Satu alisnya terangkat ke atas, sepertinya dia tidak suka mendengar Edgar memanggil Audrey dengan sebutan ‘Nona’, sebutan khusus untuk anak konglomerat super kaya.
"Maksudku, Audrey," ralat Edgar, dia hampir saja membuka tabir asli Audrey yang sebenarnya memiliki identitas misterius.
“Jangan ada yang kau sembunyikan dariku!” Earl makin memaksa, tapi Edgar terus tutup mulut.
Entah siapa sebenarnya Audrey, sampai Edgar berkeringat saat menyerahkan berkasnya.
Mimik wajah Earl tampak berubah ketika membaca lembaran demi lembaran kertas yang ia pegang. Karena di atas kertas itu tertulis bahwa Audrey pernah bekerja di perusahaan raksasa milik Hudson Moeis.
Tak tanggung-tanggung, Audrey pernah bekerja sebagai sekretaris. Meskipun hanya sebentar, tapi pencapaian itu cukup mengejutkan.
"Dia?" Alis Earl terangkat ke atas. "Pelayan seperti dia, pernah bekerja di perusahaan besar itu?"
Seingat Earl, seleksi di perusahaan itu sangat ketat.
Mereka hanya menerima karyawan paling berkompeten di bidangnya dan mereka adalah lulusan terbaik dari berbagai universitas.
Uniknya, nepotisme diperbolehkan di sana. Meskipun begitu, hanya segelintir orang yang diterima lewat jalur itu. Mereka adalah individu yang memiliki keahlian dan kemampuan di atas rata-rata.
Garis besarnya, mustahil bekerja di perusaahan raksasa milik Hudson Moeis jika tak memiliki kemampuan.
Itu berarti, Audrey adalah orang berbakat yang memiliki kemampuan hebat.
"Menarik." Seulas senyum terukir di ujung bibir Earl. "Pantas saja dia berani bernegosiasi denganku!"
Hudson Moeis.
Nyatanya, dia adalah satu-satunya pengusaha yang pencapaiannya setara dengan pencapaian Jeremy Sanders, kakeknya.
Nama Hudson Moeis sudah melegenda. Perusahaan yang dia pimpin memiliki banyak anak cabang di seluruh dunia. Sementara itu, Jeremy Sanders, Kakek Earl, adalah orang nomor dua setelah Hudson Moeis.
Persaingan keduanya dalam dunia bisnis begitu kuat sampai-sampai Earl diminta kakeknya untuk tidak berurusan dengan Hudson Moeis.
Selesai membaca lembaran kertas itu, Earl pun memasukkan kembali kertas itu ke dalam amplop. "Masih ada yang lain?"
Edgar mengangguk. "Ada."
"Apa itu?" Penasaran, Earl memperbaiki cara duduknya. Duduk tegak siap mendengar cerita Edgar.
"Semalam, Hudson Moeis mengunjungi rumah Audrey, tapi dia pergi saat menyadari Audrey tidak ada di rumah."
"Satu lagi,” sergah Edgar. “Istri Hudson membuat ibu Audrey bangkrut, makanya Audrey membencinya. Dan semenjak itu, ibu Audrey pergi entah ke mana.”
Kali ini, Edgar menunjukkan foto yang ia dapat.
Earl meraih foto itu, memperhatikan setiap detail yang terlihat. Wajahnya tiba-tiba kaku. Keringat dingin mulai mengucur di dahinya. "Si-siapa sebenarnya gadis itu?”
Apa hubungan Hudson Moeis dan Audrey?
Apa mereka ayah dan anak?
Diskusi antara Earl dan Edgar berlangsung singkat ketika ajudan Earl yang lain datang membawa kabar darurat. "Ayesha mengancam Audrey, dia juga menjanjikan sebuah imbalan jika ia bersedia menikah denganmu!"
Seketika, mimik wajah Earl berubah. Awalnya, ia tak curiga dengan perubahan sikap Ayesha.
"Imbalan?" Pria itu pun berdiri dari tempat duduknya. "Imbalan apa yang Ayesha janjikan padanya?"
"Membantu Audrey mencari ibunya," jawab Murphy.
"Mencari ibunya?" Dahinya kini mengkerut.
Jelas-jelas Ayesha tahu dimana wanita itu berada karena mereka pernah bertemu secara tak sengaja dalam sebuah acara amal, tapi kenapa Ayesha tidak langsung memberitahu Audrey kalau dia tahu dimana ibunya berada?
