Hari itu, Raka merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya menjadi seorang ayah. Delara menangis pelan di pelukannya, mungil, rapuh, dan begitu hangat. Ia mengayun-ayunkan tubuh bayi itu dengan lembut, seakan seluruh dunia hanya milik mereka bertiga Raka, Adelia, dan Delara. Tak ada luka. Tak ada masa lalu. Hanya cinta yang membungkus mereka seperti pagi yang baru saja lahir. "Papa tampan nih," gumamnya sambil mencium kening Delara. Adelia menatap dari balik pintu, diam-diam mengusap air mata. Air mata bahagia dan takut. Karena ia tahu, kebahagiaan mereka tak akan bertahan lama. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di jendela dapur. Pelan, namun cukup membuat Adelia menoleh dengan tubuh menegang. Ia melangkah ke sana perlahan. Tapi tidak ada siapa-siapa. Yang ia temukan hanyalah kertas kecil berwarna abu yang tertempel di sisi luar jendela. Tangannya gemetar saat membuka lipatan itu. Dan di sana, tertulis dengan tinta hitam yang terasa dingin: “Tanyakan pada
Setelah meninggalkan Singapura, seluruh isi kepala Raka hanya satu, Adelia. Bukan pekerjaannya, bukan rumah besar miliknya, bukan kehidupan nyaman yang dijanjikan Agnesia. Tapi Adelia. Wanita yang wajahnya terus menghantui setiap mimpi buruknya. Wanita yang kini perlahan kembali ke dalam ingatannya jelas dan menyakitkan. Selama penerbangan, Raka bahkan tak sempat memejamkan mata. Tangannya mengepal, kakinya gelisah, dan pikirannya terus dipenuhi dengan pertanyaan yang sama. "Kenapa aku melupakannya begitu lama?" Suara itu menggema di kepalanya, berulang-ulang, menekan dadanya dengan rasa bersalah yang tidak bisa diredam. Ia merasa seperti pria paling kejam di dunia. Meninggalkan wanita yang ia cintai. Melupakan semuanya. Dan membiarkan Adelia hidup sendiri, terluka, dan hancur. Sementara itu di Singapura, di rumah yang mewah, Agnesia menatap koper-koper yang tadi pagi ia siapkan dengan harapan tinggi. Semuanya kini tak berguna. Swiss hanya tinggal mimpi yang hancur dalam sekejap.
Bandara Changi pagi itu dipenuhi lalu lalang penumpang. Di antara keramaian, Raka dan Agnesia berjalan beriringan dengan koper kecil di tangan. Mereka terlihat seperti pasangan yang sedang bersiap liburan, tapi di balik senyum Agnesia, ada kecemasan yang tak bisa disembunyikan.Perjalanan ke Swiss sudah direncanakan sejak beberapa hari lalu. Agnesia memilih negara itu bukan karena ingin berlibur, tapi karena ingin Raka benar-benar menjauh dari masa lalunya dari Jakarta, dari semua kenangan tentang seorang perempuan bernama Adelia.Namun pagi itu, ada yang berbeda dari tatapan Raka. Diam. Kosong. Dingin.Ia sudah seperti itu sejak semalam.Agnesia menyadarinya, tapi berusaha menyangkal dalam hati. Mungkin Raka hanya lelah. Mungkin ini hanya perasaan berlebihan. Tapi perasaan itu tak kunjung hilang, malah semakin kuat setiap menit berlalu.“Aku ke toilet sebentar,” ujar Raka tiba-tiba, saat mereka duduk menunggu panggilan boarding.“Jangan lama-lama ya, sebentar lagi masuk gate,” ucap A
Suara tawa kecil mengisi ruang tengah rumah besar itu.Delara duduk bersila di atas karpet, dikelilingi boneka kelinci dan panda yang sudah diberi nama sesuai versinya sendiri. “Ini Paman Toni Kelinci dan ini Mama Panda!” katanya riang, sambil menunjuk satu-satu ke arah Antoni yang duduk bersandar di sofa.Antoni hanya tersenyum, sesekali ikut menyusun balok dan berpura-pura ikut bermain. Tapi sebenarnya pikirannya jauh ia terus memikirkan situasi yang baru saja ia lalui semalam.Damares. Gudang. Dimas.Semua itu membekas kuat. Tapi demi Adelia dan Delara, ia harus tetap bersikap seolah semuanya baik-baik saja.Dari dapur, terdengar suara sendok yang beradu dengan panci. Adelia sedang menyiapkan bubur untuk Delara dan juga untuk Antoni, yang tiba-tiba datang pagi ini membawa roti dan mainan baru.Di antara aroma kaldu dan suara tawa Delara, suasana terasa nyaman untuk sesaat.Sampai bel rumah berbunyi.Delara spontan menoleh ke arah pintu. “Ada tamu lagi?”Antoni bangkit berdiri, mend
Adelia duduk di ambang pintu ruang tengah, memperhatikan Delara yang sedang berlarian kecil sambil tertawa riang. Gadis kecil itu mengenakan baju overall kuning dengan pita kecil di rambutnya. Tangan mungilnya memeluk boneka usang yang selalu ia bawa ke mana pun.“Ayo kejar aku, Mamaaa!” teriak Delara dengan suara cempreng menggemaskan. Delara memanggil Adelia meskipun kata yang terucap dari bibirnya belum jelas.Adelia tersenyum tipis dan bangkit dari duduknya, pura-pura mengejar putrinya. “Aduh, Mama kalah cepat nih, kamu main sendiri dulu ya sayang.”Tawa kecil Delara mengisi rumah itu, tawa polos yang menjadi satu-satunya alasan Adelia masih kuat berdiri.Meski hatinya remuk, ia tak pernah ingin membiarkan Delara tumbuh dalam kesedihan. Setidaknya, tidak seperti yang ia rasakan setiap malam saat dunia menjadi terlalu sunyi dan pikirannya menolak diam.Ia tak tahu bahwa di luar sana, seseorang dari masa lalu yang selama ini mengaku sahabat Damares telah menyusun rencana busuk. Ia t
Saat terbangun Agnesia menarik koper terakhirnya ke depan pintu. Barang-barang mereka sudah siap. Paspor, dokumen, uang tunai dalam mata uang asing. Semua rapi di dalam tas kecil kulit yang selalu ia bawa ke mana pun.Ia melirik jam di dinding ruang tamunya. Hampir tengah malam.“Raka,” panggilnya, mencoba tetap terdengar tenang. “Kita harus berangkat sekarang. Kalau kita terlambat, penerbangan subuh itu bisa lepas tanpa kita.”Namun suara dari lantai dua membuat langkahnya terhenti.“Kita tunda sampai besok pagi saja,” ucap Raka dari atas tangga. Ia turun perlahan, mengenakan kaus tipis dan celana panjang, wajahnya tampak lebih tenang tapi matanya tidak.“Kenapa ditunda?” tanya Agnesia, mencoba menahan gugup lalu mendekati Raka, menatapnya tak percaya apa yang dikatakan Raka padanya.“Aku cuma merasa nggak nyaman. Kayak ada yang aneh dalam diriku.”“Aneh gimana?” tanya Agnesia cepat, nadanya meninggi.Raka menatapnya. “Gak tahu. Mungkin cuma firasat. Tapi lebih baik kita berangkat pa