Alis Rinjani semakin berkerut mendengar pertanyaan itu. Apa pria ini tahu sesuatu?“Kok tanya gitu? Kamu mau bicara apa sebenarnya?”Brama menatap wajah Rinjani lama. Ucapan itu sudah sampai di ujung lidahnya. Namun, dia tidak sanggup untuk mengatakannya saat bertemu pandang dengan gadis itu.“Bukan apa-apa. Aku hanya bertanya saja, lupakan.”Rinjani memilih tidak memperpanjang masalah itu, tapi sekarang dia tidak tahu harus membicarakan apa lagi dengan Brama.Akhir hubungan mereka membuatnya seakan salah untuk menanyakan apapun. Kenapa dia berinisiatif mengajak mantan kekasihnya sendiri masuk ke dalam kantornya?Rinjani menyesali basa-basinya tadi, yang menyebabkan dia terjebak di sini sekarang Sibuk berpikir bagaimana cara mengsusir Brama agar dia cepat pulang."Kapan kamu menikah dengan Kiara?" Rinjani tiba-tiba bertanya, mengalihkan topik dengan kasar.Brama menyentak. "Aku... belum ada rencana."Matanya menyelidik, mencari reaksi apapun di wajah Rinjani. Tapi yang dia dapat han
Rinjani berdiri di depan pintu ruangan Brama, tangannya menggenggam erat setumpuk dokumen yang harus mereka bahas bersama. Nafasnya sedikit tersengal setelah berjalan cepat dari ruang kerjanya. Dia mengetuk pintu dua kali, dan suara rendah Brama mempersilakannya masuk.Ruangan itu terasa dingin, udara AC yang kencang membuat kulitnya merinding. Brama duduk di belakang mejanya, wajahnya terlihat serius, matanya tertuju pada layar laptop di depannya.“Aku sudah bawa laporan proyek terbaru,” ujar Rinjani, mencoba memecah kesunyian yang terasa berat. Brama hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Rinjani duduk di kursi di seberangnya, meletakkan dokumen di atas meja. Dia memperhatikan Brama lebih cermat. Wajahnya terlihat lebih pucat, matanya berkantung, seolah dia tidak tidur semalaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Rinjani, suaranya lembut namun penuh kecemasan. Brama menghela nafas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat l
“Brama, kamu ngomong apa sih? Masa kamu cemburu sama karyawan sendiri. Dia itu perempuan Brama.”Rinjani tidak melihat wajah Kiara, tapi sangat jelas terbayang di kepalanya saat itu bagaimana wajah cantik Kiara tersenyum manja ke Brama. “Aku Cuma mau minta tolong sekretaris kamu buatkan teh untukku dan kamu juga,” ujarnya menahan senyum.Rinjani berusaha mengontrol ekspresi wajahnya dan berbalik sopan. “Baik, Bu.” “Nggak usah panggil ibu, aku juga masih muda. Panggil, Mbak saja.” Kiara mengibaskan tangannya ramah.Rinjani hanya bisa mengangguk sembari tersenyum terpaksa. Tidak ingin ada yang melihat ekspresi di wajahnya dia segera berjalan ke meja di ujung ruangan pria itu. Dengan tubuh membelakangi Brama dan juga Kiara dia merasa sedikit lebih tenang.Brama tidak suka berbagi pantry dengan karyawan lain sehingga di salah satu sudut ruangannya dibuat bagai mini pantry dengan gelas mesin kopi dan berbagai jenis teh di sana. Dengan cepat, Rinjani menyeduhkan dua gelas teh unt
Rinjani menjaga ekspresi wajahnya berusaha tidak terpengaruh tapi hatinya seakan bagai teriris.“Kamu sudah pernah ketemu belum Rin, sama calon tunangannya itu? Katanya penyanyi ya? Aku Cuma pernah lihat di tv. Aslinya bagaimana? Cantik mana?”“Hush, Tini. Nanyanya kok begitu. Nggak sopan. gimana kalau ibuk dengar?” Ibunya khawatir sembari melirik ke arah pintu dapur cemas. Takut-takut nyonya rumah itu mendengar gosip mereka.“Halah! Ibuk masih di sibuk dandan di atas, dia nggak akan sempat melihat ke dapur.”Rinjani memaksakan senyum, dia tidak tahu apakah senyumnya terlihat aneh atau tidak sekarang ini, karena kepalanya benar-benar terasa mumet. Menggosipkan berita pertunangan kekasihnya sendiri, adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang ini.“Rin!” Tiba-tiba ibunya menarik tangannya kuat. Rinjani tersentak kebingungan. Kemudian melihat ibunya dengan wajah melongo. “Kamu kenapa? Nggak fokus? Itu kuahnya sampai tumpah itu ke tangan! Apa nggak panas? Sini-sini, dicuci du
