Napas kami masih memburu setelah satu babak yang panjang telah selesai dengan begitu manis. Bian rebah di sampingku namun tak melepas tatapannya padaku. jemarinya mengusap peluh yang masih mengkilat di dahiku sebagai reaksi kepuasan kegiatan barusan.Ada binar resah yang terbersit di matanya.“Teringat istri Mas Bian?” tanyaku menduga.Yang kutahu sejak awal, pria ini sangat mencintai istrinya itu. Apa setelah istrinya tersadar dari komanya dia mulai merasa bersalah masih melakukan kegiatan ranjangnya bersamaku?“Bagaimana kabar istri mas itu?” tanyaku lagi. “Miranda. Namanya Miranda, Mel.” Bian ingin aku memanggilnya Miranda agar tidak selalu menyebut sebagai istrinya saat pembicaraan. Mungkin karena saat ini aku juga berstatus sebagai istrinya.“Iya, Mas. Bagaimana Miranda?” kuulangai pertanyaanku dengan mengoreksi panggilanku.“Tidak ada masalah. Dia harus menjalani beberapa terapi untuk memulihkan kondisinya pasca tiga tahun tubunya hanya tertidur. Mudah-mudahan semua berjalan
“Om dan tante akan balik, kamu baik-baik di sini, Mel.” Om Damar berpamitan pagi itu. Aku tidak mungkin menahan mereka lebih lama karena di kampung juga ada yang harus dikerjakan.Aku menyalimi mereka dan memeluk Tante Aini.Wanita itu tidak melepaskan pelukanku untuk mengatakan sesuatu padaku, “Bertahanlah di sini. Kami mendukungmu bersama Bian.”Kata-kata Tante Aini mungkin efek sebuah kekecewaannya atas sikap keluarga Miranda semalam. Namun, mendapat dukungan dari keluarga Bian, aku menjadi besar kepala. Ada sebuah dorongan untuk selalu membuat Bian tidak akan melepaskanku.Kulambaikan tangan pada mobil yang melaju pergi itu. Saat berbalik kembali ke dalam, kulihat Andik sudah menyodorkan ponselnya.“Pak Bian menelpon, Bu,” tukasnya.Tadinya mau heran, mengapa Bian menelponku ke pons
Senyumnya terkembang langsung merangkul Tante Aini.“Maaf, menunggu lama ya, Jeng Aini?” sapanya ramah pada kami. Kulihat mereka tampak akrab dan saling menanyakan kabar. Bahkan saling bertangisan haru mengingat Miranda yang sudah bangun dari komanya.Padahal tadi Tante Aini sempat memprotes dan sebal kalau harus datang ke tempat ini. Tidak tahunya begitu ketemu saling berangkulan dan bertangisan.Oh. Harus banget ya seperti itu sekedar formalitas menjalin silaturrahmi?“Ini siapa? Cantik sekali?” wanita itu tiba-tiba menangkap keberadaanku di belakang Om Damar dan Tante Aini.“Oh, dia keponakan Aini. Kebetulan mau kerja juga di Surabaya jadi sekalian kami ajak barengan.” Seperti rencananya Om Damar mengenalkanku sebagai keponakan istrinya.&ldquo
“Sudah sampai, Mel. Kita mampir ke rumah saudara tante dulu, ya?” Bu Aini membuka pintu mobil dan keluar.Aku mengikutinya. Kulihat rumah besar di depan mata.“Ini rumah saudara Bu Aini?” ujarku sembari membantunya membawakan beberapa barang yang dibawanya ke dalam rumah.“Hehe, dulu, sih. Tapi sudah dibeli sama Bian. Dia butuh uang untuk sekolah anaknya ke luar negri. Jadi minta tolong Om kamu yang jualin ke Bian.” Bu Aini mengoreksi uacapannya.“Sederhananya ini rumah Bian sekarang.” Om Damar menyahut.Katika Bu Aini mengantarku ke sebuah kamar yang luas dan mewah aku jadi ingin bertanya, “Bu Aini?”“Jangan bu dong, Mel. Tadi saja kamu panggil suamiku om, kenapa manggil aku bu?” protesnya.Aku tersenyum dan meminta maaf, “Baik, Ta
Karena suntuk di rumah, sore itu aku pinjam motor bude untuk keliling kampung. Di pinggiran kampung kami ada sungai jernih dan indah. Rencanaku mau ke sana untk menghibur diri. Tak tahunya di tengah perjalanan ada sebuah mobil di belakangku membunyikan klakson. Sepertinya klakson itu untukku.Kutepikan motor di pinggir jalan dan menunggu mobil itu mendekat. Sedikit sabar kutunggu jendela kaca itu terbuka.Ternyata pria yang di dalam mobil itu adalah Pak Damar. Aku ingat, Bian pernah bilang pria ini adalah pamannya.“Selamat sore, Pak Damar?” sapaku sopan pada pria itu.“Kau mau ke mana, Melati?” tanyanya sangat bersahaja. Pria ini selalu baik padaku sebelum ini.“Hanya jalan-jalan, Pak. Mau ke sungai,” jawabku.“Ikut om ke rumah sebentar, ya. Biar motormu dibawa Jarko saja,” ujar Pak Damar yang kini memanggilkan dirinya ‘om’ untukku.Pria yang duduk di samping Pak Damar keluar untuk mengambil alih motor yang kupakai. Aku juga tidak enak kalau menolak ajakan Pak Damar. Karenanya aku
Kuambil ponsel dan memeriksa layarnya. Barangkali ada pesan dari Bian karena tadi dia langsung balik ke Surabaya tanpa berpamitan denganku.Nyatanya tak ada notif pesan atau pun panggilan. Aku jadi merana.Istri Bian sudah sadar, tentu dia sibuk dengannya.Lalu melihat diriku di depan cermin, secara tak terduga aku bergumam mengasihani diriku.“Apa begini ya rasanya menjadi istri ke dua?” Hanya saja pantulan bayanganku di cermin itu seolah meledek apa yang barusan kuucapkan.“Ck! Ke-GR-an banget sih kamu sok menganggap diri sebagai istri Bian. Siapa elu, Mel? Kamu udah dibayar 1 Milyar. Udah cukup jangan nglunjak!”Kesal sendiri, aku pun melompat ke tempat tidur dan menyelimuti tubuhku agar tidak terpapar dinginnya malam di Sarangan.Sedih lagi karena Bian di sana bersama istrinya dan aku sendiri di sini kedinginan.“Ugh, kenapa aku tidak bisa melepas pikiran lebaiku ini?” teriakku membuang selimut sembari menjambak rambutku sendiri. Sungguh sangat tidak dewasa sekali. Usiaku me