masuk. "Iya Pak. Ada barang saya yang tertinggal di dalam." Lilyan melangkah masuk. Ia langsung menuju ke ruangan Rega yang tampak masih menyala terang. Pintu ruangan terbuka dan di dalam ruangan Rega sudah menunggunya. Ia duduk di kursinya, dengan kemeja hitam yang lengannya tergulung, wajah dingin tanpa ekspresi. Di tangan kirinya, ponsel yang tadi mengirimkan mimpi buruk itu tergenggam erat. “Cepat juga kau datang,” ucapnya datar dengan senyuman tipis mengembang di bibirnya. Lilyan menatapnya tajam, napasnya naik turun dengan cepat. Ada kilatan amarah di sorot matanya. "Kenapa kau melakukan ini biasanya padaku Rega!" Hilang sudah rasa hormat Lilyan pada atasannya itu. Berganti dengan amarah yang meledak-ledak. "Tenang Lilyan, aku hanya ingin kau menema
“Cantik banget, Mbak Lilyan,” puji penjahit butik dengan senyum ramah saat sore itu LilyN mencoba memakai gaun pengantin yang pesan beberapa bulan lalu. Lilyan menatap pantulan dirinya di cermin besar di depannya. Gaun itu memang indah, lembut, berkilau, dan sempurna untuk seorang pengantin. Tapi di balik kilau kain satin dan renda putih itu, hatinya terasa hancur. Kini ia tak bisa lagi memberikan kesuciannya pada Vano seperti yang ia janjikan dulu pada pria itu. Kesuciannya telah direnggut oleh Rega, saudara angkat Vano sendiri. Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat. Vano melingkarkan tangannya pada perut rata calon istrinya itu. "Kau akan jadi pengantin wanita paling cantik, Ly. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari bahagia kita tiba. Kau akan jadi milikku seutuhnya." Vano mempererat pelukannya. Tak peduli pada sang pramuniaga yang masih berdiri tak jauh dari sana. Lilyan menegakkan bahunya sedikit, mencoba tersenyum melalui bayangan wajahnya di cermin. "Ga
Rega tersenyum tipis, matanya tertuju pada wajah Lilyan yang merona merah. "Aku bisa memberikan apapun yang kau mau jika kau mau melepaskan Vano dan menjadi kekasihku Ly. " Goda Rega lagi. Lilyan memejamkan matanya sesaat. Siapa yang tidak tertarik dengan pria setampan Rega. Spec Rega jauh melebihi Vano. Namun dia bukan wanita yang silau akan semua itu. Dia sudah bertunangan dengan Vano dan apa jadinya jika ia malah berselingkuh dengan Rega. "Pak Rega tolong hentikan. Sekali lagi saya bilang, saya tidak mungkin mengkhianati Vano dan kami akan menikah," tegas Lilyan. "Tapi jangan lupa Ly, kita sudah menghabiskan malam bersama dan itu akan menjadi kenangan tak terlupakan di antara kita." Tangan Rega terangkat dan dengan lembut menyentuh pipi kemerahan Lilyan. DEG. Jantung Lilyan berdebar kencang. Seluruh tubuhnya meremang. Lilyan tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Sebelumnya dia tidak merasakan apapun tapi kenapa sekarang... "Cukup Pak. Jangan pernah sentu
Suara mesin mobil sport itu berhenti di halaman luas rumah keluarga Angkasa. Rega turun dengan langkah mantap, jas kerjanya masih rapi, wajahnya tetap dingin dan tanpa senyum. Rumah besar yang dulu terasa seperti istana, kini baginya hanya bangunan yang dingin tanpa kehangatan yang pernah ia rasakan ketika ibunya masih hidup. Dari arah ruang makan, terdengar suara lembut yang memanggilnya. Tanpa menoleh ia tahu siapa wanita yang memanggilnya itu. Dia adalah Fatma. Ibu tiri Rega sekaligus ibu kandung Vano. Ayahnya, Pak Hartawan menikah lagi setelah ibunya meninggal. Dan sampai detik ini ia tidak pernah menganggap Fatma ibunya. “Rega... kau sudah pulang?” Bu Fatma, wanita paruh baya berwajah cantik yang masih terlihat muda di usianya segera berdiri menyambut kedatangan Rega. Sementara Pak Hartawan sedang minum air putih miliknya. "Kebetulan kau datang, ayo kita makan bersama," ajak Bu Fatma antusias, tangannya melambai ke arah Rega yang masih berdiri acuh. “Papa sudah lam
“Surat Perintah – Penunjukan Sekretaris Pribadi CEO”. Lilyan menahan napas saat membaca surat perintah tersebut. Ia resmi diangkat menjadi sekretaris pribadi Rega. Hatinya berdebar. Ini berarti ia akan lebih sering berinteraksi dengan Rega, bahkan tiap hari. "Ada apa Ly, apa isi surat itu?" suara Vano terdengar tegang. Matanya menatap surat yang ada di tangan Lilyan. "Pak Rega mengangkatku jadi sekretaris pribadinya," jawab Lilyan dengan tegang. “Apa maksudnya? Kamu jadi sekretaris pribadi Rega?!” Lilyan menoleh, gugup. “Ya, sayang., aku juga tidak tahu kenapa Pak Rega memilihku." "Aku tidak terima Ly... Bagaimanapun juga kau adalah sekretarisku, Rega tidak bisa seenaknya saja mengambil sekretarisku!" Vano menahan geram. Dia berdiri dan melangkah keluar dari dalam ruangan Lilyan. "Mau kemana, Mas?" Lilyan berteriak pelan namun Vano tidak menggubrisnya. Lelaki itu berjalan cepat menuju ruangan Rega. BRAAKK! Dengan penuh amarah Vano membuka pintu, Namun sepertiny







