Blair Firenze rela menjadi simpanan seorang mafia kejam berhati dingin, demi menyelamatkan kekasihnya yang mengalami kecelakaan hebat dan membutuhkan banyak uang.
Lihat lebih banyak“Aahh–jangan khawatir, Tuan. Aku akan memuaskanmu malam ini.”
Langkah Blair terhenti saat mendengar suara tersebut. Desahan penuh kenikmatan, disertai kalimat menggoda itu membuat matanya tak tahan untuk melirik ke kiri. Pintu ruangan itu terbuka sedikit—tidak lebar, hanya beberapa sentimeter. Tapi cukup untuk melihat.
Dari posisinya, Blair bisa melihat seorang pria duduk di sofa kulit gelap. Bajunya terbuka sebagian. Tangannya mencengkeram rambut panjang seorang perempuan yang berada di atas pahanya, berlutut di antara kedua kakinya. Kepala perempuan itu bergerak naik-turun, menghasilkan suara-suara asing dair dalam mulutnya.
Tubuh Blair seketika membeku. Ia tidak menyangka akan menyaksikan hal tersebut.
Memang, ia bekerja di kelab malam yang sering dijadikan tempat bercumbu, tapi Blair tidak menyangka ia akan menjadi saksi malam ini.
Padahal Ia hanya berniat mengambil baki kosong di ujung lorong VIP ini.
“Aaahh–”
Suara desahan nyaring di dalam ruangan seketika menyadarkan Blair–ia tidak boleh ada di sini.
Segera, ia mundur, berbalik dan berjalan terburu hingga tidak sengaja tersandung sepatunya sendiri.
“Siapa di sana?”
Suara pria itu terdengar dingin. Berat, dan berbahaya.
Blair yang berniat mengambil heels-nya jadi memutuskan untuk meninggalkannya begitu saja dan menuruni tangga secepat mungkin.
Tangannya dingin. Jantungnya berdetak kencang. Selain rasa malu dan takut, ada sensasi perasaan asing yang belum pernah dia rasakan sebelumnya saat mengingat adegan tadi. Ia tidak paham perasaan apa itu, tapi ada satu hal yang ia yakini.
Semoga Blair tidak melihat pria itu lagi.
***
Tatapan Blair jatuh pada sesosok pria yang tengah berbaring di ranjang tempat tidur. Matanya tertutup rapat, sementara selang oksigen terpasang di hidungnya.
“Mateo .…” bisiknya.
Suaranya nyaris hilang tertelan bunyi mesin pemantau detak jantung.
Sepulang dari kelab dini hari seperti rutinitasnya yang biasa, Blair langsung ke rumah sakit untuk menunggui kekasihnya yang saat ini masih koma. Situasi inilahnyang membuat Blair bekerja di kelab tersebut–karena ia perlu biaya untuk membayar tagihan rumah sakit Mateo.
Pintu ruangan terbuka pelan. Blair mendongak cepat. Dokter Pradipta berdiri di ambang pintu, map hijau di tangan, wajahnya diliputi gurat lelah.
“Blair,” panggilnya. “Bisa bicara sebentar?”
Blair bangkit, merapikan sweater abu-abunya yang penuh noda kopi kering. Dia menoleh pada Mateo sekali lagi, menepuk tangan tunangannya seolah Mateo akan memprotes kalau dia tinggal.
Mereka pun berdiri di koridor.
“Bagaimana keadaan Mateo, Dok?” tanya Blair pelan.
“Keadaan Mateo memang tampaknya stabil, tapi … hasil tes menunjukkan bahwa ada penekanan di pembuluh otaknya. Kalau dibiarkan, bisa memicu pendarahan serius.”
Blair mengangguk pelan, meski kata-kata dokter tak sepenuhnya tertangkap utuh.
“Apa harus operasi?”
“Ya. Prosedur minor, tapi kami butuh alat dan obat yang tidak murah. Minggu depan harus sudah dilakukan. Kalau lewat dari itu, risikonya besar.”
Blair menahan napas, meremas lengan sweaternya.
“Berapa, Dok, biayanya?”
“Totalnya sekitar tiga ratus dua puluh juta.”
Suara Dokter Pradipta seolah menggema di kepala. Angka itu bergema di kepala, membuat perutnya mual.
“Kami butuh jaminan setidaknya separuh di muka, Blair. Rumah sakit tidak bisa menanggung semua biaya tanpa kejelasan. Aku paham ini berat, tapi kalau sampai Sabtu tidak ada kepastian terpaksa Mateo harus dirujuk ke rumah sakit pemerintah. Kamu tahu sendiri, risikonya di sana.”