"Sebenarnya, apa yang Ayesha inginkan? Mungkinkah dia menyembunyikan sesuatu dariku?"
***
"Kudengar, Ayesha memberikan imbalan asal kamu bersedia menikah denganku." Pria itu kembali menemui Audrey, bahkan membawa sepiring kue kering yang ia letakkan di meja.
Setelah itu, ia duduk di hadapan Audrey dan memberikan tatapan intens. "Sudah membuat keputusan?"
Kali ini, ekspresinya tampak berbeda. Pria itu tersenyum ramah, bahkan memperlakukan Audrey cukup baik.
"Berisik!" Bukannya menjawab, Audrey justru mengumpat.
Setelah membuatnya berlutut dan memohon, bisa-bisanya Earl muncul di hadapannya tanpa rasa bersalah. Pria itu bahkan langsung bertanya tentang pilihan apa yang ia buat. Tidakkah itu sangat keterlaluan?
Kesal, Audrey melirik pria itu dan berkata, "Siapa juga yang mau melahirkan anakmu? Membayangkan tidur denganmu saja aku tak mau."
"Oh?" Earl sedikit terkejut.
Baru kali ini ada yang berani menantang cucu Keluarga Sanders. Earl semakin curiga bahwa Audrey memang memiliki hubungan dengan Hudson Moeis, entah hubungan apa itu.
"Hei, kamu pikir siapa dirimu? Kapan aku memintamu melahirkan anak? Dengan wajah jelek seperti itu dan otak mesum di kepalamu, kamu pikir kamu pantas melahirkan anakku?"
Jujur saja, Audrey sangat ingin memukulnya.
Apalagi melihat ekspresi Earl yang sombong dan arogan, namun ia tahan-tahan mengingat keselamatan ibunya yang sekarang sedang dipertaruhkan.
Selain itu, ucapan Earl ada benarnya.
Dia memang jelek sekarang.
Sangat jelek dan menyedihkan.
Merasa tak ada lagi yang perlu mereka bicarakan, Audrey pun mengusir pria itu. "Dengar, aku tidak akan berubah pikiran. Jadi jangan menunjukkan wajahmu lagi di hadapanku, apalagi membahas pernikahan!"
Perubahan sikap ini yang membuat Earl heran.
Padahal, sebelumnya dia takut untuk membalas, tapi ketika Earl menghina ibunya, dia seperti punya kepibadrian lain.
Dari sorotan matanya, Earl menyadari gadis itu ketakukan, tapi anehnya dia masih berani melawan. Earl kemudian mendekat dan berbisik, "Semua yang Ayesha janjikan padamu, aku juga bisa memberikannya."
"Jadi, apa yang harus kulakukan? Aku akan mempertimbangkannya asalkan imbalan yang kudapatkan sepadan."
"Aku mau kamu menerima tawaran Ayesha." Pria itu akhirnya mengatakan keinginannya. "Katakan padanya kalau kamu bersedia menikah denganku!"
"Menikah denganmu lagi?" Seketika, ekspresi Audrey berubah. Dahinya mengkerut dalam, sementara matanya memandang Earl dengan tatapan aneh.
Awalnya, Audrey melihat ada sedikit harapan. Mengira Earl akan memintanya untuk menolak permintaan Ayesha, namun siapa yang menyangka kalau sepasang suami istri itu meminta hal yang sama.
"Apa kamu tuli? Aku tidak mau menikah denganmu. Lagipula, kenapa kau sebodoh itu? Kau tipikal suami yang rela memadu istrinya, ya?"
“Audrey, jaga mulutmu!” Earl hampir saja menampar Audrey, tapi dia melihat ada yang aneh dengan senyuman gadis itu. Sepertinya, dia benar-benar serius tidak takut pada siapapun.
"Satu juta dollar," Audrey mengucap lirih. "Dan kau harus berjanji menemukan jejak ibuku, dengan semua hartamu!"
“Sepakat!” Earl tidak berpikir lagi. Demi kakeknya dan permintaan istrinya, dia rela menjadikan Audrey sebagai istri kedua.
"Jadi, kapan kita menikah?"
"Secepatnya," jawab Earl. Pria itu bergidik ngeri melihat perubahan drastis Audrey.
