Selamat Membaca 💕💕💕
*Ibu kuminta langsung masuk ketika proses pemindahan ruangan Melati sudah selesai. Takut saja kalau dia bingung dan mencari-cari kami.Sementara itu aku menahan dokter untuk menanyakan kondisi istriku itu."Kami sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh pada nyonya. Sepanjang ini semua baik-baik saja. Hanya saja masih butuh istirahat total selama seminggu atau dua minggu kedepan untuk memulihkan dirinya sekaligus kita observasi lebih lanjut adakah hal yang sekiranya masih butuh penanganan.” Dokter itu menjelaskan kondisi Melati.Aku masih belum puas, dia bilang semua baik-baik saja tapi masih perlu observasi lagi?Aku butuh kepastian kondisi istriku. Kalau memang ada yang tidak baik, aku bisa langsung membawanya ke singapura atau ke tempat lain untuk menyembuhkannya. Untuk istriku kulakukan apapun sebisaku. “Tenanglah, Pak. Saya mengerti betul Anda sangat mencintai istri bapak. Kita berdoa saja semoga sudah tidak ada apa-apa lagi. Setelah pemeriksaan tadi semuanya baik, kok.”Aku
*“Vier sudah harum dan tampan, nanti harus pintar ya kalau dibolehin jenguk mama.” Dini yang mengurus anak itu berpesan.“Baik, Ante. Vier tidak nakal lagi, kok,” ujar anak itu sembari menampakkan rasa bahagia karena mau bertemu dengan orang yang sangat dirindukannya.Tiba-tiba Dini menatap Vier dengan heran dan terkejut.“Vier? Coba panggil nama Vier.”“Vier, Vierrrrrrr” anak itu mengulang ucapan pengasuhnya dengan menekankan huruf ‘r’ di akhir. Dia mau menunjukan kalau sudah bisa melafalkan namanya dengan benar dan tidak cadel lagi.“Wah, mama pasti senang dengar Vier bisa sebut namanya dengan benar.”Vier sudah tertawa bangga saja dipuji Dini.Aku yang sejak tadi menikmati kopiku baru berjingkat dan mengajak anak itu ke rumah sakit.“Apa perlu saya ikut, Pak?” tanya Dini.“Tidak perlu, Din. Sudah ada ibu dan Iqdam di sana. Kalau kau tidak repot, pergilah ke rumah Kalisari. Bantu Tante Aini di sana. Barangkali dia butuh bantuan,” ujarku padanya. Tante Aini dan Om Damar seminggu ini
*“Sabar!” Om Damar mengelus pundakku untuk membesarkan hatiku.Dia tahu betul keresahanku. Belum adanya kepastian tentang kondisi Melati sungguh membuatku hampir gila.“Cemas, Om. Takut sekali Melati seperti Miranda dulu,” ujarku lirih dan sangat tak berdaya. Hanya kutampakkan itu di depan pamanku.“Huss. Jangan begitu. Kondisinya lemah karena dia juga sedang berisi. Apalagi baru selesai di kiret. Kita sama-sama berdoa semoga semuanya baik-baik saja.” Om Damar mencoba menguatkanku.Hanya saja rasa cemasku lagi-lagi menguasai ketika aku menghampiri tubuh yang terbaring di ranjang pesakitan itu, yang hingga kini masih tak sadarkan diri.Sudah hampir seminggu ini Melati tak membiarkanku bernapas dengan baik. Apalagi kalau mengingat Vier yang terus-terusan menanyakan kabar mamanya.Kasihan anak itu, belum juga lepas dari rasa traumanya karena peristiwa itu, kini mamanya bahkan belum bisa membuka matanya.“Sayang? Bangun ya. Buka matamu untukku dan Vier.” Kuelus lengannya dengan lembut.N
~POV Fabian~ *Gundukan tanah itu masih memerah dengan tak banyak pelayat yang mengerubunginya.Sebagai penghormatan terakhir pada wanita yang dulu pernah menyulam cerita dalam perjalanan hidupku, kuikuti semua prosesi pemakamannya. Ikut memikul kerandanya bahkan ikut masuk untuk langsung menguburkannya.Ketika pelayat yang tak banyak itu mulai pergi satu persatu, aku masih tinggal demi seorang wanita yang hati dan perasaannya entah sehancur apa.Kuhampiri wanita itu dan kutawarkan untuk mendorong kursi rodanya kembali ke mobil.“Biar saya antar, Ma,” ucapku lembut padanya. Perlahan wajahnya mendongak dan menatapku dengan air mata yang berurai. Mungkin karena mendengarku masih memanggilnya mama untuk seorang mantan mertua yang pernah mengibarkan bendera perang pada mantan menantunya ini, yang kini malah sipaling repot mengurus pemakaman putrinya. “Bian…” tangisnya kembali pecah dan Soraya rebah di pelukanku.“Aku dan Miranda sudah mendapatkan balasan atas perbuatan kami. Maafk
*“Farah bilang mau menjual anakku kalau aku tidak menyuruh Bian menikah dengannya.” Dini yang mendengar itu hanya tertawa kejut. “Jangan terpengaruh, Bu. Dia hanya mengancam Bu Melati. Lebih baik percayakan saja pada Pak Bian.”Aku yang tak bisa tenang tak bisa begitu saja mengiyakan saran Dini. Bagaimana kalau wanita itu nekat melakukannya?“Dengarkan saya, Bu. Pak Bian sudah dalam perjalanan ke rumah Farah untuk mengambil Vier. Saya yakin Pak Bian dan Paman Pomo pasti bisa mengatasi semua ini. Jadi jangan hiraukan wanita itu.”Saat kucoba membuat otakku berpikir yang posistif, voici note itu kuterima.[“Mama, boleh tan ante Falah jadi mamatu?”] itu suara Vier. Wanita itu pasti yang mengajarinya sementara anak sekecil itu tidak paham banyak hal.Dan di voice note berikutnya Vier terdengar menangis. [“No ante, jangan jual Vil. Vil mau jadi anak ante saja.”]Lebih gila lagi Farah kembali mengirim pesan suara Vier yang kini meraung ketakutan. [Tidak mau, Ante. Tidak mau. Vil takut
*Pria itu bilang hanya takut terseret-seret dimintai keterangan ke kantor polisi kalau mengaku tahu keberadaan Vier. Apalagi kasusnya penculikan.“Tidak akan kok, Pak. Santai saja! Terima kasih infonya,” ujar Dini menyahut karena aku sudah tak sabar menghubungi Bian setelah mengetahui informasi yang penting ini.Panggilanku segera diangkat Bian.Tanpa menunggunya menyahut, aku langsung mengatakan, “Mas, Farah yang membawa Vier.”Herannya Bian hanya mengiyakan saja.“Iya, Sayang. Ini aku dan Pomo sedang mengusahakan menghubunginya dan Miranda.” Kudengar keterangannya.“Mas? Kok aku tidak diberitahu sejak tadi?” Aku kesal.Bian selalu begitu, kenapa tidak memberitahuku kalau sudah tahu bahwa Vier dibawa Farah? Padahal aku sudah seperti orang gila mencari-cari Vier. Takut saja ada orang jahat yang mau menculik dan memperdagangkan anakku.“Aku maunya kamu istirahat di rumah, Sayang. Ini juga sudah usahakan untuk mengambil Vier, kok. Jangan kuatir Vier akan kembali dengan selamat,” ujar