Deg!Rinjani tertegun, mendengar itu.“Siapa yang bilang begitu?”Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya."Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa! Bilang, aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara te
“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekananRinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?" Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu untuk semua drama ini! Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”Brama menghela napas
Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negar
“Aku nggak tahu lagi!” Rinjani mengeluh menahan rasa frustrasinya. Rasanya dia ingin berteriak sekarang. “Kamu tahu posisiku. Bagaimana aku bisa melawan dia? Di satu sisi dia adalah atasanku, orangtuaku kerja di rumahnya.”“Tapi, kalau kalian pacaran sejak awal harusnya kalian setara. Di hubungan kalian kamu itu Cuma pacar, bukan sekretaris, bukan anak pembantu atau apapun itu!” “Brama nggak pernah bilang kalau kami pacaran. Itu semua Cuma harapan kosong aku saja.” Celia menghela napas panjang. “Nggak capek, Rin kaya begitu terus? Kamu juga berhak marah. Ini semua nggak adil untukmu.”Rinjani hanya bisa menatap Celia lemah. “Aku nggak tahu Cel. Sekarang aku Cuma mau mengakhiri hubungan ini secepatnya sebelum orangtuaku tahu.” Sudah cukup dia keras kepala berusaha melunakkan batu keras seperti Brama. Sayangnya mundur tidak semudah itu.“Kamu yang lebih kenal Brama. Apa kamu nggak tahu bagaimana caranya supaya dia mau mundur? Selama ini sama dia kamu nggak tahu kelemahannya?”Ri
Alis Rinjani semakin berkerut mendengar pertanyaan itu. Apa pria ini tahu sesuatu?“Kok tanya gitu? Kamu mau bicara apa sebenarnya?”Brama menatap wajah Rinjani lama. Ucapan itu sudah sampai di ujung lidahnya. Namun, dia tidak sanggup untuk mengatakannya saat bertemu pandang dengan gadis itu.“Bukan apa-apa. Aku hanya bertanya saja, lupakan.”Rinjani memilih tidak memperpanjang masalah itu, tapi sekarang dia tidak tahu harus membicarakan apa lagi dengan Brama.Akhir hubungan mereka membuatnya seakan salah untuk menanyakan apapun. Kenapa dia berinisiatif mengajak mantan kekasihnya sendiri masuk ke dalam kantornya?Rinjani menyesali basa-basinya tadi, yang menyebabkan dia terjebak di sini sekarang Sibuk berpikir bagaimana cara mengsusir Brama agar dia cepat pulang."Kapan kamu menikah dengan Kiara?" Rinjani tiba-tiba bertanya, mengalihkan topik dengan kasar.Brama menyentak. "Aku... belum ada rencana."Matanya menyelidik, mencari reaksi apapun di wajah Rinjani. Tapi yang dia dapat han
"Brama!" Kiara menyenggol lengannya keras. "Aku sudah tanya tiga kali, mau makan apa?"Brama mengedipkan mata, baru menyadari mereka sudah parkir di depan restoran. Sejak dia melihat Jagat tadi, dia jadi tidak fokus lagi. Dia bahkan sempat keluar saat ibunya sedang diperiksa tadi, hendak mencari pria itu.Tetapi, dia tidak lagi menemukan sosok Jagat. “Apa saja boleh.”“Kamu mikirin apa sih? Dari tadi nggak fokus kayanya.”Brama tersenyum tipis menenangkan ibunya. “Nggak ada. Mama pesan apa? Harus minum obat kan?” Ibu Brama juga tidak terus mendesak Brama, sudah biasa dengan sikap anaknya itu yang suka angin-anginan.Brama menuntun ibunya masuk ke dalam restoran itu dan memesan apa yang bisa dimakan ibunya.Dia tidak menyadari kalau ibunya dan Kiara menatap Brama dengan pandangan dalam.Ada senyum di bibir tipis perempuan paruh baya itu.“Sekarang, Brama sudah berubah banget ya, Tante. Dia jadi jauh lebih perhatian,” celetuk Kiara.“Ya, semenjak perceraian kami, dia jadi
