“Miranda?” gumam Bian yang langsung mengambil benda pipih itu sembari memperhatikan layarnya.Pria itu segera membuat jarak dengan tubuhku agar bisa mengambil langkah menjauh untuk mengangkat panggilan istrinya itu.Aku menghela. Bian langsung bersikap dingin padaku hanya karena panggilan itu. Rasa terabaikan mulai mengusik perasaanku.Namun aku masih berusaha mengendalikan hatiku. Sangat tidak bijak mencemburui istri sah Bian yang mungkin lebih dihormatinya dari sekedar diriku yang hanya istri cadangan sebagai pemuas hasratnya saja.Aku memungut bajuku yang terserak di lantai dan segera memakainya lagi. Saat hendak balik ke kamar masih sempat kudengar obrolan Bian bersama istrinya itu.“Iya, ini juga aku akan pulang. Turuti perawatmu. Tidak usah menungguku pulang untuk makan agar kau bisa meminum obatmu.”Kata-kata yang penuh perhatian itu membuatku mulai merasa cemburu. Bian sangat perhatian dan cinta pada istrinya itu.“Mel?” panggil Bian menggugah lamunanku. Pria itu menghampiri
Aku memutuskan langsung balik saja karena tidak mau sampai keduluan Bian datang dan harus menungguku. Aku dan temanku itu sudah bertukar kontak sebelum kami berpisah. Jadi biar nanti kami bisa lanjut mengobrol via ponsel saja.Untungnya saat tiba di rumah, Bian bilang masih diperjalanan. Aku jadi punya sedikit waktu untuk mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Tidak mau saja waktu bertemu kami yang tidak lama membuat Bian merasa sama sekali tidak memiliki sebuah kesan. Lagi pula aku sedang sangat merindukannya sejak kemarin.Begitu kudengar suara mobil masuk ke halaman rumah, aku mengintip dari jendela. Itu mobil Bian. Hatiku senang sekali. Jantungku berdegup kencang sudah macam remaja yang akan bertemu pujaan hatinya. Hanya saja sebelum masuk tadi, kulihat Dini dan Andik mengobrol dengannya. Dan setelah itu mereka berdua malah keluar dari halaman dengan mobil.“Mas Bian?” sapaku menuruni anak tangga sedikit tergesa untuk menyambutnya yang baru menutup pintu rumah.Bian tersenyum
Bian tersenyum dan merengkuh tubuh polosku dalam pelukannya setelah olahraga di atas ranjang yang menggelora itu. Tanpa sebuah kata yang terucap dia hanya mengecup puncak kepalaku.Mungkin dia tidak bisa menjanjikan apapun padaku. Posisinya pasti serba sulit. Karenanya aku mencoba untuk memahaminya.“Tetaplah manis dan patuh. Tidak perlu mencoba mengirim pesan atau menelponku. Tunggu saja kedatanganku. Oke?” ujar Bian membingkai wajahku saat dia pamit pagi itu.Aku mengangguk. Kudengarkan saja apa yang dia perintahkan. Tidak mau kehilangan sedikit perhatiannya yang kini terbagi dengan istri pertamanya hanya karena aku tidak patuh pada perintahnya.“Tapi Mas Bian akan sering datang, kan?” tanyaku sedikit manja.Bian pun tak memberi sebuah kepastian. Hanya mencium bibirku dan tersenyum tipis. Mengusap rambut kepalaku dan segera pergi tanpa menjawabnya.Kupandangi mobilnya menjauh dengan dada yang sesak. Namun segera teralihkan karena Dini menggugahnya.“Bu, kita jadi keluar hari in
Napas kami masih memburu setelah satu babak yang panjang telah selesai dengan begitu manis. Bian rebah di sampingku namun tak melepas tatapannya padaku. jemarinya mengusap peluh yang masih mengkilat di dahiku sebagai reaksi kepuasan kegiatan barusan.Ada binar resah yang terbersit di matanya.“Teringat istri Mas Bian?” tanyaku menduga.Yang kutahu sejak awal, pria ini sangat mencintai istrinya itu. Apa setelah istrinya tersadar dari komanya dia mulai merasa bersalah masih melakukan kegiatan ranjangnya bersamaku?“Bagaimana kabar istri mas itu?” tanyaku lagi. “Miranda. Namanya Miranda, Mel.” Bian ingin aku memanggilnya Miranda agar tidak selalu menyebut sebagai istrinya saat pembicaraan. Mungkin karena saat ini aku juga berstatus sebagai istrinya.“Iya, Mas. Bagaimana Miranda?” kuulangai pertanyaanku dengan mengoreksi panggilanku.“Tidak ada masalah. Dia harus menjalani beberapa terapi untuk memulihkan kondisinya pasca tiga tahun tubunya hanya tertidur. Mudah-mudahan semua berjalan
“Om dan tante akan balik, kamu baik-baik di sini, Mel.” Om Damar berpamitan pagi itu. Aku tidak mungkin menahan mereka lebih lama karena di kampung juga ada yang harus dikerjakan.Aku menyalimi mereka dan memeluk Tante Aini.Wanita itu tidak melepaskan pelukanku untuk mengatakan sesuatu padaku, “Bertahanlah di sini. Kami mendukungmu bersama Bian.”Kata-kata Tante Aini mungkin efek sebuah kekecewaannya atas sikap keluarga Miranda semalam. Namun, mendapat dukungan dari keluarga Bian, aku menjadi besar kepala. Ada sebuah dorongan untuk selalu membuat Bian tidak akan melepaskanku.Kulambaikan tangan pada mobil yang melaju pergi itu. Saat berbalik kembali ke dalam, kulihat Andik sudah menyodorkan ponselnya.“Pak Bian menelpon, Bu,” tukasnya.Tadinya mau heran, mengapa Bian menelponku ke pons
Senyumnya terkembang langsung merangkul Tante Aini.“Maaf, menunggu lama ya, Jeng Aini?” sapanya ramah pada kami. Kulihat mereka tampak akrab dan saling menanyakan kabar. Bahkan saling bertangisan haru mengingat Miranda yang sudah bangun dari komanya.Padahal tadi Tante Aini sempat memprotes dan sebal kalau harus datang ke tempat ini. Tidak tahunya begitu ketemu saling berangkulan dan bertangisan.Oh. Harus banget ya seperti itu sekedar formalitas menjalin silaturrahmi?“Ini siapa? Cantik sekali?” wanita itu tiba-tiba menangkap keberadaanku di belakang Om Damar dan Tante Aini.“Oh, dia keponakan Aini. Kebetulan mau kerja juga di Surabaya jadi sekalian kami ajak barengan.” Seperti rencananya Om Damar mengenalkanku sebagai keponakan istrinya.&ldquo