* “Aku diviralin orang? Kenapa?” tanyaku langsung mengambil ponsel Dini.Aku melihat videoku sedang memarahi Tina yang hamil besar itu. Dari sudut pandang ini tentu orang akan melihat bahwa akulah yang salah.“Kok bisa cepat banget, Din. Ini bagaimana?” Aku panik.“Aku diviralin orang? Kenapa?” tanyaku madoh bingung. Langsung kuambil ponsel Dini.Kulihat video aku yang sedang memarahi Tina yang hamil besar itu. Dari sudut pandang ini tentu orang akan melihat bahwa akulah yang salah.“Kok bisa cepat banget, Din. Ini bagaimana?” aku bertambah panik.Apalagi melihat caption di bawah vt yang diunggah itu dengan tulisan, [Geram melihat pelakor ini memarahi wanita yang sedang hamil besar. Tak tega melihat wanita itu menggandeng putranya sambil dimaki-maki]kemudia melihat komentar-komentarnya yang penuh hujatan, mentalku langsung terserang. “Eh? Kok malah aku yang terlihat maki-maki, ya, Din? Sungguh, kejadiannya enggak begitu, kok!” tukasku membela diri.Sebagai orang yang tahu bagaiman
Aku melengos menyembunyikan rasa tak percayaku.Kenapa dunia ini sempit sekali?Waktu itu bertemu dengan Miranda, sekarang malah bertemu kakak iparnya yang tak kalah berlidah tajam darinya.“Aku tadi hanya membantunya, lho!” tukasku.“Dasar jiwa miskin. Apa hanya karena sekarang suamimu bukan lagi bos kau bahkan mau memungut kentang goreg milik anak kecil? Kasihan sekali dirimu!”Masih kutahan agar telingaku tebal dan tak perlu membalikkan ucapannya.Tapi dia terus mencecarku. “Kalau suamimu pengangguran, datang pada suamiku dan mintalah pekerjaan padanya. Jangan berbuat memalukan seperti tadi.""Dan asal kamu tahu, kehidupan suamimu hancur juga karena kehadiranmu dalam hidupnya. Coba kalau kau tidak jadi pelacurnya, Bian dan Miranda pasti sudah hidup bahagia sekarang.”Aku tak bisa lagi diam. Kata pelacur yang diucapkannya sungguh membuatku tidak terima.Kuhampiri dia dan kutandaskan, “Mau aku miskin atau tidak, bukan juga menjadi hakmu mengomentari hidup seseorang. Aku miskin jug
*Aku resah, takut akan hamil lagi karena Bian membiarkan benihnya masuk ke rahimku.Ingat dulu saat aku menolaknya yang tak pakai pengaman, sepertinya setelah itu aku hamil.Jadi hubungan kami yang seminggu lalu itu, mungkin saja kan benihnya sukses menembus sel telurku. Apalagi Bian yang seheboh itu.Karenanya pagi ini aku janji bertemu dokter kandungan untuk berkonsultasi. Memastikan saja hubungan seminggu yang lalu itu saat ini sudah berkembang menjadi janin atau tidak. Dokter pasti bisa mendeteksinya.“Kalau jadi terus mau apa? Orang ada suaminya juga!” Bian bergumam karena aku yang terlalu serius memikirkannya.Bian masih bersedia mengantarkanku. Padahal seminggu ini aku menghukumnya dan tak mau tidur seranjang dengannya.Biar saja! Siapa suruh ceroboh begitu?Tidak kasihan apa dia padaku yang baru tiga bulan lalu melahirkan? Sekarang mau dihamili lagi.Lagi pula, Vier juga masih bayi. Baru 3 bulan dan masih butuh banyak kasih sayang. Kasihan kalau usia segitu aku harus hami
“Mas, tirai blackoutnya jangan dibuka, lampunya juga jangan dinyalakan, ya?” Kusampaikan itu karena aku masih insecure kalau Bian lihat body ku yang membengkak ini.Pria itu tak mendengarku. Malahan menggendongku dan mendudukanku di meja lalu kami berciuman mesra.Tangannya sudah dengan terampil melepas bajuku. Kurasakan punggungku yang dingin dan baru kusadari ternyata aku sudah ditelanjangi Bian.Dengan cepat Bian menguasaiku. Aku tak lagi memikirkan bagaimana bentukku dan bagaimana pendapat Bian tentangku. Sentuhan demi sentuhan itu melenakanku. Menarik kembali kerinduan akan gelora cinta selama ini yang selalu meletup-letup di atas ranjang kami.Ketika hasrat kami sudah mulai tak tertahan lagi, Bian menggendongku untuk berpindah ke tempat tidur. Dengan hati-hati Bian merebahkan tubuhku di tempat itu.Mungkin dia hanya ingin aku nyaman jadi memilih penyatuan kami dengan gaya konvensional ini. Aku di bawah dan dia di atas yang mendominasi.Perlakuannya lembut dan penuh hati-ha
*“Jangan hiraukan, Mel. Kau sudah tahu bahwa tujuan wanita itu memang ingin menghancurkan mentalmu. Hadapi!” gumamku sendiri dalam hati sembari melirik Miranda yang sok cantik itu.Menyadari tatapanku, wanita itu melakukan hal yang sama sembari tersenyum meledek. “Kenapa? Kau marah karena aku lebih cantik dan seksi darimu, ya? Hhg, buta Bian itu. Membuangku seperti sampah dan malah memungut wanita gembrot sepertimu.”“Oh. Kau mengakui dirimu seperti sampah?” Begitu ada kesempatan untuk meledeknya balik, kuserobot saja agar mulut wanita itu terhenti dari dosa."Apa katamu?" Miranda terlihat tak terima.“Kau memang sampah, Mir. Bahkan lebih dari itu. Semua drama dan kelakuanmu walau kau sembunyikan serapat mungkin pada ahirnya akan terungkap. Istilahnya sebaik-baiknya kau menyembunyikan bangkai, akan tercium juga baunya.”Miranda hendak menyela. Tapi aku langsung menyahut lagi, “Kalau kau pikir dengan penampilanku ini Bian akan berpaling dariku, kau salah!" "Aku begini karena aku me
*Hari-hari berlalu dengan tenang bahkan setelah pelaksanaan Aqiqoh Vier. Semua keluarga sudah kembali ke kampung halaman kami di Magetan. Rumah mulai sepi. Bian kembali menempatkan Dini untuk membantuku. Ada juga ART baru agar aku tidak repot-repot mengurus rumah dan yang lain. Aku hanya totally mengurus Vier.Untuk urusan bayiku aku memang tidak mau menggunakan jasa pengasuh dulu. Biar kunikmati hari-hari pertamanya menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh kasih sayang dariku. Kunikmati setiap lelah dan letih merawat bayi yang kini bertambah gemoy saja itu dengan senang hati. Vier sama sekali tak merepotkan. Dia bayi yang manis dan lucu. Justru papanya yang merepotkan karena sering mengusik bayi manisku yang bobok anteng itu, kalau dia baru pulang dari urusan di luar dan ingin bermain dengan Vier.“Baru tidur dia, Sayang.” kuberitahu itu agar Bian tidak mengusik Vier.Bian tak mengganggunya lagi. Hanya menepuk bokong bayi kami karena tidurnya miring dan itu sungguh men