Blair hanya mengangguk. Napas terasa berat, seperti ada batu besar menindih dadanya.
Padahal Blair sudah tidak punya uang. Ia belum mendapat gaji bulanannya, dan uang tips dari kelab pun hanya cukup untuk makan dan ongkos transportasi.
Sepeninggal sang dokter, Blair berdiri mematung di lorong, menatap hujan di balik kaca. Tiga ratus dua puluh juta. Bahkan seratus ribu saja terasa mustahil akhir-akhir ini.
Entah berapa lama Blair di sana hingga akhirnya ia dikejutkan oleh seseorang yang memanggil namanya.
“Blair?”
Blair menoleh, mendapati Nia, rekan kerjanya di kelab. Baru kemudian Blair menyadari bahwa matahari sudah mulai naik dan rumah sakit sudah mulai ramai.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Nia. Lalu seperti menyadari sesuatu, Nia bertanya dengan lebih lembut. “Pacarmu dirawat di sini?”
Blair tersenyum, lalu mengangguk singkat.
Nia tampak bersimpati saat melihat betapa mengenaskannya wajah Blair. Ia lalu menyentuh lengan Blair dan berkata, “Kamu pasti belum makan sejak semalam, kan? Ayo kita ke kantin dulu untuk makan. Aku punya waktu untuk menemani.
Blair menggeleng. “Tidak, Nia. Aku makan di rumah saja nanti.”
Alasan sebenarnya adalah karena Blair tidak punya uang.
Nia memandangi wajah Blair cukup lama. “Biar aku yang bayar, Blair. Sekali-sekali,” katanya kemudian.
Namun, Blair menolak. Ia tidak merasa lapar. Tidak mungkin ia nafsu makan setelah mendengar nominal uang yang tadi disebutkan oleh dokter.
“Nia, Dokter bilang Mateo harus operasi minggu depan.” Blair berbisik pelan. Merasa harus mengeluarkan itu dari dadanya. “Kalau tidak, dia bisa pendarahan. Biayanya kamu tahu? Tiga ratus dua puluh juta.”
Nia menatapnya kaget, “Sebesar itu?”
Blair tersenyum pahit. Ia sudah mencoba banyak hal sebelum ini–karena memang biaya rumah sakit Mateo tidak sedikit. Ia bahkan bekerja di dua tempat sekaligus. Pagi hingga sore di kafe, lalu malamnya lanjut di kelab sampai pagi. Namun, masih belum cukup.
Dan sekarang, Mateo harus operasi.
Blair harus dapat uang dari mana lagi?
“Blair … aku bisa membantumu. Tapi aku ada pertanyaan terlebih dahulu.”
Blair langsung menatap rekan kerjanya tersebut. “Apa, Nia?”
“Apakah kamu masih perawan?”
Dimitri Oliver duduk di belakang meja kerjanya yang besar dari kayu mahoni gelap, di dalam kantor pribadi di lantai tertinggi Vespera Tower.Di balik jendela kaca setebal sepuluh sentimeter, pemandangan kota terbentang tanpa batas.Tapi, matanya tak tertarik pada kilau lampu malam atau lalu lintas yang menggeliat seperti ular. Pandangannya tertuju pada berkas di tangannya.Sepotong foto terjepit di sudut halaman.Blair Firenze.Rambut cokelat gelap, mata sendu yang tak pernah sepenuhnya menatap kamera, dan senyum yang dipaksakan dalam potret hitam putih.“Anak tunggal. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan saat ia masih sekolah. Tinggal di panti asuhan dua tahun sebelum keluar dan mulai bekerja. Dua pekerjaan, dua dunia.” Alex berdiri di hadapan Dimitri, suaranya datar.Dimitri tidak mengangkat wajah. Tangannya membalik halaman berikutnya, membaca setiap detail. Tempat kerja, alamat rumah sewa, beberapa hal tentangnya.“Kau yakin ini lengkap?” tanya Dimitri pelan.“Ya, Tuan.”“Tida
