*Setelah kenyang makan dan tuan kecil juga sudah meminta balik, kami pun langsung memutuskan keluar restoran.Namun Vier meminta berhenti di taman bungkul untuk sekedar bermain-main sebentar di sana. Aku tentu tak bisa melepaskan anak itu begitu saja. Jadi kuikuti ke mana dia melangkah.Rasanya sungguh capek sekali.“Sudah. Di awasi saja dari sini. Kamu malah capek nanti!” ujar Bian.“Enggak apa-apa, Mas. Daripada nanti malah Vier lari kemana-mana.”Hingga menjelang sore anak itu baru mau balik.Mas Bian menawarkan untuk mampir ke apartemen saja. Dia punya apartemen yang dekat sini. Aku tentu hanya mengikuti saja. Mana mungkin menyetir sang majikan.Begitu sudah naik ke tempat tidur yang luas sembari menyalakan TV, Vier memintaku tidur di samping kirinya dan papanya di samping kanannya.Awalnya aku terkejut. Tapi ini permintaan Vier. Mas Bian juga pasti tidak mau menolak permintaan anaknya dan aku yang hanya pengasuh—punya kuasa apa menolak?Anak itu pasti lelah, jadi terlihat menga
*“Papa!” Vier langsung berlari menghampiri sang papa tanpa memperdulikan wanita yang kini hanya berdiri di samping Mas Bian.Sedangkan aku menahan diriku cukup di depan pintu saja.Tahu Mas Bian menatapku aku malah melangkah keluar dari ruangan itu saja dan memilih duduk di tempat lain. Dengan perasaan yang aku tidak bisa mengerti. Kenapa aku harus merasa terluka?Mungkin bisa kuartikan, perasaan ini karena rasa kecewaku mengetahui bahwa pria seperti Mas Bian yang bahkan ibu, Iqdam dan mungkin seluruh kampung kami menganggap keponakan seorang Pak Damar yang disegani ternyata pria yang seperti itu.Dia pernah menjilat bibirku, memaksaku berciuman di mobil, dan hampir memperkosaku di kamar mandinya, lalu sekarang aku melihatnya bersama wanita lain di kantornya.Astaga. Sebenarnya pria seperti apa seorang Bian itu?Apa sebenarnya dia seorang maniak yang bersembunyi dari tampang tenangnya itu?Kalau tahu begini, seharusnya sejak kemarin-kemarin aku langsung meminta resain.Aku saja yang
*“Mas Bian mau apa?” kakiku sudah gemeteran melihat pria itu malah melepas kemejanya menunjukan tubuhnya yang menawan.Ah. Aku ini. Kenapa malah menilai tubuhnya dalam keadaan begini?“Kita lakukan sebentar ya? Aku pengen banget, Mel.”Pria itu dengan tidak tahu malunya malah mendekatiku. Padahal aku sudah berjalan mundur.“Sadar, Mas. Mas Bian pasti lebih paham kalau ini tidak…”Dan belum sempat aku melanjutkan ucapanku, tangan besarnya sudah menarik pinggangku hingga tubuhku menempel di dadanya. Posisiku terkunci di antara lengannya dan pria itru langsung menciumiku dengan ganas.‘Ya Allah, apa ini? Apa aku mau diperkosa?’ batinku yang tak bisa berbuat apapun. Membeku seperti patung hanya bisa menerima setiap kelakuannya. Mengobok-obok liang mulutku dengan lidahnya itu.Ada kesempatan sedikit aku langsung berusaha merusal. Namun tenagaku tak sebanding dengan tenaga pria ini. Jadinya di menit-menit selanjutnya aku pasrah diapain saja.Hanya saja aku tidak mengerti kenapa aku mulai
*“Maaf aku khilaf kalau sudah ada yang manis-manis.”Mas Bian langsung bangkit dan keluar sementara aku masih membeku memikirkan apa yang terjadi barusan.Dia menjilat bibirku?Astaga…“Mel? Mau pulang tidak?” panggilnya saat aku tidak mengikutinya bangkit.“I-iya…” ucapku dengan pikiran yang masih tidak menentu.Jujur seingatku di masa ini aku sama sekali tidak pernah disentuh pria. Kecuali dilecehkan saat aku tidak sadarkan diri, ya. Itu sama sekali tidak aku perhitungkan. Namanya juga tidak sadarkan diri. Tahu-tahu bangun sudah pendarahan saja.Barusan tadi, pria ini menjilat bibirku?Masih itu yang kupikirkan sampai masuk mobil. Mas Bian sepertinya cemas aku hanya bengong saja.“Kenapa?”“Oh, t-tidak, a-aku…” sudah ngeblank saja otakku.“Kan aku sudah bilang tadi aku suka kamu. Boleh, kan?” ujarnya bertahan di dalam mobil namun tidak juga menyalakan mesinnya.“Boleh apa?” tanyaku plonga-plongo bingung.Mas Bian tampak gemas dan dia malah menarikku mendekat lalu mencium bibirku.C
*Pagi itu Vier diantar Dini sekolah dan Mas Bian melarangku ikut mengantar karena masih mencemaskan kondisi kesehatanku.Mengisi kekosongan, aku melihat bathtub tempat aku memandikan Vier tadi. Aku jadi pengen berendam di tempat itu.Tapi apa boleh?Segera aku mengirim pesan pada Mas Bian. [Mas, mohon maaf, apa boleh saya menggunakan bathtub ini untuk berendam?]Padahal pesanku sudah terbaca tapi tidak langsung dijawab. Apa aku terlalu polos sampai mengganggu waktu kerjanya hanya ingin meminta izin mandi di bathtubnya?Ah. Aku ini pengasuh yang nglunjak! batinku sendiri sudah tak berharap balasan dari Mas Bian. Hanya saja datang juga balasan darinya. [Kalau untuk berendam boleh. Asal jangan main sepak bola di sana] disertai emoticon tertawa.Aku jadi ikut tertawa. Ternyata Mas Bian bukan orang yang dingin seperti pertama orang akan menilainya di awal jumpa. Dia juga suka bercanda. Tanpa menunda waktu lagi, aku sudah tak sabar untuk nyemplung di bak mandi itu. Membayangkan beginil
*Rumahnya besar dan lega. Juga Adem dan nyaman. Di kota Surabaya yang panas, jarang ada tempat yang seadem ini.Begitu aku keluar dari mobil dua wanita menyambutku dengan tersenyum ramah.Mungkin aku sudah mengenal mereka dengan baik, hanya saja aku terbelenggu dalam amnesiaku ini hingga sekedar mengingat namanya pun aku tak tahu.“Selamat datang, B…” dan sapaannya terhenti seperti orang yang tersedak.Baru wanita yang satunya menyahut, “Selamat datang Melati. Senang melihatmu sudah sehat lagi.”Aku melempar senyum pada mereka, “Terima kasih, Kak. Maaf, kalau aku melupakan nama-nama kakak.” “Saya Dini dan ini Tuti. Kalau butuh apa-apa jangan segan menyampaikannya. Kami siap membantu.”Obrolan kami terhenti lantaran mendengar suara deheman Mas Bian sembari menggendong Vier. Dia menatap dua wanita itu dan dengan segera dua wanita itu langsung paham apa yang dimaksud. Keduanya membawa barang-barangku masuk ke dalam rumah.“Mama nanti bobok sama Vier saja, ya? Vier masih kangen.” Celote