Ikuti terus bab-bab selanjutnya yang lebih seru, Kak. Beri dukungan untuk cinta Melati dan Fabian... 💖💖💖
*“Waktu selesai mendatangi siding perceraian dari kantor pengadilan agama, aku merasa tidak nyaman. Perutku terasa keras sekali. Takut kenapa-kenapa, aku mampir untuk periksa. Katanya itu hanya efek aku yang terlalu stres.” Melati tak tega juga melihatku merana dan digantungkan. Jadi, kami menyempatkan mengobrol di sofa agar tidak mengganggu Vier.“Dokter bilangnya tidak boleh berhubungan dulu, nunggu trimester pertama lewat, Mas.” Itulah alasannya kenapa tadi dia masih menolakku.“Oh, yang penting kandunganmu sehat, Sayang,” ujarku, mengelus perut Melati yang masih rata itu. Rasanya tidak bijak jika aku masih memaksanya dengan kondisi begini.Padahal dalam hati aku sungguh kecewa. Hampir sebulan aku tidak mendapat penyaluran, rasanya stres sekali. Sekarang ketika semua sudah jelas dan Melati pun mengisyaratkan kami bisa kembali, justru aku tak bisa menyalurkan hasrat yang terpendam.“Yang penting kita sudah sepakat untuk kembali, kan, Sayang?” Kutandaskan hal itu padanya untuk mengi
*Sudah tenang tadi Melati kupeluk, sudah lega setelah menangis, dan bahkan kuciumi puncak kepalanya—ia pun tak menolak. Aku sudah besar kepala, merasa Melati pasti sudah menerimaku kembali.Jadi, kubelai pipinya lembut sambil menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya, barulah kusampaikan, “Sayang, kita rujuk, ya?”Melatiku menatapku dengan mata bening. Dia menggeleng pelan. Tindakannya itu meruntuhkan seketika rasa senangku akan penerimaannya yang baru kurasakan.“Sayang? Kenapa…” Suaraku hampir tercekat. Setelah semua yang kami lewati, kenapa Melati tidak ingin kembali bersama-sama untuk melanjutkan pernikahan kami?“Mas Bian jahat…” Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Matanya kembali berkaca-kaca.“Apa yang membuatmu berpikir aku jahat, Sayang? Kita sudah saling menjelaskan…”“Vier pernah bertanya padaku, apa Mas Bian sudah tidak mencintaiku dan dia lagi? Dia bilang Mas Bian tega membiarkanku naik taksi sementara malah mengantar Elis dan Laila,” tukasnya, melepaskan satu titik beni
Tidak peduli dia kesal atau marah, aku tetap datang ke apartemen. Bahkan, kemarin aku menginap karena Vier tidak mau aku pergi.Anak itu seolah ingin Mama Papanya kembali bersatu, jadi dia memintaku tidur di kamar bersama-sama. Katanya, kangen tidur dipeluk Mama dan Papanya.“Tidak bisa, Vier Sayang. Papa malam ini ada kerjaan, ya, kan, Pa?” Melati berusaha membujuk sang anak.“Tadi Papa sudah janji tidak akan ke mana-mana. Pokoknya Vier mau Mama dan Papa tidur bareng Vier. Vier kangen dipeluk Mama dan Papa.” Rengeknya.Anak ini cerdas. Sebelum dia memintaku tidur bareng dengannya dan mamanya, Vier sudah lebih dulu menanyakan apakah aku tidak repot, bisa tidak tetap di apartemen bersamanya.Vier bercerita, teman-temannya di sekolah sering membahas Halloween yang jatuh akhir bulan ini. Yang ada di benak Vier, Halloween identik dengan hantu yang menyeramkan. Jadi dia beralasan takut dan memintaku tetap tinggal.“Nanti kita sama-sama berdoa, hantu takut lho kalau ada manusia baca doa?” M
*Di tengah jalan menuju apartemen, Vier menelepon lagi. Anak itu minta dibelikan sesuatu pada mamanya. Melati meminta mampir di minimarket yang sudah dekat apartemen kami.“Biar aku yang belikan,” ujarku padanya, sembari melepas sabuk pengaman.“Memang tahu Vier mau beli apa?” tanyanya, ikut melepas sabuk pengaman.“Ya kan kamu tinggal kasih tahu, Sayang. Memang dia minta apa?”“Enggak usah, Mas. Biar aku saja yang beli. Mas Bian di mobil saja.” Belum sempat aku menjawab, Melati sudah membuka pintu mobil dan keluar. Aku menghela napas, langsung keluar dan mengikutinya masuk ke minimarket itu.Melati tak tahu kalau aku mengikutinya. Saat dia mengambil susu ibu hamil—sebuah pemandangan yang membuat dadaku menghangat—lalu melihatku datang, dia sedikit terkejut.“Kenapa Mas ikut?” katanya buru-buru memasukkan susu itu ke dalam keranjang belanjanya dan ngeloyor pergi.Aku mengambil minuman kaleng dan membuntutinya. Aku harus terlihat punya alasan belanja agar Melati berpikir aku tidak men
*“Mas Bian?” panggilnya, tatapannya lekat ke arahku. Dia mengenaliku.Mau tak mau, kubuka masker dan kacamata. “Astaga, kau cepat sekali mengenaliku, ya?” ujarku pura-pura terkejut.“Emang aku seperti Mas Bian yang tidak pernah mengenaliku? Cara berjalan bahkan helaan napasmu saja aku sudah hafal!” balas Melati, nada sindiran tipisnya terdengar jelas.“Siapa bilang? Buktinya aku mengenalimu di balik cadar itu?” sangkalku cepat.“Hmm, orang tadi di lift lewat begitu saja!” Melati mengingatkanku.“Ya sudah. Kamu mau makan buburnya tidak?” Aku mengalihkan pembicaraan agar kami tidak bertengkar di tengah pasar. Aku tahu Melati sudah sangat ingin menyantap bubur ini, jadi aku mengalah mencari tempat yang nyaman.Dia hanya mengangguk, mungkin saking laparnya. Kuajak dia ke tempat yang agak sepi: sebuah restoran cepat saji. Sekalian aku bisa memesan makanan untuk Vier dan Dini, sembari menunggu ibu hamil ini menyantap Bubur Madura dari cup tinwall-nya.“Kamu ngidam, Sayang?” pura-pura aku be
*Saat pintu lift terbuka, aku bersimpangan dengan seorang wanita bercadar yang menunggu untuk masuk. Langkahku sudah terburu-buru. Aku tak sabar menemui istri dan anakku di unit.Kemarin, Melati sudah mulai membuka suara walau intonasinya masih dingin dan sinis. Hari ini, aku harus mencoba lagi. Pokoknya, aku akan pantang menyerah.Begitu sampai di apartemen, hanya Dini yang kulihat, sedang menemani Vier bermain robot.“Ke mana Melati?” tanyaku pada Dini. Melati tak ada di ruang mana pun.“Baru saja keluar, Pak. Katanya mau cari sesuatu,” Dini memberitahu.Barusan tadi aku bersimpangan dengan wanita bercadar dan memakai topi di lorong. Jangan-jangan… itu dia.“Yang pakai cadar itu?” tanyaku memastikan.“Iya, Pa. Mama bilang biar tidak kepanasan jadi pakai baju besar dan bermasker.” Kali ini Vier yang menyahut, tangannya asyik memainkan robot i-lik-nya. Anak itu pasti sudah menginterogasi mamanya sebelum pergi.Aku mendengus. Wanita itu memang seharusnya diikat saja di ranjang agar ti