Di setiap langkah, rasa perih masih terasa di antara paha.Sakitnya tak seberapa dibandingkan gemuruh di kepala—suara Dimitri, napas, tatapan gelap, dan bunyi detak jam di lounge yang beradu dengan detak jantungnya sendiri.Semua terasa menempel di kulit, menolak luruh meski hujan membasahi rambutnya di perjalanan.Hujan sisa malam masih menempel di ujung rambut Blair ketika ia menata gelas kopi di meja bar. Suara gerimis di luar jendela kafe berpadu dengan denting sendok, aroma kopi robusta, dan bisik tawa tamu di sudut ruangan."Kopi," pinta salah satu pelanggan mengingatkan.Blair tersenyum pahit, tetap bersikap professional.Di balik apron hitam, pundaknya terasa berat seolah hujan semalam tidak hanya membasahi rambut, tapi juga hati yang belum kering.Angeline, rekan kerjanya, berdiri di belakang mesin espresso. Gadis itu sesekali mencuri pandang ke arah Blair yang berdiri terpaku di ujung meja kasir.“Wajahmu sangat pucat. Kau yakin mau tetap kerja hari ini?” tanya Angeline pela
Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa panas, menyesakkan dada Blair. Dari jarak ini, Blair bisa mencium aroma parfum maskulin pria di hadapannya, membuat ia menahan napas tanpa sadar.Tangan pria itu yang terasa kasar di pipi Blair yang halus terasa mengekang, seakan tidak berniat melepaskan Blair dalam waktu dekat.Blair terjebak di sana.Tangan Blair mencengkeram dompet yang masih ada di tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Maafkan … maafkan saya, Tuan. Kemarin saya sungguh tidak bermaksud–”“Diam.”Takut. Itu yang ia rasakan sekarang setelah mengetahui ia telah mengganggu pria ini kemarin dan kini sedang menanggung akibatnya. Kini, bahkan Blair sendiri tidak yakin Dimitri akan membayarnya. Pria itu bisa saja memang dengan sengaja ingin menjebak Blair seperti ini.Tanpa sadar, satu bulir air mata mengalir di pipi Blair saat mengingat kekasih yang mungkin sedang menunggu biaya operasi tersebut.‘Mateo,’ batin Blair. ‘Maafkan aku.’Mereka tetap dalam posisi itu sela
Sepasang mata Blair yang penuh harap itu melebar. Tidak menyangka pertanyaan itu ditanyakan secara frontal oleh rekan kerjanya tersebut.“Nia–”“Dengar dulu,” potong Nia. Wajahnya serius. “Aku dengar ada permintaan dari tamu VVIP. Pria itu minta dicarikan seorang gadis untuk menemaninya semalam saja. Tapi syaratnya … itu. Gadis perawan.”Dada Blair seketika sesak. “Maksudmu … tidur dengannya?”Nia menatap Blair tanpa berkedip.“Iya. Kamu tidak seperti gadis-gadis lain di sana. Kamu hanya bekerja. Kamu tidak pernah menjual diri, dan dia suka yang seperti itu. Sekali saja, Blair. Kamu bisa dapat tiga ratus juta, bahkan lebih.”“Aku tidak bisa,” bisik Blair.Napasnya tercekat di tenggorokan.“Aku bukan perempuan seperti itu, Nia.”“Aku tahu,” potong Nia cepat. “Tapi memangnya kamu mau melihat kekasihmu pergi hanya karena kamu menolak satu malam?”Blair menunduk. Matanya panas. Bayangan Mateo di ranjang besi muncul lagi di kepala, wajah pucat, tangan dingin, janji pernikahan yang tak pern
“Aahh–jangan khawatir, Tuan. Aku akan memuaskanmu malam ini.”Langkah Blair terhenti saat mendengar suara tersebut. Desahan penuh kenikmatan, disertai kalimat menggoda itu membuat matanya tak tahan untuk melirik ke kiri. Pintu ruangan itu terbuka sedikit—tidak lebar, hanya beberapa sentimeter. Tapi cukup untuk melihat.Dari posisinya, Blair bisa melihat seorang pria duduk di sofa kulit gelap. Bajunya terbuka sebagian. Tangannya mencengkeram rambut panjang seorang perempuan yang berada di atas pahanya, berlutut di antara kedua kakinya. Kepala perempuan itu bergerak naik-turun, menghasilkan suara-suara asing dair dalam mulutnya.Tubuh Blair seketika membeku. Ia tidak menyangka akan menyaksikan hal tersebut.Memang, ia bekerja di kelab malam yang sering dijadikan tempat bercumbu, tapi Blair tidak menyangka ia akan menjadi saksi malam ini.Padahal Ia hanya berniat mengambil baki kosong di ujung lorong VIP ini.“Aaahh–”Suara desahan nyaring di dalam ruangan seketika menyadarkan Blair–ia t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen