Share

Bab 3

Penulis: Gusti
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-11 12:48:40

Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa panas, menyesakkan dada Blair. Dari jarak ini, Blair bisa mencium aroma parfum maskulin pria di hadapannya, membuat ia menahan napas tanpa sadar.

Tangan pria itu yang terasa kasar di pipi Blair yang halus terasa mengekang, seakan tidak berniat melepaskan Blair dalam waktu dekat.

Blair terjebak di sana.

Tangan Blair mencengkeram dompet yang masih ada di tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. 

“Maafkan … maafkan saya, Tuan. Kemarin saya sungguh tidak bermaksud–”

“Diam.”

Takut. Itu yang ia rasakan sekarang setelah mengetahui ia telah mengganggu pria ini kemarin dan kini sedang menanggung akibatnya. Kini, bahkan Blair sendiri tidak yakin Dimitri akan membayarnya. Pria itu bisa saja memang dengan sengaja ingin menjebak Blair seperti ini.

Tanpa sadar, satu bulir air mata mengalir di pipi Blair saat mengingat kekasih yang mungkin sedang menunggu biaya operasi tersebut.

‘Mateo,’ batin Blair. ‘Maafkan aku.’

Mereka tetap dalam posisi itu selama beberapa saat hingga jemari Dimitri perlahan menyingkirkan helaian rambut menempel di pipi basah Blair. Sentuhannya dingin, kontras dengan kulit Blair yang hangat. 

Ibu jari pria itu menyapu bibir Blair yang pecah, menekannya pelan seolah membungkam kata lain yang ingin keluar dari kerongkongan.

“Duduk.”

Satu kata perintah membuat Blair langsung mundur selangkah, tepat setelah Dimitri memutar posisi mereka.

Lututnya menabrak pinggir sofa, tubuhnya jatuh terduduk. 

Dimitri menatap sejenak, lalu tangannya meraih bahu Blair, menariknya ke belakang hingga punggung gadis itu menempel pada sandaran sofa yang dingin sementara jemari Dimitri yang lain turun ke pundak, menarik gaun menutupi dada Blair hingga kain itu merosot turun. 

Langsung saja, Blair menutup dadanya dengan tangan, tapi Dimitri meraih pergelangan tangan Blair dan menahannya.

“Jangan tutupi apa yang sudah kubeli,” ucap Dimitri pelan, nadanya tajam tapi teredam. Jemari pria itu kemudian menyusuri tulang selangka Blair, lalu turun ke dadanya yang bergetar.

“Kamu di sini karena butuh uang. Aku di sini karena aku menginginkanmu.” Suara Dimitri terdengar jernih di ruangan tersebut. “Jangan bertingkah seakan-akan aku memaksamu ada di sini.”

Napas Blair tercekat, sementara tangan mengepal di samping paha, seolah dengan itu Blair bisa bertahan lebih lama.

Pelan, Dimitri menunduk, bibirnya mendarat di leher Blair. Ciuman pertamanya hanya gigitan kecil—cukup untuk menandai kulit pucat di bawahnya. Blair bisa merasakan tangan kokoh Dimitri di pinggulnya, meremas milik Blair pelan.

Suara detik jam berdetak seperti palu godam di telinga Blair. Dia menatap langit-langit, membiarkan air mata mengalir di sudut mata.

“Mateo … maafkan aku.” Bisiknya dalam hati.

Ketika Dimitri menatap kembali, ia menangkap basah air mata di pipi Blair.

“Kau menangis?” tanyanya.

Blair membuang muka, menolak menjawab.

Sebuah dengkusan rendah lolos dari tenggorokan Dimitri. Tangannya meraih dagu Blair, memaksa wajah itu menatap.

Bibir Dimitri mendarat di bibir Blair—menuntut, dingin, menekan setiap protes yang ingin keluar.

