Di setiap langkah, rasa perih masih terasa di antara paha.
Sakitnya tak seberapa dibandingkan gemuruh di kepala—suara Dimitri, napas, tatapan gelap, dan bunyi detak jam di lounge yang beradu dengan detak jantungnya sendiri.
Semua terasa menempel di kulit, menolak luruh meski hujan membasahi rambutnya di perjalanan.
Hujan sisa malam masih menempel di ujung rambut Blair ketika ia menata gelas kopi di meja bar. Suara gerimis di luar jendela kafe berpadu dengan denting sendok, aroma kopi robusta, dan bisik tawa tamu di sudut ruangan.
"Kopi," pinta salah satu pelanggan mengingatkan.
Blair tersenyum pahit, tetap bersikap professional.
Di balik apron hitam, pundaknya terasa berat seolah hujan semalam tidak hanya membasahi rambut, tapi juga hati yang belum kering.
Angeline, rekan kerjanya, berdiri di belakang mesin espresso. Gadis itu sesekali mencuri pandang ke arah Blair yang berdiri terpaku di ujung meja kasir.
“Wajahmu sangat pucat. Kau yakin mau tetap kerja hari ini?” tanya Angeline pelan, suaranya tenggelam di antara desis uap susu.
Blair hanya mengangguk. Tangannya sibuk merapikan bon di laci kasir.
“Kalau aku pulang, aku cuma akan duduk di pojok kamar, memikirkan hal yang sama berulang-ulang.”
Angeline tidak membalas. Ia hanya meletakkan secangkir cappuccino di baki, lalu beringsut ke meja pelanggan.
Di luar kaca, hujan mulai mereda, menyisakan embun tipis di trotoar.
Suara lonceng pintu berdenting. Nia berdiri di ambang, mantel bulu sintetisnya basah di bahu. Mata Nia bengkak, napas terburu, seolah menempuh setengah kota hanya untuk tiba di sini.
Blair mendongak.
Tatapan mereka bertemu, lalu jatuh. Ia melepaskan apron, berjalan ke arah sudut kafe yang sepi, diikuti Nia yang menggenggam kantong plastik berisi roti tawar.
Mereka duduk berhadapan, di meja yang hanya cukup untuk dua cangkir kopi. Bau kayu manis dari pastry display melayang tipis di antara mereka, tapi tak satupun berniat memesan.
“Kau tidur di rumah sakit semalam?” tanya Nia, suaranya nyaris tenggelam di bawah musik jazz lembut mengisi ruang.
Blair menautkan jemari di pangkuan.
“Aku tidak tahan kalau pulang. Setidaknya di sana aku tahu dia masih hidup.”
Nia membuka kantong plastik, tapi urung mengeluarkan apa pun. Jemarinya sibuk meremas gagang tas.
“Aku berharap, masih ada cara lain. Andai saja.”
Blair tertawa pelan, getir. “Cara lain? Siapa lagi yang mau pinjamkan 320 juta hanya untuk satu malam?”
Nia menunduk. Sudut matanya basah lagi.
“Kau bisa bilang pada atasanmu. Mungkin dia bisa bantu—”
“Dengan apa?” potong Blair, suaranya pelan tapi tajam. “Nia, hidupku sudah dijual. Kemarin malam, aku serahkan semua yang tersisa.”
Hening merambat.
Angeline sesekali mencuri pandang dari balik meja bar, tapi tak berani mendekat. Hanya detak jam dinding, dan bunyi samar tawa pelanggan cafe.
“Dia akan datang lagi?” Nia menatap Blair, tatapannya cemas.
Blair tidak menjawab. Tangan terulur, meraih cangkir kopi di meja, padahal isinya hanya sisa dingin. Ia menempelkan bibir ke pinggiran keramik, berharap bisa menelan pahit yang lain.
Lonceng pintu berdenting lagi.
Seorang pria berjas hitam masuk, tak banyak bicara. Matanya lurus pada Blair, lalu pada Nia. Ia berhenti di sisi meja, menunduk sedikit—sekadar formalitas sopan yang terasa hampa.
“Blair Firenze?” tanyanya datar.
Blair mendongak. Hidungnya terasa panas.
“Ya?”
Pria itu membuka jas, menarik amplop panjang putih dari saku dalam. Ia meletakkan di meja, tepat di depan Blair.
“Dari Tuan Oliver.”
Hanya begitu.
Tidak ada ucapan tambahan. Tidak ada penjelasan. Pria itu membungkuk, mundur, lalu melangkah keluar, meninggalkan aroma jas basah yang dingin.
Nia menatap Blair, seolah menahan napas. Blair meraih amplop itu. Jarinya bergetar saat merobek tepinya.
Di dalam, selembar cek. Angka di atasnya persis 320 juta.
Tidak ada catatan. Tidak ada pesan. Hanya angka dan tanda tangan Dimitri Oliver, seolah seluruh tragedi malam itu bisa dibayar lunas dengan selembar kertas.
