Hari ini adalah hari pernikahan Earl dan Audrey. Karena pernikahan itu bersifat rahasia dan identitas Audrey sebagai istri Earl akan disembunyikan, tak ada perayaan khusus, apalagi tamu undangan dan jamuan makan.
Dengan pakaian sederhana, mereka mengucap janji sehidup semati di depan pendeta dengan meminta Edgar dan Murphy sebagai saksi. "Apa?" tanya Earl begitu duduk di bangku kemudi. Pria itu berencana membawa Audrey pulang setelah melaporkan pernikahan mereka ke kantor catatan sipil. "Aku masih gadis, bagaimana kalau kamu tidak sengaja menyentuhku?" Earl mendesis setelah meliriknya. "Tidak tertarik!" Pria itu membuang muka. Gadis jelek seperti Audrey. Rambutnya selalu diikat membentuk gulungan dan bajunya kebesaran. Siapa juga yang tertarik untuk menyentuh gadis berpenampilan buruk seperti itu. "Itu tidak akan pernah terjadi." "Aku takut kamu mabuk, salah kamar lalu salah mengenali orang." "Ayolah, itu tidak mungkin." Sebenarnya justru dialah yang khawatir Audrey akan mengambil keuntungan darinya. "Hanya berjaga-jaga saja. Apa susahnya, sih?" "Baiklah, katakan apa maumu?!" tanya Earl kemudian. "Kamu harus memberikan setengah hartamu kalau kamu berani menyentuhku!" Audrey mengulurkan jari kelingkingnya. "Setengah hartaku jumlahnya sangat banyak. Kamu mau merampokku, ya?" "Kalau memang tidak tertarik denganku, setujui saja!" "Sepakat." Pria itu pun menyodorkan jari kelingkingnya, membiarkan jari mereka saling bertautan. Namun, pria itu tak melepasnya dengan mudah. "Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Apa yang kamu berikan padaku sebagai ganti rugi?" "Aku?" Matanya memperhatikan setiap bagian tubuh pasangannya. Tingginya mencapai 190 cm, wajahnya tampan dengan garis rahang yang jelas. Sorot matanya tajam. Seluruh tubuhnya penuh dengan otot. Urat-urat di tangannya bahkan menonjol keluar meski yang ia lakukan hanyalah memegang kemudi. Tak ada satupun bagian tubuhnya yang terlihat lemah, jadi apa yang perlu ia takutkan? "Apa wanita lemah sepertiku memiliki kekuatan untuk meniduri pria besar dan kuat sepertimu?" Memang menggoda, tapi Audrey sudah bosan melihat pria tampan seperti dia. Diperhatikan seperti itu, nyatanya Earl risih juga. "Itu bisa saja terjadi, kan?" "Aku miskin. Tak ada apapun yang bisa kuberikan!" Sepasang bahunya terangkat. "Tak apa." Diam-diam Earl membuat keputusan secara sepihak. "Kalau kamu berani mencoba tidur denganku, maka kamu harus menjadi budakku seumur hidup!" "Siapa juga yang mau?" "Tapi kamu sudah berjanji." Pria itu tersenyum licik, memberikan sebuah kode lewat tatapan mata agar Audrey melihat ke bawah. Pandangan Audrey pun tertuju ke sana. Menyadari jari kelingking mereka masih bertautan. "Aku anggap ini sebagai tanda persetujuanmu!" Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang, sementara Audrey cemberut, menghentakkan kakinya karena kesal. "Jaga perilakumu. Kamu mau merusak mobilku juga? Aku akan meminta ganti rugi kalau kamu merusak barangku." Mendengar kata 'ganti rugi', mendadak Audrey patuh lagi. Dia tak ingin kehilangan satu juta dollar yang baru saja ia dapatkan darinya. "Baik!" katanya sambil memperbaiki cara duduknya sesopan mungkin. ... "Ini kamar Murphy." Earl menunjuk kamar yang ia lewati di lantai satu. "Murphy?" "Ingat pria besar yang menjagamu saat kamu dikurung? Itu dia. Dia yang akan mengawasimu saat aku tak ada." Audrey bergidik ngeri. Bayangan pria besar memukulnya sedang berkeliaran di kepalanya sekarang. "Aku tidak akan banyak tingkah." Earl berjalan lagi, menunjuk kamar lain yang ukurannya sama dengan kamar sebelumnya. "Kalau yang ini kamar Edgar. Dia bawahanku di kantor." Kali ini, Earl menjelaskan tanpa menunggu Audrey bertanya. "Mereka juga tinggal di sini?" "Ya," jawab Earl. Pria itu naik ke lantai dua. Audrey mengikuti Earl layaknya anak itik, namun kakinya yang pendek kesulitan untuk mengimbangi langkah Earl yang besar. "Kenapa mereka tinggal di rumahmu?" tanyanya penasaran. "Rumahku besar, memangnya kenapa kalau mereka tinggal di sini. Apa kamu lupa di mana kamu tinggal sekarang?" Pria itu menoleh, menyadari betapa jauh jarak diantara mereka. "Kenapa jalanmu lelet sekali?" "A-aku juga mau jalan cepat, tapi sepasang kaki pendek ini tidak mengizinkannya!" Audrey pun berlari mengejar ketertinggalannya. Di lantai dua itu, Earl menunjuk satu kamar paling besar. "Itu kamarku. Kamu tak boleh ke sana. Mendekat pun tak boleh!" "Ya." Audrey mengangguk lagi. Ketika mereka berjalan lagi, Audrey melihat satu kamar yang pintunya terbuka. Melihat box bayi dan berbagai mainan di dalamnya, ia tahu kalau itu kamar untuk calon putri mereka. "Yang ini kamarmu." Earl membuka kamar yang terletak di sebelah kamar bayi. "Masuklah!" "Wow!" Sepasang mata Audrey membesar. Ukuran kamar itu cukup besar untuk 'istri pungut' sepertinya. "Aku sudah meminta orang untuk mengemas semua barangmu. Kamu bisa mengaturnya nanti." Pria itu menunjuk sudut ruangan. Dua koper dan beberapa kotak berukuran besar saling bertumpuk. Audrey terkejut bukan main. Earl yang dia anggap sebagai laki-laki jahat dan arogan, ternyata bisa perhatian seperti ini. Pelan-pelan, Audrey tahu kalau Earl tidak sejahat itu. Dia punya hati nurani. Perhatian kecil itu menyadarkan Audrey kalau dia sudah salah menilai Earl. "Sekarang, duduk dan dengarkan baik-baik!" Pria itu melipat tangannya, memberitahu gadis itu apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan di rumah ini. "Meskipun aku yang memintamu menerima tawaran Ayesha, bukan berarti kamu boleh melakukan apapun sesuka hatimu!" "Aku tahu," jawab Audrey. "Pertama, kamu harus menaatiku,-" "Aku sudah ingat." Audrey menoleh ke samping, menggaruk lehernya. "Kamu sudah mengatakannya hari itu. Aku sudah ingat semuanya." "Bagus." Kali ini Earl membuka kakinya. "Tapi aku belum mengatakan apa konsekuensinya kalau kamu berani melanggar." Audrey tersenyum getir. "Apa itu?" "Akan kuambil lagi satu juta dollar yang sudah kuberikan dan kesepakatan kita batal." "Hah?" Audrey melongo. "T-tapi, kan? Kita sudah telanjur menikah?" "Makanya, kamu sebagai istri harus menurut. Jangan lupa, aku suamimu sekarang!" Ugh. Marah lagi. Marah terus. Tiba-tiba Audrey menyesal