Oh. Astaga! Semengerikan itu mertua Bian sampai membakar rumah di Kalisari.Padahal itu adalah rumah keluarga Tante Aini. Tante Aini pernah menceritakannya padaku, mereka menjualnya karena butuh uang dan akan berniat membelinya lagi kalau sudah ada uang.Bian pernah bilang sudah menawari mereka pinjaman saja daripada menjualnya, tapi mereka orang baik dan tidak suka menyusahkan orang lain meski itu masih ada ikatan kerabat. Jadinya rumah itu pun di jual ke Bian.Tante Aini dan keluarganya pasti sedih, rumah penuh kenangan itu kalau sampai habis terbakar.“Sampai berapa persen terbakarnya?” tanya Bian yang tampak kesal itu.“Hanya sekitar 40%, parah di bagian belakang. Tapi bagian depan masih utuh. Untung Dini bisa keluar dan meminta pertolongan.”Ya Allah. Dini masih di dalam rumah itu saat terjadi kebakaran?Aku sungguh terekejut mendengar penuturan itu dari Pomo. Aku menyumpal mulutku agar tak sampai berteriak karena mencemaskan Dini. Kasihan wanita itu. Dia sudah baik padaku sela
Biasanya pria ini menggunakan tenaga kudanya untuk membuat kegiatan ranjang kami begitu menggelora, tapi tidak kali ini. Tahu aku baru sembuh, Bian memperlakukanku dengan lembut dan hati-hati. Dia tak memintaku macam-macam, hanya berbaring saja dan menikmati setiap sentuhannya. “Mendesah saja, jangan ditahan. Aku suka desahanmu,” bisik Bian lirih melihatku menggigit bibir bawahku menahan setiap sentuhannya seperti magic yang membangkitkan gelenyar keindahan hingga di ujung-ujung syarafku. Padahal aku baru mengalami hari yang buruk, tapi mendapat sentuhannya, semuanya yang terjadi tak ada artinya. Apakah pria ini adalah obat dari semua masalahku? Oh, jangan, ya? Aku tidak mau terjerumus terlalu jauh. Cukup menikmati saja dan akan kubungkus menjadi sebuah kenangan jika nanti memang kita harus berpisah. “Kenapa menangis? Apa aku menyakitimu?” Bian memergokiku meneteskan air mata di sela kami bercinta. “Tidak, Mas,” ujarku sembari menggeleng dan mengulas senyum agar tak menyurutkan
Aku kembali seperti di awal hubungan kami dulu yang lebih banyak diam dan menunduk saja ketika Bian mengajakku bicara. Selalu membuat pria ini tak senang hingga mengingatkan, “Jangan menunduk kalau bicara, tatap mataku, Mel?” Aku baru menarik napas panjang dan menghembuskannya. Lalu menatapnya. Aku ingat belum berterima kasih padanya sudah membebaskan adikku. “Mas, terima kasih sudah baik padaku. Terima kasih banyak sudah membebaskan adikku.” Bian tak menyahut. Aku tahu dia bukan tipikal orang yang haus akan pengakuan atau balas jasa walau sekedar ucapan terima kasih. Tapi melihat tatapannya yang kini kembali menghangat, moodku kembali baik. Yang lebih penting adalah aku tahu, Bian ternyata masih peduli padaku. “Lain kali kalau butuh apa-apa jangan minta pria lain, minta saja padaku!” tukas Bian terlihat kesal, padahal tadi pria ini sudah tampak hangat. Diingatkan hal itu tentu saja aku kembali sedih. Dan pria ini malah mencecarku. “Aku sudah memberimu uang, kan? Kau malah meni
~ POV Melati ~“Dimakan buburnya, Bu.”Dini membuatkan bubur dan menyuguhkannya di meja. Dia juga membawakan beberapa baju ganti untukku dan perlengkapan lainnya yang biasa kubutuhkan.“Terima kasih, Din,” ujarku yang masih begitu lemas.Kalau bukan karena aku tahu bahwa adikku hari ini akan dibebaskan, aku mungkin masih terpekur di kamar dan meratapi nasibku.Aku butuh tenaga sekedar bisa menghubungi keluargaku dan mendengar kabar baik dari mereka. “Maaf, Bu. Saya juga baru tahu kalau Paman Pomo sebenarnya yang meminta Bu Melati pulang bukan Pak Bian,” tukas Dini yang menungguiku makan bubur.Dia tampak sedih menceritakannya. Membuatku jadi penasaran. Mengapa malah Pomo yang menyuruhku pulang? Apa Miranda yang memintanya?“Pak Bian ada di Jogja untuk sebuah proyek bisnisnya. Saat itu Bu Miranda dan Nyonya Soraya sudah mengendus tentang rumah di Kalisari itu. Paman Pomo mendapat bocoran bahwa mereka akan menggeledah rumah itu dan mencari bukti kalau Pak Bian berselingkuh. Karena itu
Kutepikan mobil setiap ada beberapa orang sekadar bertanya adakah mereka melihat gadis yang memakai coat berwarna hitam?Tapi sudah sekian kali aku bertanya dan jawaban mereka sama. Ini masih dini hari, tak banyak juga orang di sepanjang jalan. Harusnya lebih mudah menemukan Melati kalau memang dia hanya berjalan kaki. Tidak ada kendaraan umum yang beroperasi sampai lewat pukul 12 tengah malam. Kalau pun ada pasti hanya ojek online dan taksi.Tapi, Melati tidak bawa apapun saat keluar tadi. Ponsel dan uang pun tak disentuhnya. Apa mungkin dia memesan taksi atau ojek?Tiba-tiba ada kerumunan di depan sana tak jauh dari tempatku. Aku segera menepikan mobil dan bertanya pada seorang petugas.“Ada wanita yang tertabrak mobil. Sepertinya meninggal.”Deg!Tanpa bisa dijelaskan aku tiba-tiba panik dan
“Pomo, cepat panggil dokter!”aku panik melihat darah menetes dari kepala Melati.Kugendong dia kembali ke tempat tidur dan segera mengambil handuk basah untuk mengusap darah itu.“Kepala nyonya terkena pecahan gelas, jadi darahnya mengucur.” Dokter yang dipanggil Pomo sudah menempel plester di pelipis Melati.Sepertinya Melati ingin menggapai air minum di meja. Tangannya tak sampai, gelasnya pecah dan dia malah terjatuh di lantai dengan kepala yang mengenai pecahan gelas itu.Untung kata dokter yang memeriksanya tadi tidak ada hal yang serius. Melati hanya tergores saja tak sampai ada luka yang parah.“Apa dia akan baik-baik saja?” tanyaku pada dokter itu saat kami sudah keluar dari kamar.Aku benar-benar cemas karena sudah memplonco Melati sebegitunya. Aku tidak akan memaafkan diri