Hujan turun deras malam itu. Langit kota seolah ikut meratap bersama hati Adelia Anjani yang sedang berkecamuk hebat. Di tangan gadis berusia 18 tahun itu tergenggam erat selembar kertas: biaya operasi otak untuk adiknya, Amelia Putri lima puluh juta rupiah. Jumlah yang mustahil ia kumpulkan hanya dalam waktu dua hari.
Tangannya menggigil. Matanya sembab. Sudah puluhan tempat ia datangi untuk meminjam, memohon, bahkan rela menjadi pembantu rumah tangga sekalipun. Tapi semua menutup pintu. Adelia terduduk lemas di bangku rumah sakit, tepat di luar ruang ICU. Di dalam, Amel yang baru berusia 15 tahun terbaring tak sadarkan diri, dengan selang infus dan oksigen di tubuh mungilnya. “Kakak minta maaf, Mel...,” bisiknya lirih. Lalu ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal. “Masih butuh uang? Temui aku malam ini. Hotel Grand Harmoni. Kamar 1206.” Adelia menatap pesan itu lama. Tubuhnya membeku. Ia tahu betul apa artinya. Lelaki itu Dimas Wirawan, seorang pengusaha berumur 45 tahun telah menemuinya beberapa jam lalu, menawari “jalan keluar”. Dengan syarat Adelia harus menyerahkan kehormatannya. Air mata Adelia jatuh. Ia tidak ingin... tapi waktu habis. Jika Amel tidak segera dioperasi malam ini, nyawanya bisa melayang. Dengan tangan gemetar, Adelia mengetik balasan. “Saya akan datang.” Hotel Grand Harmoni. Kamar 1206. Adelia berdiri ragu di depan pintu. Tubuhnya terbalut dress hitam sederhana yang ia pinjam dari suster rumah sakit. Tak ada riasan. Wajahnya pucat. Hatinya lebih gelap dari malam itu sendiri. Ketukan pelan di pintu. Pintu terbuka. Dimas Wirawan berdiri di sana, mengenakan kemeja satin biru yang tidak dikancing penuh. Matanya langsung menelusuri Adelia dari ujung kepala hingga kaki, membuat gadis itu menunduk malu dan takut. “Masuk,” ucapnya pendek. Dengan langkah gontai, Adelia melangkah masuk ke kamar. Suasananya sunyi, hanya terdengar suara kipas dan hujan di luar jendela. Tempat tidur luas terbentang, seolah menjadi saksi dosa yang sebentar lagi akan terjadi. “Aku sudah menyiapkan uangmu,” kata Dimas sambil menunjuk koper kecil di atas meja. Adelia menelan ludah. Napasnya tercekat. “Ambil dan letakkan di bawah bantalmu. Setelah itu, kau tahu apa yang harus dilakukan.” Gadis itu mendekat, tangannya gemetar membuka koper. Uang dalam jumlah besar menyambutnya. Lebih dari cukup untuk menyelamatkan nyawa adiknya. Dengan mata berkaca-kaca, Adelia berbalik. “Saya... saya sudah siap.” Dimas hanya tersenyum dingin. Ia membuka kancing bajunya satu per satu, lalu berjalan pelan mendekati Adelia. Tangannya mengelus pipi gadis itu, lalu turun ke leher, dada, hingga perut. Adelia meremang. Ia menggigit bibir, menahan ketakutan dan jijik yang menghantam dirinya seperti badai. “Jangan takut. Anggap saja ini mimpi.” Adelia mengangguk lemah. Ia melepas pakaiannya perlahan, satu per satu, dengan tubuh bergetar. Di matanya, bayangan Amel terus hadir. Setiap sentuhan Dimas adalah luka, tapi setiap detiknya adalah detik yang bisa memperpanjang hidup adiknya. Ketika akhirnya Dimas merenggut dirinya, tubuh Adelia menegang. Jerit kecil lolos dari bibirnya, namun segera ditelan bantal. Air matanya mengalir deras, membasahi seprai putih hotel itu. “Sakit, Tuan...,” lirihnya. Tapi Dimas tak peduli. Ia terus melanjutkan, menyebut-nyebut betapa ia menyukai kesucian Adelia, tubuh mudanya, dan tatapan penuh luka itu. Setelah hampir satu jam, Dimas akhirnya terdiam. Ia menarik napas puas, lalu bangkit dari tempat tidur. Sementara Adelia hanya bisa diam, tubuhnya terkulai, wajahnya kosong. “Kau boleh pergi sekarang,” ucap Dimas sambil mengenakan celananya. “Uang itu milikmu.” Adelia tidak menjawab. Ia hanya mengambil pakaiannya perlahan, lalu mengenakannya kembali. Saat ia akan pergi, Dimas menyodorkan kartu nama. “Kalau kau butuh sesuatu, datanglah padaku. Tapi ingat, aku tidak memberi cuma-cuma.” Adelia menunduk. “Terima kasih, Tuan.” Tak lama setelah selesai melakukan hubungan intim itu, Adelia langsung berlari ke Rumah Sakit. Adelia berlari menembus hujan, masih memegang koper kecil berisi uang. Ia menyerahkan semuanya pada petugas administrasi. “Mohon segera lakukan operasinya...,” katanya sambil terisak. Tak lama, Amel dipindahkan ke ruang operasi. Adelia duduk di lorong, sendirian, basah kuyup, tubuh masih nyeri, namun hatinya kosong. Beberapa jam kemudian, dokter keluar. “Operasi berhasil. Tapi Amel perlu waktu untuk pulih.” Adelia menangis lega. Semua yang ia korbankan... akhirnya tidak sia-sia. Tiga Minggu Kemudian, Adelia dan Amel sudah kembali ke rumah kecil peninggalan orang tua mereka. Dengan sisa uang dari Dimas, Adelia merenovasi rumah seadanya. Amel tersenyum senang, tapi Adelia menyembunyikan luka besar yang tak bisa disembuhkan. “Kakak, uang dari mana semua ini?” tanya Amel suatu sore. Adelia terdiam. Ia tidak bisa berkata jujur. “Itu dari tabungan ibu yang kakak temukan,” bohongnya sambil tersenyum pahit. Amel memeluknya. “Kakak hebat.” Adelia menangis diam-diam di pelukannya. Dalam senyum Amel, ia merasa seperti penipu. Tapi ia tak menyesal telah menyelamatkan adiknya. Yang ia sesali, adalah luka di hatinya luka yang perlahan akan mengubah seluruh hidupnya.Setelah beberapa hari berlalu setelah pertemuan Amel dengan Dimas, semuanya terlihat seperti biasa.Suara langkah kaki Amel terdengar pelan menuruni tangga. Malam itu sunyi, hanya desiran angin dari sela jendela yang sedikit mengusik keheningan rumah. Di ruang tengah, Adelia dan Raka duduk berdampingan di sofa, belum bisa tenang setelah insiden di gudang. Tatapan Adelia langsung menajam ketika melihat sosok adiknya muncul dari balik dinding. "Amel," panggilnya lembut. Amel berhenti sejenak, seolah ragu untuk melangkah lebih dekat. Tapi ia tahu, jika malam ini tak bicara, semuanya akan memburuk. Ia duduk perlahan di kursi seberang. Jemarinya saling menggenggam erat. Ada ketakutan di matanya campuran rasa bersalah dan keraguan. “Aku… aku minta maaf, Kak,” ucap Amel akhirnya, suaranya serak. “Aku pergi tanpa bilang apa pun. Aku cuma butuh jawaban.” Adelia menggenggam tangan Raka sesaat, lalu menatap adiknya. “Jawaban dari pria yang pernah menghancurkan hidupku?” Amel menunduk. “Di
Langkah Amelia menyusuri trotoar malam itu terasa ragu, tapi tekadnya tak surut. Ia terus menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari nomor tak dikenal. “Datanglah ke taman kota, bangku paling ujung. Jangan ajak siapa pun. Aku akan tunjukkan semuanya.” Amel tahu siapa pengirimnya. Hatinya masih bimbang, tapi rasa ingin tahu jauh lebih kuat dari logika. Ia ingin tahu kebenaran yang selalu menggantung di kepalanya. Apalagi ia masih berusia 15 tahun, rasa ingin tahunya sangat tinggi, terutama mengenai pesan yang terus di kirimkan Dimas padanya tanpa henti. Apakah benar... kakaknya menjual kehormatan demi dirinya? kata-kata itu seolah bagai beling yang menancap di jantungnya selama ini. Ia menunduk. Nafasnya semakin kencang. Angin malam menyapu rambutnya, membuat tubuhnya menggigil. Tapi jauh lebih dingin dari udara adalah bayang-bayang rasa bersalah dan kebencian yang mulai tumbuh dalam hati kecilnya. Dari kejauhan, seseorang berjalan mengikuti dengan langkah yang terlat
Pintu rumah terbuka perlahan. Sosok Raka masuk dengan langkah tertatih, darah mengering di lengan dan bajunya kusut. Sorot matanya tajam, tapi tubuhnya tak lagi setegap biasanya. Antoni mengikuti di belakang, memegangi perutnya yang terkena serpihan peluru. “Raka!” Adelia segera berlari dari ruang tengah. Napasnya tercekat saat melihat suaminya dalam keadaan seperti itu. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar melihat luka di bahu Raka. “Apa yang terjadi?! Astaga, kamu terluka!” Adelia langsung menggamit tangan Raka, membantunya duduk di sofa. “Kenapa kamu nggak bilang mau ke tempat berbahaya?!” Raka hanya menatapnya dalam diam. Ia menarik napas dalam dan mengusap rambut istrinya dengan lembut. “Tenang, aku baik-baik saja... cuma... luka kecil.” “Luka kecil dari mana?!” Adelia meraih kotak P3K dengan tangan gemetar. Ia membersihkan luka Raka dengan tangan yang berkeringat. “Kamu... kamu selalu bilang akan lindungi aku. Tapi bagaimana kalau kamu...” “Delia,” Raka menyentuh pipinya.