Namun, sebelum menghilang dari balik pintu pria itu sempat berkata, "Oh iya, aku pernah bertemu ibumu secara tak sengaja di Kota Manchester. Dia memiliki sebuah butik dan hidup dengan baik di sana."
Mendengar ucapan Earl, Audrey pun melirik cek yang ia pegang, kemudian menatap punggung Earl yang berdiri di ambang pintu. "Setelah memberiku cek sebanyak ini kamu memberitahuku ibuku ada di mana. Bolehkah aku bertanya, apa kamu tidak takut aku kabur membawa uangmu?"
"Tidak!" Earl yang nyaris pergi kembali menoleh. "Kamu tidak akan melakukannya karena kamu belum bertanya pada Ayesha kenapa ia tidak memberitamu kalau sebenarnya ia tahu keberadaan ibumu."
"Dia tahu ibuku di Manchester?"
"Ya," jawab Earl. "Kalau kau mau bertemu dengan ibumu, terima tawaran ini. Ayesha tidak bercanda, dia benar-benar tahu ibumu di mana!"
Melihat Audrey pingsan, Ayesha langsung memanggil dokter ke rumah. "Bagaimana, Dokter?" "Dia hanya kelelahan," jawab Dokter. "Biarkan dia istirahat. Dia akan sembuh satu atau dua hari." "Baiklah. Terima kasih, Dokter!" kata Ayesha. Sebelum pergi, dokter itu meninggalkan beberapa obat untuk Audrey. Ayesha yang tak memiliki waktu untuk menjaganya pun menyerahkan tugas itu kepada Rina. "Aku ada urusan di luar, baru pulang nanti malam. Kamu urus dan jaga dia!" "Baik, Nyonya!" jawab Rina. Kebetulan, Murphy masih ada di kamar itu. Dia membantu Rina mengangkat kepala Audrey agar Rina bisa memberi obat. "Coba periksa, badannya panas sekali, kan?" kata Murphy. Rina pun memeriksa kening Audrey, lalu mengambil baskom berisi air hangat. "Murphy, kamu boleh keluar. Aku akan mengompresnya sekarang." "Panggil aku kalau kamu butuh bantuanku!" Murphy pun meninggalkan kamar Audrey, sementara Rina mulai mengompresnya. Rina bahkan mengganti pakaian Audrey dengan baju tidur agar gadi
"Tidak mau!" Audrey beringsut mundur. "Aku tidak menginginkannya." "Benarkah?" Senyum tipis menghiasi bibir Earl. "Tapi kemarin kamu menginginkannya lagi dan lagi. Baru sehari, kamu sudah lupa?" Audrey tak tahu omong kosong yang sedang Earl katakan. Mereka tidak pernah melakukan apa-apa, tapi Audrey tidak memiliki waktu untuk bertanya. Earl sudah naik ke ranjangnya sekarang, mencegah pria itu menodainya adalah hal penting yang harus dia lakukan. "Jangan, Earl! Kumohon jangan mendekat!" Sayangnya Earl mengabaikan larangan itu. Tak hanya menindih, Earl bahkan menyusuri leher gadis itu dengan buas. Adegan seperti ini, Audrey baru pertama kali melakukannya. Itu membuatnya malu dan tak nyaman. "Earl, sadarlah!" Gadis itu mendorong tubuh suaminya. Bukannya menjauh, jaraknya malah semakin dekat karena perbedaan kekuatan yang terlalu besar. Audrey bahkan merasakan Earl mulai menghisap dan menggigit lehernya seperti vampir. "Earl, aku bilang henti,-" Teriakan Audrey terputus. Earl mem
"Ingat, kamu tak boleh ke mana-mana!" begitulah pesan yang Earl tinggalkan sebelum ia pergi. "Aku tahu!" kata Audrey. Karena Earl bekerja, Audrey tak perlu memasak. Dia pun berinisiatif membantu pelayan. Kebetulan mereka sedang mengganti bunga hidup yang mulai layu. "Nona Audrey, jangan!" Rina, kepala pelayan berusia 40-an melarang Audrey melakukan pekerjaan itu. "Kenapa?" Terbiasa bekerja, lalu tidak melakukan apa-apa membuat Audrey bosan. Makanya dia ingin membantu. Hanya merapikan bunga saja, Audrey bisa melakukan itu karena dia pernah bekerja part time di toko bunga saat kuliah. "Nanti Tuan Earl marah!" jawab Rina. "Dia?" Alisnya mengkerut. "Kenapa dia marah?" "Tuan sudah berpesan, tugas Nona hanya melayani Tuan Earl, Nona dilarang melakukan pekerjaan yang lain." "T-tapi?!" Ah, sudahlah. Pria arogan itu tak henti-hentinya membuat Audrey terkejut. Padahal, dia sudah membunuh putrinya, sudah mengirimnya ke rumah sakit, tapi kenapa dia masih begitu baik? Bahkan