Jagat menggelengkan kepalanya. “Orangtua Evie tinggal di Bandung, dan Evie bilang kami akan menemui mereka setelah dia melahirkan. Sekarang kondisi kandungannya masih belum stabil.”Rinjani terkejut mendengar itu, dari besar perut Evie dan waktu keduanya berpisah, dia tahu kalau kehamilan itu sudah lewat tiga bulan. Kenapa masih belum stabil?Tetapi, dia tidak bertanya lebih lanjut dengan ada ayah Jagat di sana.“Ya sudah, sekarang yang harus dipikirkan, bagaimana cara menyampaikan ini ke mama kamu.”“Memangnya, kenapa mama nggak setuju sama Evie, Pa?” tanya Rinjani hati-hati.Ayah Jagat menggelengkan kepalanya lelah. “Papa juga kurang mengerti kenapa mama kamu menolak sampai sebegitunya, tapi yang mama bilang, dia merasa penampilan Evie itu bukan penampilan perempuan baik-baik.”Mengingat penampilan Evie saat dia bertemu gadis itu pertama kali, Rinjani tidak mengerti bagian mana dia terlihat tidak baik-baik.Tetapi, saat dia melihat sosial media gadis itu dia bisa mengerti kena
“Beneran nggak ada apa-apa, Bu. Kangen sesekali kan biasa. Aku Cuma bosan saja, tapi aku sudah menyelesaikan tanggung jawab di rumah kok sebelum berangkat. Jagat juga sudah berangkat tadi.”Ibunya masih menatap Rinjani skeptis. "Kenapa, kesannya kamu tidak mau orang tahu kamu sudah menikah?""Malas menanggapi gosip tetangga," Rinjani mengangkat bahu. "Mereka pasti akan bertanya macam-macam. Sudah punya anak? Suaminya mana kok nggak kelihatan. Kerjaan suaminya apa?”Rinjani memperagakan kalimat itu dengan gaya berlebihan, membuat ibunya menggelengkan kepala.“Hush! Jangan bicara begitu! Pun, kalau mereka bilang gitu, itu Cuma bagian dari basa-basi saja. Nggak benar-benar ingin ikut campur urusan orang lain.”“Sama saja, Bu. Ayu nggak nyaman membicarakan itu dengan orang yang baru aku kenal.”Setelah melihat ekspresi Rinjani akhirnya ayah dan ibunya memutuskan untuk tidak lagi menanyai Rinjani.“Ibu dan Ayah lega kalau memang begitu, kalau ada masalah dengan Jagat, selalu bicarak
Rinjani tertegun mendengar ucapan Jagat itu. Namun, kemudian dia tersenyum kecil. Ini adalah salah satu bagian yang membuat dia lebih yakin menikahi Jagat.Pria itu selalu jujur dengan apa yang dia rasakan, dan tidak enggan menyampaikannya ke Rinjani. Semua kejujuran Jagat membuat Rinjani juga lebih mudah untuk merasa dekat dengan pria itu.“Haha, aku juga sama. Aku sudah berpikir bagaimana menghabiskan seumur hidup yang panjang sama kamu. Ternyata, semuanya Cuma angan-angan.” Matanya terasa panas. Rinjani tidak ingin menangis, tapi dia tidak bisa menahan diri. Perlahan bulir-bulir air mata itu berjatuhan dari sudut matanya.Dengan kasar, Rinjani menghapus air mata itu sebelum sempat jatuh ke pipinya. Jagat menyentuh tangan Rinjani dengan tatapan sendu. “Kamu adalah gadis yang baik. Sangat mudah untuk suka sama kamu, aku yakin kamu akan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik daripada aku.”Rinjani tertawa di tengah tangisnya mendengar itu. “Hahaha, sudahlah. Sejak awal, aku
“Maksudku bertanya itu, bukan mau meragukan Evie, tapi untuk memastikan ke kamu, kalau kamu yakin itu adalah anakmu!”Jagat terdiam tidak mengerti, matanya menatap Rinjani dengan kening berkerut. Saat itu, Rinjani menyadari, sisi baik Jagat juga merupakan sisi yang menjadi kelemahannya kalau dihadapkan pada situasi yang berbeda.Jagat sangat bertanggung jawab dan berusaha mencari jalan tengah untuk semua masalah. Namun, di saat yang sama itu membuat dia terlihat kurang tegas kalau harus memilih di antara dua keputusan.Sikap Jagat yang tidak ingin mengecewakan siapapun itu membuat dia sulit bergerak bahkan ketika situasi sudah mendesaknya untuk memilh.“Aku nggak ngerti maksud kamu apa!”“Kalau kamu yakin itu anakmu, kalau memang kamu yakin Evie tidak akan mengkhianatimu selama kalian bersama, kenapa kamu masih ragu untuk bertanggung jawab?!”Jagat tertegun. “Karena sekarang Aku sudah menikah sama kamu! Aku nggak mungkin meninggalkanmu begitu saja! Sekarang kamu tanggung jawabku!”