setuju menikah dengannya. "Satu lagi," ucap Earl tiba-tiba. "Aku belum mendapatkan posisi yang cocok untukmu di perusahaan. Sampai aku mendapatkannya, tugasmu adalah diam di rumah dan melayaniku." "Melayani?" ...Melihat Audrey pingsan, Ayesha langsung memanggil dokter ke rumah. "Bagaimana, Dokter?" "Dia hanya kelelahan," jawab Dokter. "Biarkan dia istirahat. Dia akan sembuh satu atau dua hari." "Baiklah. Terima kasih, Dokter!" kata Ayesha. Sebelum pergi, dokter itu meninggalkan beberapa obat untuk Audrey. Ayesha yang tak memiliki waktu untuk menjaganya pun menyerahkan tugas itu kepada Rina. "Aku ada urusan di luar, baru pulang nanti malam. Kamu urus dan jaga dia!" "Baik, Nyonya!" jawab Rina. Kebetulan, Murphy masih ada di kamar itu. Dia membantu Rina mengangkat kepala Audrey agar Rina bisa memberi obat. "Coba periksa, badannya panas sekali, kan?" kata Murphy. Rina pun memeriksa kening Audrey, lalu mengambil baskom berisi air hangat. "Murphy, kamu boleh keluar. Aku akan mengompresnya sekarang." "Panggil aku kalau kamu butuh bantuanku!" Murphy pun meninggalkan kamar Audrey, sementara Rina mulai mengompresnya. Rina bahkan mengganti pakaian Audrey dengan baju tidur agar gadi
"Tidak mau!" Audrey beringsut mundur. "Aku tidak menginginkannya." "Benarkah?" Senyum tipis menghiasi bibir Earl. "Tapi kemarin kamu menginginkannya lagi dan lagi. Baru sehari, kamu sudah lupa?" Audrey tak tahu omong kosong yang sedang Earl katakan. Mereka tidak pernah melakukan apa-apa, tapi Audrey tidak memiliki waktu untuk bertanya. Earl sudah naik ke ranjangnya sekarang, mencegah pria itu menodainya adalah hal penting yang harus dia lakukan. "Jangan, Earl! Kumohon jangan mendekat!" Sayangnya Earl mengabaikan larangan itu. Tak hanya menindih, Earl bahkan menyusuri leher gadis itu dengan buas. Adegan seperti ini, Audrey baru pertama kali melakukannya. Itu membuatnya malu dan tak nyaman. "Earl, sadarlah!" Gadis itu mendorong tubuh suaminya. Bukannya menjauh, jaraknya malah semakin dekat karena perbedaan kekuatan yang terlalu besar. Audrey bahkan merasakan Earl mulai menghisap dan menggigit lehernya seperti vampir. "Earl, aku bilang henti,-" Teriakan Audrey terputus. Earl mem
"Ingat, kamu tak boleh ke mana-mana!" begitulah pesan yang Earl tinggalkan sebelum ia pergi. "Aku tahu!" kata Audrey. Karena Earl bekerja, Audrey tak perlu memasak. Dia pun berinisiatif membantu pelayan. Kebetulan mereka sedang mengganti bunga hidup yang mulai layu. "Nona Audrey, jangan!" Rina, kepala pelayan berusia 40-an melarang Audrey melakukan pekerjaan itu. "Kenapa?" Terbiasa bekerja, lalu tidak melakukan apa-apa membuat Audrey bosan. Makanya dia ingin membantu. Hanya merapikan bunga saja, Audrey bisa melakukan itu karena dia pernah bekerja part time di toko bunga saat kuliah. "Nanti Tuan Earl marah!" jawab Rina. "Dia?" Alisnya mengkerut. "Kenapa dia marah?" "Tuan sudah berpesan, tugas Nona hanya melayani Tuan Earl, Nona dilarang melakukan pekerjaan yang lain." "T-tapi?!" Ah, sudahlah. Pria arogan itu tak henti-hentinya membuat Audrey terkejut. Padahal, dia sudah membunuh putrinya, sudah mengirimnya ke rumah sakit, tapi kenapa dia masih begitu baik? Bahkan
"Aku sudah membuka bajuku, dan kamu masih bertanya nafkah apa yang kubicarakan. Kamu itu polos atau bagaimana?" Atasan piyama itu terlepas dari tubuh atletisnya dan Audrey melihat perutnya yang kotak-kotak. Pemandangan seperti ini, Audrey sudah sering melihatnya, namun rasanya berbeda saat Earl melakukannya. Ada perasaan ingin menyentuh, tapi tak berani. Ingin berpaling, tapi sayang jika dilewatkan. Kapan lagi ia bisa melihat pemandangan indah yang memanjakan mata seperti ini? "Cepatlah!" kata Earl. Akhirnya kata itu menyadarkan Audrey dari lamunan. Gadis itu mengambil piyama Earl dan melemparkannya ke pangkuan. "Kamu salah paham. Aku minta uang, bukan hal menjijikkan itu!" "Jadi kamu mau atau tidak?" "Tentu saja tidak!" Audrey berpaling, lalu melipat tangan. "Karena kamu sudah sehat, sebaiknya kamu pindah ke kamarmu. Aku juga ingin tidur di kasur!" "Aku masih sakit." Tanpa memakai piyamanya, Earl langsung merebakan dirinya ke ranjang. Menepuk-nepuk bantal di sebelahnya dan be
"Mencatat apa yang boleh dan tidak boleh kumakan." Audrey menurut. Gadis itu mengambil kertas dan pulpen, siap menulis. "Pertama, aku alergi jamur. Catat itu agar kamu tak lupa!" Audrey mulai menulis, namun dahinya mengkerut. 'Hanya alergi jamur saja apa perlu di catat? Aku bisa mengingatnya seumur hidup'. "Kedua, aku tidak makan kacang-kacangan yang di goreng. Aku hanya makan kacang yang proses masaknya direbus." "Apa bedanya?" Audrey mulai memprotes. Entah itu direbus, disangrai, atau digoreng, semuanya tetap kacang. "Kamu alergi juga?" Earl menggelengkan kepalanya. "Nggak. Cuma ngga suka aja!" "Lalu kenapa aku harus menulis ini?" Earl suka atau tidak, itu bukan urusan Audrey. Seharusnya pria itu cukup memberitahunya apa yang membuatnya alergi dan tidak boleh dimakan. Mereka tidak sedang melakukan pendekatan. 'Dia pikir siapa dirinya sampai aku harus mengingat makanan favoritnya?' Seolah tahu apa yang sedang Audrey pikirkan, Earl pun berkata, "Mulai hari ini tugasmu memasa
"Bagaimana, Dokter?" tanya Audrey ketika Dokter keluar dari ruang perawatan. "Sudah diberi obat, Earl boleh pulang setelah baikan." Dokter pun pergi dan Audrey menemui Earl yang belum siuman. Ada Edgar dan Murphy juga di sana. Berdiri di sebelah ranjang untuk melihat kondisi Earl. Diantara mereka, hanya Edgar yang penampilannya 'agak' pantas dilihat. Pria itu berbadan tinggi. Tubuhnya berotot juga, tapi tidak sebesar Murphy. Dia memakai piyama polos berwarna biru dongker, masih tampan meskipun rambutnya acak-acakan. Sedangkan Murphy memakai piyama berwarna cokelat. Sebenarnya cocok saja dengan warna kulitnya, tapi agak memalukan karena bermotif polkadot. Sangat tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang super besar dan kekar. Sementara Audrey memakai piyama warna hitam bermotif kotak-kotak. Dialah yang paling mencemaskan Earl. Sendalnya? Audrey lupa di mana ia meletakkannya. Dia telanjang kaki sekarang. "Earl alergi jamur, kamu tidak tahu itu?" Si perfeksionis Edgar menegur Aud