"Aku sudah membuka bajuku, dan kamu masih bertanya nafkah apa yang kubicarakan. Kamu itu polos atau bagaimana?" Atasan piyama itu terlepas dari tubuh atletisnya dan Audrey melihat perutnya yang kotak-kotak. Pemandangan seperti ini, Audrey sudah sering melihatnya, namun rasanya berbeda saat Earl melakukannya. Ada perasaan ingin menyentuh, tapi tak berani. Ingin berpaling, tapi sayang jika dilewatkan. Kapan lagi ia bisa melihat pemandangan indah yang memanjakan mata seperti ini? "Cepatlah!" kata Earl. Akhirnya kata itu menyadarkan Audrey dari lamunan. Gadis itu mengambil piyama Earl dan melemparkannya ke pangkuan. "Kamu salah paham. Aku minta uang, bukan hal menjijikkan itu!" "Jadi kamu mau atau tidak?" "Tentu saja tidak!" Audrey berpaling, lalu melipat tangan. "Karena kamu sudah sehat, sebaiknya kamu pindah ke kamarmu. Aku juga ingin tidur di kasur!" "Aku masih sakit." Tanpa memakai piyamanya, Earl langsung merebakan dirinya ke ranjang. Menepuk-nepuk bantal di sebelahnya dan be
"Mencatat apa yang boleh dan tidak boleh kumakan." Audrey menurut. Gadis itu mengambil kertas dan pulpen, siap menulis. "Pertama, aku alergi jamur. Catat itu agar kamu tak lupa!" Audrey mulai menulis, namun dahinya mengkerut. 'Hanya alergi jamur saja apa perlu di catat? Aku bisa mengingatnya seumur hidup'. "Kedua, aku tidak makan kacang-kacangan yang di goreng. Aku hanya makan kacang yang proses masaknya direbus." "Apa bedanya?" Audrey mulai memprotes. Entah itu direbus, disangrai, atau digoreng, semuanya tetap kacang. "Kamu alergi juga?" Earl menggelengkan kepalanya. "Nggak. Cuma ngga suka aja!" "Lalu kenapa aku harus menulis ini?" Earl suka atau tidak, itu bukan urusan Audrey. Seharusnya pria itu cukup memberitahunya apa yang membuatnya alergi dan tidak boleh dimakan. Mereka tidak sedang melakukan pendekatan. 'Dia pikir siapa dirinya sampai aku harus mengingat makanan favoritnya?' Seolah tahu apa yang sedang Audrey pikirkan, Earl pun berkata, "Mulai hari ini tugasmu memasa
"Bagaimana, Dokter?" tanya Audrey ketika Dokter keluar dari ruang perawatan. "Sudah diberi obat, Earl boleh pulang setelah baikan." Dokter pun pergi dan Audrey menemui Earl yang belum siuman. Ada Edgar dan Murphy juga di sana. Berdiri di sebelah ranjang untuk melihat kondisi Earl. Diantara mereka, hanya Edgar yang penampilannya 'agak' pantas dilihat. Pria itu berbadan tinggi. Tubuhnya berotot juga, tapi tidak sebesar Murphy. Dia memakai piyama polos berwarna biru dongker, masih tampan meskipun rambutnya acak-acakan. Sedangkan Murphy memakai piyama berwarna cokelat. Sebenarnya cocok saja dengan warna kulitnya, tapi agak memalukan karena bermotif polkadot. Sangat tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang super besar dan kekar. Sementara Audrey memakai piyama warna hitam bermotif kotak-kotak. Dialah yang paling mencemaskan Earl. Sendalnya? Audrey lupa di mana ia meletakkannya. Dia telanjang kaki sekarang. "Earl alergi jamur, kamu tidak tahu itu?" Si perfeksionis Edgar menegur Aud