*“Farah bilang mau menjual anakku kalau aku tidak menyuruh Bian menikah dengannya.” Dini yang mendengar itu hanya tertawa kejut. “Jangan terpengaruh, Bu. Dia hanya mengancam Bu Melati. Lebih baik percayakan saja pada Pak Bian.”Aku yang tak bisa tenang tak bisa begitu saja mengiyakan saran Dini. Bagaimana kalau wanita itu nekat melakukannya?“Dengarkan saya, Bu. Pak Bian sudah dalam perjalanan ke rumah Farah untuk mengambil Vier. Saya yakin Pak Bian dan Paman Pomo pasti bisa mengatasi semua ini. Jadi jangan hiraukan wanita itu.”Saat kucoba membuat otakku berpikir yang posistif, voici note itu kuterima.[“Mama, boleh tan ante Falah jadi mamatu?”] itu suara Vier. Wanita itu pasti yang mengajarinya sementara anak sekecil itu tidak paham banyak hal.Dan di voice note berikutnya Vier terdengar menangis. [“No ante, jangan jual Vil. Vil mau jadi anak ante saja.”]Lebih gila lagi Farah kembali mengirim pesan suara Vier yang kini meraung ketakutan. [Tidak mau, Ante. Tidak mau. Vil takut
*Pria itu bilang hanya takut terseret-seret dimintai keterangan ke kantor polisi kalau mengaku tahu keberadaan Vier. Apalagi kasusnya penculikan.“Tidak akan kok, Pak. Santai saja! Terima kasih infonya,” ujar Dini menyahut karena aku sudah tak sabar menghubungi Bian setelah mengetahui informasi yang penting ini.Panggilanku segera diangkat Bian.Tanpa menunggunya menyahut, aku langsung mengatakan, “Mas, Farah yang membawa Vier.”Herannya Bian hanya mengiyakan saja.“Iya, Sayang. Ini aku dan Pomo sedang mengusahakan menghubunginya dan Miranda.” Kudengar keterangannya.“Mas? Kok aku tidak diberitahu sejak tadi?” Aku kesal.Bian selalu begitu, kenapa tidak memberitahuku kalau sudah tahu bahwa Vier dibawa Farah? Padahal aku sudah seperti orang gila mencari-cari Vier. Takut saja ada orang jahat yang mau menculik dan memperdagangkan anakku.“Aku maunya kamu istirahat di rumah, Sayang. Ini juga sudah usahakan untuk mengambil Vier, kok. Jangan kuatir Vier akan kembali dengan selamat,” ujar
* Bian langsung kuhubungi dengan panik karena Andik dan Dini tidak berhasil menemukan Vier di sekitar restoran. Dia datang bersama Pomo yang bergerak cepat meminta rekaman CCTV restoran. Aku sudah lemas saja. Dini mencoba menenangkanku. Dia juga tak lebih sedih dan cemas dariku. Bahkan beberapa kali meminta maaf padaku karena meninggalkan Vier. “Maaf, Bu. Maaf. Tadi saya sudah nitip Vier ke Andik. Ya Allah, kamu gimana sih, Ndik?” Dini malah memarahi Andik. “Vier tadi membuntutimu masuk. Aku pikir dia sudah bersamamu.” Andik menjelaskan miss komunikasi mereka hingga membuatnya lengah. “Makanya kalau apa-apa itu tanya dulu! Kamu selalu begitu, Ndik.” Dini masih memarahi Andik. Pria itu hanya menunduk saja karena tak mau membuatku semakin sedih dan kecewa. Bian terlihat datang menghampiri. Aku langsung bangkit padanya. “Gimana, Mas?” “Kau pulanglah dulu, biar aku dan Pomo yang mengurusnya,” ujarnya berusaha terlihat tenang di depanku. Tapi aku tahu, tatapan matanya itu mengisya
*Didampingi Bian aku kekantor polisi melakukan pelaporan untuk Farah Dan Miranda yang sudah menjebakku dan hampir membuat reputasiku hancur.Dan ini adalah hari keduaku dimintai keterangan. Aku juga bersama Bu Margareth pengacara yang disewa Bian untukku.Sebagai pengacara yang menangani banyak kasus sebelum ini, Bu Margareth menyampaikan bahwa Miranda sebenarnya sudah berkali-kali dilaporkan orang atas banyak kasus. Diantaranya investasi bodong, penggelapan aset, juga kasus perselingkuhan rumah tangga.Hanya saja laporan-laporan mereka tak begitu ditanggapi karena kurangnya bukti juga karena issu Miranda yang berani memberikan kompensasi pada petugas penyidik. “Mas, parah banget mantan istrimu, Mas!” kusenggol lengan Bian setelah mendengar kasus-kasus Miranda. Aku bahkan tak menyangka dia sebegitunya.“Mas Bain tidak tahu hal ini? Dia juga dilaporkan kasus perselingkuhan, lho! Sama Pak Maryadi yang sudah kakek-kakek itu?” aku hampir tak percaya tadi sempat diberitahu Bu Margaret
Kami sudah menyelesaikan satu babak panas di dalam kamar. Sekarang Bian sedang memandikanku di bathtub sembari menikmati berendam di air hangat berdua.Tak ada percakapan yang terkesan formalitas setelah seminggu ini kami diterpa kesalahpahaman. Hanya decitan ciuman yang tercipta dari kedua bibir kami yang saling mengulum sebagai komunikasi cinta kami.Aku tahu hasratnya kembali bangkit, tapi kutahan dengan alasan higienis. Ada janin yang kini bercokol di rahimku.“Aku sedang hamil, Mas.” kuingatkan itu agar Bian memaklumiku kenapa tidak mau melakukannya di bathtub.“Oh, iya. Maaf, aku lupa.” Bian membelai kepalaku dan lagi-lagi menciumi pipiku penuh sayang. Dia bahagia sekali mengetahui aku hamil lagi.“Berapa usianya?” tanyanya.“Baru 6 minggu, Mas.” kutarik telapak tangannya ke kulit perutku. Di dalam sini ada benihnya yang sudah berhasil menembus sel telurku.“Sudah ada cowok, yang ini cewek, ya? Dia pasti cantik sepertimu,” ocehnya menginginkan anak perempuan.“Mana aku tahu, Ma
*“Banci kamu, Bian! Kenapa kau malah melaporkanku ke polisi?” tanya wanita itu tanpa basa-basi saat Bian menemuinya.“Kalau tidak ada alasan mana mungkin aku melaporkanmu ke polisi?”Kulihat dan kudengar dari jauh Bian masih menjaga nada suaranya walau mantan istrinya itu sudah teriak-teriak.Sejak dulu Miranda memang tak pernah berubah. dan herannya Bian masih juga terlihat sabar menghadapinya. “Pasti gundik itu yang ngadu bukan-bukan ke kamu, kan?”“Tidak bisakah kau menjaga ucapanmu?”“Tak perlulah kau memintaku berkata yang manis pada wanita munafik seperti istrimu itu. suami hasil merampas saja bangga dia!” Miranda tak berhenti ngomel-ngomel. Aku yang jadi tak sabaran. Suamiku itu pasti tak bisa melawan mantan istrinya itu. bukannya tidak bisa, tapi Bian memang begitu orangnya. Tidak mau kasar pada wanita tanpa alasan yang urgent. Jadi kudatangi saja mereka. Untungnya Bian tak keberatan melihatku datang.“Hhg. Keluar juga kamu?!” desisnya.“Kau menungguku keluar, ya?” kul