Blair tersedak napasnya sendiri. Ciuman itu menelan suara isaknya, menarik napas hingga habis. Sementara itu, tangan Dimitri bergerak turun, menelusuri sisi perut Blair, berhenti di pangkal pahanya. Sentuhan pertama membuat Blair refleks menutup lututnya rapat-rapat.

Namun, Dimitri mendorongnya pelan. Membelah ruang pertahanan kecil yang tersisa.

“Tenang,” desisnya di sela bibir. “Kalau kau tegang, akan semakin perih.”

Satu tetes air mata jatuh ke bibir Blair dan Dimitri mengecupnya, menelannya bersama napas Blair yang patah-patah. Sentuhan itu merambat lebih dalam.

Jauh ke dalam diri Blair, mengusik sesuatu yang selama ini ia pertahankan untuk Mateo, calon suaminya nanti.

Malam itu, Blair menyerahkan semuanya

Blair mencengkeram bahu Dimitri, kukunya menancap kuat pada kain jas gelap itu. Tangannya dingin, tapi tubuh pria itu membakar kulit Blair yang menempel di dadanya.

Punggung Blair melengkung ke sofa. Detik-detik berikutnya terasa seperti napasnya direnggut paksa. Sakit menjalar dari pinggang hingga ke dasar perut.

Nafasnya tersengal, isakan pecah meski bibirnya tertutup oleh ciuman Dimitri yang lagi-lagi membungkamnya.

Rasa sakit perlahan berganti dengan kehangatan aneh yang menusuk rongga dada. Blair tidak paham kenapa dan bagaimana bisa. Namun, ia tidak sempat berpikir karena semua yang dilakukan Dimitri membuat tubuhnya menggila.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 5

    Dimitri Oliver duduk di belakang meja kerjanya yang besar dari kayu mahoni gelap, di dalam kantor pribadi di lantai tertinggi Vespera Tower.Di balik jendela kaca setebal sepuluh sentimeter, pemandangan kota terbentang tanpa batas.Tapi, matanya tak tertarik pada kilau lampu malam atau lalu lintas yang menggeliat seperti ular. Pandangannya tertuju pada berkas di tangannya.Sepotong foto terjepit di sudut halaman.Blair Firenze.Rambut cokelat gelap, mata sendu yang tak pernah sepenuhnya menatap kamera, dan senyum yang dipaksakan dalam potret hitam putih.“Anak tunggal. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan saat ia masih sekolah. Tinggal di panti asuhan dua tahun sebelum keluar dan mulai bekerja. Dua pekerjaan, dua dunia.” Alex berdiri di hadapan Dimitri, suaranya datar.Dimitri tidak mengangkat wajah. Tangannya membalik halaman berikutnya, membaca setiap detail. Tempat kerja, alamat rumah sewa, beberapa hal tentangnya.“Kau yakin ini lengkap?” tanya Dimitri pelan.“Ya, Tuan.”“Tida

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 4

    Di setiap langkah, rasa perih masih terasa di antara paha.Sakitnya tak seberapa dibandingkan gemuruh di kepala—suara Dimitri, napas, tatapan gelap, dan bunyi detak jam di lounge yang beradu dengan detak jantungnya sendiri.Semua terasa menempel di kulit, menolak luruh meski hujan membasahi rambutnya di perjalanan.Hujan sisa malam masih menempel di ujung rambut Blair ketika ia menata gelas kopi di meja bar. Suara gerimis di luar jendela kafe berpadu dengan denting sendok, aroma kopi robusta, dan bisik tawa tamu di sudut ruangan."Kopi," pinta salah satu pelanggan mengingatkan.Blair tersenyum pahit, tetap bersikap professional.Di balik apron hitam, pundaknya terasa berat seolah hujan semalam tidak hanya membasahi rambut, tapi juga hati yang belum kering.Angeline, rekan kerjanya, berdiri di belakang mesin espresso. Gadis itu sesekali mencuri pandang ke arah Blair yang berdiri terpaku di ujung meja kasir.“Wajahmu sangat pucat. Kau yakin mau tetap kerja hari ini?” tanya Angeline pela