Air mata Blair pecah di sudut mata. Nia meraih tangannya, menahan amplop agar tidak jatuh ke lantai.
“Blair, Tuan Dimitri menepatinya.”
“Dia membayar lunas.” Suara Blair pecah, nyaris tak terdengar.
“Atau ini baru mulai, Nia?”
Nia tidak menjawab.
Angeline mendekat pelan, meletakkan secangkir air putih di meja, menatap Blair dengan sorot mata iba yang tak butuh kata-kata.
Mereka tampak terhenyak.
Hujan benar-benar berhenti. Langit sore menampakkan celah jingga di antara awan kelabu. Di dalam kafe, aroma kopi dan kayu manis tetap sama. Hanya napas Blair yang terasa makin berat.
Ia meraih cek itu, menekuk pelan, menahan isak yang merayap di tenggorokan. Jauh di benaknya, ia tahu: tidak ada yang benar-benar gratis di dunia Dimitri Oliver.
**
Sementara itu, di lantai paling atas gedung lounge Vespera, Dimitri Oliver berdiri membelakangi jendela kaca. Di belakang, lampu-lampu kota mulai menyalakan kelap-kelip, menembus sisa senja yang enggan tenggelam.
Di lantai marmer, tubuh seorang pria terbaring bersimbah darah sisa pengkhianatan yang baru saja Dimitri bereskan dengan peluru dingin.
Tangannya masih menggenggam pistol, suara tembakan terakhir memantul di dinding kaca.
Seorang pengawal berjas hitam membungkuk, mengulurkan tisu basah.
Dimitri menerimanya, mengusap jemari yang masih berbau mesiu, lalu melempar tisu itu ke genangan merah di lantai.
“Bereskan,” suaranya rendah, tak ada amarah, hanya perintah tanpa emosi.
Pengawal itu mengangguk, bergegas menyeret tubuh yang nyaris tak lagi disebut manusia.
Dimitri berbalik, menatap pantulan dirinya di jendela kaca. Dasinya longgar, kemeja hitamnya berlumur percikan kecil di ujung lengan.
Di sela pantulan itu, wajah Blair muncul. Pipi basah, bahu gemetar, jemarinya yang menahan cek dengan tatapan pasrah.
Dimitri mendengkus, menekan bibirnya ke pinggir rokok. Api di ujung membakar pelan, menguarkan asap yang menari di udara senja.
“Kau menarik, Blair Firenze .…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar, seolah bicara pada diri sendiri.
“Dan aku benci jika harus mengakui, aku mulai penasaran.”
Di luar kaca, suasana semakin gelap hanya menyisakan gemerlap lampu jalan yang menetes di aspal. Dunia di bawahnya tetap berjalan.
Transaksi tetap hidup, nyawa tetap dibayar, dan harga untuk satu nama kadang tak pernah benar-benar selesai dibayar.
Dan di balik kaca gedung lounge Vespera, Dimitri Oliver tahu satu hal: Blair Firenze, baginya, baru saja jadi urusan yang belum selesai.
"Tuan sudah saya bereskan." Pengawal memberitahu.
Dimitri masih betah memandangi langit semakin gelap, juga sebatang rokok masih dihisap.
"Kau sudah memberikan cek itu padanya?"
"Sudah Tuan, Mrs. Firenze telah menerimanya."
"Aku ingin kau mencari tahu kehidupan perempuan itu!" Perintah Dimitri tanpa menoleh.
"Menurut saya, tidak ada yang perlu di ketahui tentang perempuan murahan itu Tuan." Pengawal terdengar meremehkan.
Dimitri berbalik, menatap pengawal tajam.
"Kau tentu tak mau salah satu tulang di tubuhmu patah kan, Alex?" Kecam pria itu.
Mendadak pengawal susah payah menelan saliva, wajahnya menegang.
"Cari tahu!" Perintahnya tegas.
Pengawal mengangguk patuh, melakukan tugas perintah Dimitri.
