Masih tergambar jelas betapa mengerikannya kecelakaan malam itu. Darah segar berceceran di mana-mana dan teriakkan pengunjung memenuhi seisi ruangan.
Audrey tak akan pernah lupa bagaimana ekspresi Ayesha saat ia menggencet perutnya. Wanita malang itu berteriak, meraung kesakitan dan meminta siapapun menyelamatkan putrinya.
"Sayang?" Ayesha kini meraih tangan Earl, memegangnya lembut. "Ada hal yang ingin kubicarakan dengannya. Bisakah kamu menunggu di luar?"
"Tapi,-"
"Sebentar saja!" bujuk Ayesha.
Memenuhi permintaan sang istri, Earl pun meninggalkan ruangan itu. "Baiklah kalau itu maumu!"
Pria itu pun keluar dan Ayesha menggerakkan kursi rodanya untuk mendekati Audrey. "Apa kau puas sekarang?"
Masih dalam posisi berlutut, Audrey menggelengkan kepalanya. "Maafkan aku!"
"Kamu pikir aku bisa memaafkanmu?" Dengan tangan gemetar, Ayesha meraih tangan Audrey. Meletakkan tangan kecil itu di perutnya yang kini telah mengempis. "Kamu baru saja membunuh putriku dan dengan mudahnya kamu meminta maaf?"
Kehilangan buah hati yang mereka tunggu-tunggu, siapa yang tak sedih?
Apalagi kematiannya dengan cara tragis seperti kemarin.
Menyesal, putus asa, merasa bersalah. Audrey pun memutuskan untuk menerima hukuman penjara yang Earl inginkan. "Kalau begitu, kirim saja aku ke penjara. Itu yang kamu inginkan, bukan?"
"Tidak!" Ayesha menggelengkan kepalanya. "Aku mau kamu menikah dengan suamiku dan mengganti anak yang kamu hilangkan itu, Audrey!"
Seketika, dahi Audrey mengkerut.
Audrey mengerti, Ayesha pasti terpukul atas kematian putrinya.
Dia tahu Ayesha pasti ingin segera memiliki anak lagi, tapi apa harus dia yang jadi penggantinya?
"Apa kamu sadar dengan apa yang kamu katakan?" Audrey memalingkan wajahnya, tak ingin lagi berbincang dengan Ayesha yang ia pikir sedang tidak berpikir jernih.
"Pergilah, pulihkan kondisimu, kamu akan hamil lagi setelah sembuh. Jadi jangan memintaku menikah dengan suamimu!"
Audrey berharap Ayesha paham dengan apa yang ia katakan, namun Ayesha terlihat murung dan matanya berkaca-kaca. "Tapi, aku tidak akan pernah bisa hamil lagi, Audrey!"
"Kenapa tidak bisa?" tanya Audrey.
"Karena kamu telah merusak rahimku!” Ayesha terpancing emosi. Nafasnya tak beraturan setelah mengatakan itu; sebuah jawaban yang membuat Audrey mematung seketika.
"Apa maksudnya aku merusak rahimmu? M-mungkinkah... saat aku mendorongmu kemarin?"
Lucu sekali. Audrey menunjuk dirinya sendiri dan bertanya siapa pelakunya. Padahal, dia sendiripun tahu jawabannya.
"Ya." Ayesha mengangguk pelan. "Jadi tolong, menikah dengan suamiku dan lahirkan anak untukku, Audrey!"
"Tidak!"
Audrey jelas menolak.
Dia memiliki kekasih yang sangat dia cintai, menikah dengannya adalah impian terbesarnya.
Mustahil baginya menikah dengan Earl.
Selain itu, siapa yang begitu bodoh sampai bersedia menikah dengan pria beristri?
"Lupakan saja!" Audrey menatap Ayesha dengan mimik wajah serius. "Lebih baik aku mendekam di penjara daripada harus menikah dengan suamimu!"
"Benarkah?" tanya Ayesha.
Wanita itu mengusap air mata yang mulai mengering, kemudian meraih ponsel yang ia simpan di dalam kantong.
Dia tahu Audrey tak akan setuju, namun Ayesha tidak datang tanpa persiapan.
"Apa kamu tidak ingin bertemu dengan ibumu, Audrey?" tanyanya sembari menunjukkan sebuah foto usang.
"Kamu!" Audrey mengepalkan tangannya kuat-kuat. Marah. "Apa yang kamu lakukan di rumahku?"
"Bukan aku," jawab Ayesha. Gadis itu kembali menyimpan ponselnya dan berkata, "Aku meminta Earl mengirim dua ajudannya mendatangi alamat ini."
"Dia?"
"Ya." Ayesha menggangguk. "Memenjarakan seorang pembunuh bukan hukuman yang setimpal. Kamu harus merasakan apa yang aku rasa, Audrey!"
“Kau membunuh anakku, membuatku depresi, juga melukai hati Earl. Sudah tiga orang kau sakiti! Sekarang, pilihlah. Kau mau menikah dengan Earl atau nyawa anakku harus dibayar dengan nyawa ibumu? Pikirkan baik-baik!”
Setelah mengatakan itu, Ayesha pun pergi meninggalkan Audrey. Sementara Audrey menyapu bersih benda yang ada di meja hingga berserakan di lantai.
"Sial!" Gadis itu memukul meja berkali-kali.
Gadis itu kini dilanda kebingungan.
Foto usang tentang ibunya rusak karena banyaknya tetesan air mata karena Audrey merindukan ibunya. "Apa yang harus kulakukan?"
Ternyata Earl mendengar percakapan itu dari ruang kerjanya.
Meski ruang Audrey disekap penuh dengan tembok baja, ada beberapa CCTV yang bisa merekam semuanya, termasuk suara.
Begitu ajudan Earl tiba bersama Ayesha, Earl langsung menyambutnya dengan dahi mengkerut. "Kamu gila, ya? Mana mungkin ada istri yang mau dimadu?”
“Aku,” lirih Ayesha.
Akhirnya, pria itu pun bangkit dari duduknya. Menghampiri Ayesha dan menggenggam tangannya erat-erat "Aku akan setia dan aku akan mencari cara. Jadi, bisakah jangan memintaku menikah lagi?"
Mendengar ucapan suaminya, Ayesha pun tersenyum tipis. "Caranya memang ada, tapi aku tidak sanggup jika harus menunggu selama itu."
Hanya ada dua cara agar mereka keturunan. Yang pertama adalah transplantasi rahim. Masalahnya, cara ini lebih sulit direalisasikan.
Sedangkan cara yang kedua adalah dengan mencari ibu pengganti. Mereka hanya perlu meminjam rahim wanita lain, meminta wanita itu mengandung dan melahirkan anak mereka.
Namun, kondisi Ayesha yang belum pulih tidak memungkinkan untuk melakukan prosedur surrogacy gestasional.
Untuk itulah ia memilih cara yang lain.
Meminta suaminya menikah dengan Audrey dan membiarkan gadis itu melahirkan anak untuknya. Tak masalah siapapun ibunya.
Asal benih itu berasal dari Earl, itu sudah cukup untuknya.
Di sisi lain, Earl sangat menentang keinginan itu. Menikah lagi bukanlah apa yang dia inginkan, bahkan meskipun tujuannya adalah mendapat keturunan.
Pria itu memijit keningnya yang pusing dan berkata, "Ayesha, aku bersedia menunggu. Jadi, mari bersabar dan memikirkannya lagi saat kamu pulih."
Earl pikir, Ayesha akan mengerti. Namun, wanita itu menarik tangannya dan berteriak dengan lantang. "Tapi kakek dan nenekmu tidak mungkin menunggu selama itu!"
Mendengar kakek dan neneknya disebut, Earl pun terdiam.
Mereka memang sangat mendambakan cicit darinya.
Jika mereka tahu kalau Ayesha tak akan pernah bisa hamil lagi, mereka pasti akan meminta Earl menceraikannya dan menikahi gadis lain.
"Sayang?" Earl menghela nafasnya dalam-dalam, meyakinkan Ayesha agar ia percaya. Namun, Ayesha menyela pembicaraannya dengan bertanya, "Bukankah kamu mencintaiku?"
"Tentu saja aku mencintaimu."
"Kalau begitu nikahi Audrey, aku menginginkannya. Kamu bisa merahasiakan identitasnya dan menceraikannya setelah dia melahirkan seorang anak."
Kali ini, Ayesha yang menggenggam tangan Earl. Menatap Earl penuh harap agar pria itu mengabulkan keinginannya. "Maukah kamu melakukan itu untukku?"