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 3

    Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa panas, menyesakkan dada Blair. Dari jarak ini, Blair bisa mencium aroma parfum maskulin pria di hadapannya, membuat ia menahan napas tanpa sadar.Tangan pria itu yang terasa kasar di pipi Blair yang halus terasa mengekang, seakan tidak berniat melepaskan Blair dalam waktu dekat.Blair terjebak di sana.Tangan Blair mencengkeram dompet yang masih ada di tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Maafkan … maafkan saya, Tuan. Kemarin saya sungguh tidak bermaksud–”“Diam.”Takut. Itu yang ia rasakan sekarang setelah mengetahui ia telah mengganggu pria ini kemarin dan kini sedang menanggung akibatnya. Kini, bahkan Blair sendiri tidak yakin Dimitri akan membayarnya. Pria itu bisa saja memang dengan sengaja ingin menjebak Blair seperti ini.Tanpa sadar, satu bulir air mata mengalir di pipi Blair saat mengingat kekasih yang mungkin sedang menunggu biaya operasi tersebut.‘Mateo,’ batin Blair. ‘Maafkan aku.’Mereka tetap dalam posisi itu sela

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 2

    Sepasang mata Blair yang penuh harap itu melebar. Tidak menyangka pertanyaan itu ditanyakan secara frontal oleh rekan kerjanya tersebut.“Nia–”“Dengar dulu,” potong Nia. Wajahnya serius. “Aku dengar ada permintaan dari tamu VVIP. Pria itu minta dicarikan seorang gadis untuk menemaninya semalam saja. Tapi syaratnya … itu. Gadis perawan.”Dada Blair seketika sesak. “Maksudmu … tidur dengannya?”Nia menatap Blair tanpa berkedip.“Iya. Kamu tidak seperti gadis-gadis lain di sana. Kamu hanya bekerja. Kamu tidak pernah menjual diri, dan dia suka yang seperti itu. Sekali saja, Blair. Kamu bisa dapat tiga ratus juta, bahkan lebih.”“Aku tidak bisa,” bisik Blair.Napasnya tercekat di tenggorokan.“Aku bukan perempuan seperti itu, Nia.”“Aku tahu,” potong Nia cepat. “Tapi memangnya kamu mau melihat kekasihmu pergi hanya karena kamu menolak satu malam?”Blair menunduk. Matanya panas. Bayangan Mateo di ranjang besi muncul lagi di kepala, wajah pucat, tangan dingin, janji pernikahan yang tak pern

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 1

    “Aahh–jangan khawatir, Tuan. Aku akan memuaskanmu malam ini.”Langkah Blair terhenti saat mendengar suara tersebut. Desahan penuh kenikmatan, disertai kalimat menggoda itu membuat matanya tak tahan untuk melirik ke kiri. Pintu ruangan itu terbuka sedikit—tidak lebar, hanya beberapa sentimeter. Tapi cukup untuk melihat.Dari posisinya, Blair bisa melihat seorang pria duduk di sofa kulit gelap. Bajunya terbuka sebagian. Tangannya mencengkeram rambut panjang seorang perempuan yang berada di atas pahanya, berlutut di antara kedua kakinya. Kepala perempuan itu bergerak naik-turun, menghasilkan suara-suara asing dair dalam mulutnya.Tubuh Blair seketika membeku. Ia tidak menyangka akan menyaksikan hal tersebut.Memang, ia bekerja di kelab malam yang sering dijadikan tempat bercumbu, tapi Blair tidak menyangka ia akan menjadi saksi malam ini.Padahal Ia hanya berniat mengambil baki kosong di ujung lorong VIP ini.“Aaahh–”Suara desahan nyaring di dalam ruangan seketika menyadarkan Blair–ia t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status