Setelah aksesnya di blokir oleh Raka, ia tetap berusaha untuk menghubungi Raka Anggana. Pagi setelah matahari terbit, Adelia sudah menyiapkan sarapan dan pakaian yang akan di pakai oleh Raka. Amelia, yang masih dalam perawatan tidak bisa sepenuh membantu kakaknya mengurus semua keperluan mereka. Tapi semampunya ia tetap berusaha. Raka, sesaat sebelum berangkat ke kantor, ia melihat beberapa pesan di ponselnya dari Agnesia yang memintanya datang ke sebuah gedung tua, gedung yang dulunya tempat mereka sering transaksi sebelum mereka bermusuhan. "Apalagi yang dia inginkan? setelah memfitnah ku, aku tau dia menginginkan sesuatu yang lain," ucapnya, tapi kali ini ia tidak akan membiarkan Agnesia melancarkan aksinya. Gudang tua itu tak berubah sejak terakhir kali Raka menginjakkan kaki di sana gelap, lembap, dan penuh debu masa lalu. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, tempat itu jadi panggung bagi dua masa lalu yang tak selesai. Raka berdiri tegak di tengah ruangan, bahunya rileks, ta
Suasana kamar sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Adelia duduk di tepi ranjang, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Tapi malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, dan akhirnya suara pintu diketuk keras dari luar."Ka, kita harus bicara. Sekarang!" suara Amelia terdengar jelas, lebih mendesak daripada biasanya.Adelia menarik napas panjang. Ia tahu pembicaraan ini akan menyakitkan, tapi ia tidak bisa lagi menghindar. Ia membuka pintu, dan Amel langsung masuk dengan wajah penuh emosi."Kak... aku sudah tahu semuanya," ujar Amel dengan suara berat. "Malam itu, operasi... dan pria itu Dimas."Tubuh Adelia menegang. Ia menatap mata Amel yang berkaca-kaca, seakan menuntut penjelasan."Aku dengar dari orang itu sendiri, Kak. Dimas bilang semuanya tentang malam itu, tentang uang itu," lanjut Amel dengan suara bergetar.Adelia nyaris roboh. Jantungnya terasa diremas-remas. Ia tahu hari ini akan tiba, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini."Maafkan Kakak, Mel..."
Adelia menatap pantulan dirinya di cermin kamar tidur. Wajahnya pucat, mata sembab, dan senyum yang biasanya merekah kini tak tampak sedikit pun. Sejak pagi, ia tak berkata apa-apa pada Raka. Hanya diam dan terus memikirkan kalimat yang terngiang di telinganya. "Agnesia... hamil anak Raka?" Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Itu bukan sesuatu yang mudah dicerna oleh wanita mana pun, apalagi oleh Adelia yang masih mencoba menyembuhkan luka masa lalu. "Aku harus tenang. Raka bukan tipe pria seperti itu," gumamnya pelan sambil menyentuh perutnya sendiri. Kosong. Datar. Tapi perasaannya berkecamuk. Hatinya seakan hancur berkeping. Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Raka berdiri di sana dengan wajah lelah, dasi yang sudah longgar, dan tatapan memohon. "Sayang... kita harus bicara." Adelia hanya menatapnya, tak menjawab. Tapi Raka masuk dan duduk di tepi ranjang, mencoba mencari kata. "Agnesia muncul tiba-tiba... aku juga kaget. Dia bilang s