Rinjani tidak ingin menjadi orang ketiga lagi di sana. Dia beranjak dari kursinya tanpa suara dan hendak berjalan ke luar."Rin..." Jagat akhirnya menoleh padanya, matanya penuh pertanyaan."Aku... ke kamar mandi dulu. Kalian lanjut bicara."Dia berjalan menjauh dengan langkah goyah, meninggalkan Jagat dan Evie dalam keheningan yang lebih keras dari teriakan apa pun.Bagaimana dia harus menyikapi ini? Rinjani sama sekali tidak tahu. Kepalanya terasa sangat pusing. Ini adalah masalah yang sangat berat.Hanya saja, dia tidak bisa marah saat melihat Evie. Dia mengerti betul apa yang sedang dialami gadis itu. Dia bersimpati. Namun, di sisi lain, ayah dari anak itu adalah suaminya.Apa yang harus dia lakukan?Rinjani membilas wajahnya dengan air dari wastafel kemudian mengelapnya dengan tisu. Dia mencoba menjernihkan kembali pemikirannya sendiri agar bisa menghadapi semuanya dengan kepala dingin."Berikan aku waktu," Jagat bersuara, tangannya meraih tangan Evie yang dingin. "Aku akan t
Dari sudut matanya, Rinjani bisa melihat kalau Jagat sudah hendak menghampiri mereka, tapi Rinjani menggelengkan kepalanya.Dia dengan cepat mengalihkan pandangannya kembali ke Evie, agar gadis itu tidak curiga.“Kehamilan ini tidak akan mengubah hubungan kami, malah hanya menambah masalah yang nggak perlu.”Rinjani memilih untuk mengucapkan kalimatnya hati-hati. “Aku mungkin nggak tahu apa yang terjadi dengan hubungan kalian, tapi aku rasa, keputusan itu juga harus diambil oleh Jagat, kan? Kamu nggak bisa memutuskan hal sebesar ini sendirian.”“Kenapa nggak? Aku yang mengandung anak ini!” Evie sangat defensif dengan kandungannya. “Aku tidak akan menggugurkannya! Tidak akan pernah!”“Aku juga nggak memintamu melakukan hal keji itu. Apa kamu pernah bayangkan, bagaimana perasaan Jagat kalau sampai dia tahu ini jauh di masa depan saat anak kalian sudah besar?”Evie mengalihkan pandangannya ke arah lain, menolak menjawab pertanyaan itu.“Aku harap kamu bisa merahasiakan ini, aku n
Rinjani menolak menjawab itu hanya memutar bola matanya malas, dia memilih untuk melihat-lihat sosial media milik Evie.“Semenjak kalian putus dia sudah nggak pernah posting apa-apa lagi,” celetuk Rinjani.Jagat tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Rinjani tidak terdengar kesal atau cemburu.Pria itu mengakui, cara mereka memulai hubungan ini membuat mereka tidak canggung membahas masa lalu satu sama lain. Namun, tetap saja dia tidak pernah menyangka akan mendiskusikan sosial media mantan kekasihnya ke istrinya sendiri.Rinjani juga tidak mengharapkan jawaban pria itu. Dia tidak tahu, malam itu Jagat sama sekali tidak bisa tidur, menunggu hari esok. Pria itu menatap langit-langit kamarnya yang sudah gelap karena Rinjani sudah mematikan lampu.Entah apa yang dipikirkan pria itu sepanjang malam.Keesokan harinya, Rinjani dan Jagat datang ke kafe tempat dia dan Evie janji bertemu. Sampai di sana, Jagat sengaja duduk di tempat yang lebih tersembunyi terpisah dari Rinjani tapi masi