"Menikahinya untuk melahirkan anak?" Pria itu mendesah membayangkan tugas berat itu. "Bagaimana caraku melakukannya?"
Tidak benar. Jika mereka sampai menikah, bukan hubungan suami-istri yang akan terjadi di malam pengantin, melainkan perseteruan tanpa ujung.
"Maaf, Ayesha!" Setelah sekian lama, akhirnya Earl membuka mata. "Aku tidak bisa melakukannya."
Cukup lama pria itu merenung. Diam tak bergerak sampai terdengar suara ketukan pintu di luar sana.
Tok ... Tok... Tok ....
"Earl!" Suara itu milik Edgar, sahabat sekaligus adik tingkatnya saat mereka di kampus. Pria itu masuk dengan membawa sebuah amplop coklat di tangannya. Saat Edgar masuk, Ayesha minta diantar keluar.
Earl heran menatap Edgar yang panik, "Ada apa?"
"Aku membawa informasi dan data diri Nona Audrey." Edgar menyodorkan amplop itu ke meja, sementara Earl menatap pria itu dan bertanya, "No-Nona Audrey...”
Melihat Audrey pingsan, Ayesha langsung memanggil dokter ke rumah. "Bagaimana, Dokter?" "Dia hanya kelelahan," jawab Dokter. "Biarkan dia istirahat. Dia akan sembuh satu atau dua hari." "Baiklah. Terima kasih, Dokter!" kata Ayesha. Sebelum pergi, dokter itu meninggalkan beberapa obat untuk Audrey. Ayesha yang tak memiliki waktu untuk menjaganya pun menyerahkan tugas itu kepada Rina. "Aku ada urusan di luar, baru pulang nanti malam. Kamu urus dan jaga dia!" "Baik, Nyonya!" jawab Rina. Kebetulan, Murphy masih ada di kamar itu. Dia membantu Rina mengangkat kepala Audrey agar Rina bisa memberi obat. "Coba periksa, badannya panas sekali, kan?" kata Murphy. Rina pun memeriksa kening Audrey, lalu mengambil baskom berisi air hangat. "Murphy, kamu boleh keluar. Aku akan mengompresnya sekarang." "Panggil aku kalau kamu butuh bantuanku!" Murphy pun meninggalkan kamar Audrey, sementara Rina mulai mengompresnya. Rina bahkan mengganti pakaian Audrey dengan baju tidur agar gadi
"Tidak mau!" Audrey beringsut mundur. "Aku tidak menginginkannya." "Benarkah?" Senyum tipis menghiasi bibir Earl. "Tapi kemarin kamu menginginkannya lagi dan lagi. Baru sehari, kamu sudah lupa?" Audrey tak tahu omong kosong yang sedang Earl katakan. Mereka tidak pernah melakukan apa-apa, tapi Audrey tidak memiliki waktu untuk bertanya. Earl sudah naik ke ranjangnya sekarang, mencegah pria itu menodainya adalah hal penting yang harus dia lakukan. "Jangan, Earl! Kumohon jangan mendekat!" Sayangnya Earl mengabaikan larangan itu. Tak hanya menindih, Earl bahkan menyusuri leher gadis itu dengan buas. Adegan seperti ini, Audrey baru pertama kali melakukannya. Itu membuatnya malu dan tak nyaman. "Earl, sadarlah!" Gadis itu mendorong tubuh suaminya. Bukannya menjauh, jaraknya malah semakin dekat karena perbedaan kekuatan yang terlalu besar. Audrey bahkan merasakan Earl mulai menghisap dan menggigit lehernya seperti vampir. "Earl, aku bilang henti,-" Teriakan Audrey terputus. Earl mem
"Ingat, kamu tak boleh ke mana-mana!" begitulah pesan yang Earl tinggalkan sebelum ia pergi. "Aku tahu!" kata Audrey. Karena Earl bekerja, Audrey tak perlu memasak. Dia pun berinisiatif membantu pelayan. Kebetulan mereka sedang mengganti bunga hidup yang mulai layu. "Nona Audrey, jangan!" Rina, kepala pelayan berusia 40-an melarang Audrey melakukan pekerjaan itu. "Kenapa?" Terbiasa bekerja, lalu tidak melakukan apa-apa membuat Audrey bosan. Makanya dia ingin membantu. Hanya merapikan bunga saja, Audrey bisa melakukan itu karena dia pernah bekerja part time di toko bunga saat kuliah. "Nanti Tuan Earl marah!" jawab Rina. "Dia?" Alisnya mengkerut. "Kenapa dia marah?" "Tuan sudah berpesan, tugas Nona hanya melayani Tuan Earl, Nona dilarang melakukan pekerjaan yang lain." "T-tapi?!" Ah, sudahlah. Pria arogan itu tak henti-hentinya membuat Audrey terkejut. Padahal, dia sudah membunuh putrinya, sudah mengirimnya ke rumah sakit, tapi kenapa dia masih begitu baik? Bahkan