Dimitri Oliver duduk di belakang meja kerjanya yang besar dari kayu mahoni gelap, di dalam kantor pribadi di lantai tertinggi Vespera Tower.Di balik jendela kaca setebal sepuluh sentimeter, pemandangan kota terbentang tanpa batas.Tapi, matanya tak tertarik pada kilau lampu malam atau lalu lintas yang menggeliat seperti ular. Pandangannya tertuju pada berkas di tangannya.Sepotong foto terjepit di sudut halaman.Blair Firenze.Rambut cokelat gelap, mata sendu yang tak pernah sepenuhnya menatap kamera, dan senyum yang dipaksakan dalam potret hitam putih.“Anak tunggal. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan saat ia masih sekolah. Tinggal di panti asuhan dua tahun sebelum keluar dan mulai bekerja. Dua pekerjaan, dua dunia.” Alex berdiri di hadapan Dimitri, suaranya datar.Dimitri tidak mengangkat wajah. Tangannya membalik halaman berikutnya, membaca setiap detail. Tempat kerja, alamat rumah sewa, beberapa hal tentangnya.“Kau yakin ini lengkap?” tanya Dimitri pelan.“Ya, Tuan.”“Tida
Di setiap langkah, rasa perih masih terasa di antara paha.Sakitnya tak seberapa dibandingkan gemuruh di kepala—suara Dimitri, napas, tatapan gelap, dan bunyi detak jam di lounge yang beradu dengan detak jantungnya sendiri.Semua terasa menempel di kulit, menolak luruh meski hujan membasahi rambutnya di perjalanan.Hujan sisa malam masih menempel di ujung rambut Blair ketika ia menata gelas kopi di meja bar. Suara gerimis di luar jendela kafe berpadu dengan denting sendok, aroma kopi robusta, dan bisik tawa tamu di sudut ruangan."Kopi," pinta salah satu pelanggan mengingatkan.Blair tersenyum pahit, tetap bersikap professional.Di balik apron hitam, pundaknya terasa berat seolah hujan semalam tidak hanya membasahi rambut, tapi juga hati yang belum kering.Angeline, rekan kerjanya, berdiri di belakang mesin espresso. Gadis itu sesekali mencuri pandang ke arah Blair yang berdiri terpaku di ujung meja kasir.“Wajahmu sangat pucat. Kau yakin mau tetap kerja hari ini?” tanya Angeline pela
Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa panas, menyesakkan dada Blair. Dari jarak ini, Blair bisa mencium aroma parfum maskulin pria di hadapannya, membuat ia menahan napas tanpa sadar.Tangan pria itu yang terasa kasar di pipi Blair yang halus terasa mengekang, seakan tidak berniat melepaskan Blair dalam waktu dekat.Blair terjebak di sana.Tangan Blair mencengkeram dompet yang masih ada di tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Maafkan … maafkan saya, Tuan. Kemarin saya sungguh tidak bermaksud–”“Diam.”Takut. Itu yang ia rasakan sekarang setelah mengetahui ia telah mengganggu pria ini kemarin dan kini sedang menanggung akibatnya. Kini, bahkan Blair sendiri tidak yakin Dimitri akan membayarnya. Pria itu bisa saja memang dengan sengaja ingin menjebak Blair seperti ini.Tanpa sadar, satu bulir air mata mengalir di pipi Blair saat mengingat kekasih yang mungkin sedang menunggu biaya operasi tersebut.‘Mateo,’ batin Blair. ‘Maafkan aku.’Mereka tetap dalam posisi itu sela
Sepasang mata Blair yang penuh harap itu melebar. Tidak menyangka pertanyaan itu ditanyakan secara frontal oleh rekan kerjanya tersebut.“Nia–”“Dengar dulu,” potong Nia. Wajahnya serius. “Aku dengar ada permintaan dari tamu VVIP. Pria itu minta dicarikan seorang gadis untuk menemaninya semalam saja. Tapi syaratnya … itu. Gadis perawan.”Dada Blair seketika sesak. “Maksudmu … tidur dengannya?”Nia menatap Blair tanpa berkedip.“Iya. Kamu tidak seperti gadis-gadis lain di sana. Kamu hanya bekerja. Kamu tidak pernah menjual diri, dan dia suka yang seperti itu. Sekali saja, Blair. Kamu bisa dapat tiga ratus juta, bahkan lebih.”“Aku tidak bisa,” bisik Blair.Napasnya tercekat di tenggorokan.“Aku bukan perempuan seperti itu, Nia.”“Aku tahu,” potong Nia cepat. “Tapi memangnya kamu mau melihat kekasihmu pergi hanya karena kamu menolak satu malam?”Blair menunduk. Matanya panas. Bayangan Mateo di ranjang besi muncul lagi di kepala, wajah pucat, tangan dingin, janji pernikahan yang tak pern
“Aahh–jangan khawatir, Tuan. Aku akan memuaskanmu malam ini.”Langkah Blair terhenti saat mendengar suara tersebut. Desahan penuh kenikmatan, disertai kalimat menggoda itu membuat matanya tak tahan untuk melirik ke kiri. Pintu ruangan itu terbuka sedikit—tidak lebar, hanya beberapa sentimeter. Tapi cukup untuk melihat.Dari posisinya, Blair bisa melihat seorang pria duduk di sofa kulit gelap. Bajunya terbuka sebagian. Tangannya mencengkeram rambut panjang seorang perempuan yang berada di atas pahanya, berlutut di antara kedua kakinya. Kepala perempuan itu bergerak naik-turun, menghasilkan suara-suara asing dair dalam mulutnya.Tubuh Blair seketika membeku. Ia tidak menyangka akan menyaksikan hal tersebut.Memang, ia bekerja di kelab malam yang sering dijadikan tempat bercumbu, tapi Blair tidak menyangka ia akan menjadi saksi malam ini.Padahal Ia hanya berniat mengambil baki kosong di ujung lorong VIP ini.“Aaahh–”Suara desahan nyaring di dalam ruangan seketika menyadarkan Blair–ia t