"Aku sudah membuka bajuku, dan kamu masih bertanya nafkah apa yang kubicarakan. Kamu itu polos atau bagaimana?" Atasan piyama itu terlepas dari tubuh atletisnya dan Audrey melihat perutnya yang kotak-kotak. Pemandangan seperti ini, Audrey sudah sering melihatnya, namun rasanya berbeda saat Earl melakukannya. Ada perasaan ingin menyentuh, tapi tak berani. Ingin berpaling, tapi sayang jika dilewatkan. Kapan lagi ia bisa melihat pemandangan indah yang memanjakan mata seperti ini? "Cepatlah!" kata Earl. Akhirnya kata itu menyadarkan Audrey dari lamunan. Gadis itu mengambil piyama Earl dan melemparkannya ke pangkuan. "Kamu salah paham. Aku minta uang, bukan hal menjijikkan itu!" "Jadi kamu mau atau tidak?" "Tentu saja tidak!" Audrey berpaling, lalu melipat tangan. "Karena kamu sudah sehat, sebaiknya kamu pindah ke kamarmu. Aku juga ingin tidur di kasur!" "Aku masih sakit." Tanpa memakai piyamanya, Earl langsung merebakan dirinya ke ranjang. Menepuk-nepuk bantal di sebelahnya dan be
"Mencatat apa yang boleh dan tidak boleh kumakan." Audrey menurut. Gadis itu mengambil kertas dan pulpen, siap menulis. "Pertama, aku alergi jamur. Catat itu agar kamu tak lupa!" Audrey mulai menulis, namun dahinya mengkerut. 'Hanya alergi jamur saja apa perlu di catat? Aku bisa mengingatnya seumur hidup'. "Kedua, aku tidak makan kacang-kacangan yang di goreng. Aku hanya makan kacang yang proses masaknya direbus." "Apa bedanya?" Audrey mulai memprotes. Entah itu direbus, disangrai, atau digoreng, semuanya tetap kacang. "Kamu alergi juga?" Earl menggelengkan kepalanya. "Nggak. Cuma ngga suka aja!" "Lalu kenapa aku harus menulis ini?" Earl suka atau tidak, itu bukan urusan Audrey. Seharusnya pria itu cukup memberitahunya apa yang membuatnya alergi dan tidak boleh dimakan. Mereka tidak sedang melakukan pendekatan. 'Dia pikir siapa dirinya sampai aku harus mengingat makanan favoritnya?' Seolah tahu apa yang sedang Audrey pikirkan, Earl pun berkata, "Mulai hari ini tugasmu memasa
"Bagaimana, Dokter?" tanya Audrey ketika Dokter keluar dari ruang perawatan. "Sudah diberi obat, Earl boleh pulang setelah baikan." Dokter pun pergi dan Audrey menemui Earl yang belum siuman. Ada Edgar dan Murphy juga di sana. Berdiri di sebelah ranjang untuk melihat kondisi Earl. Diantara mereka, hanya Edgar yang penampilannya 'agak' pantas dilihat. Pria itu berbadan tinggi. Tubuhnya berotot juga, tapi tidak sebesar Murphy. Dia memakai piyama polos berwarna biru dongker, masih tampan meskipun rambutnya acak-acakan. Sedangkan Murphy memakai piyama berwarna cokelat. Sebenarnya cocok saja dengan warna kulitnya, tapi agak memalukan karena bermotif polkadot. Sangat tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang super besar dan kekar. Sementara Audrey memakai piyama warna hitam bermotif kotak-kotak. Dialah yang paling mencemaskan Earl. Sendalnya? Audrey lupa di mana ia meletakkannya. Dia telanjang kaki sekarang. "Earl alergi jamur, kamu tidak tahu itu?" Si perfeksionis Edgar menegur Aud