Share

Bab 5

Author: Gusti
last update Huling Na-update: 2025-08-21 14:32:19

Dimitri Oliver duduk di belakang meja kerjanya yang besar dari kayu mahoni gelap, di dalam kantor pribadi di lantai tertinggi Vespera Tower.

Di balik jendela kaca setebal sepuluh sentimeter, pemandangan kota terbentang tanpa batas.

Tapi, matanya tak tertarik pada kilau lampu malam atau lalu lintas yang menggeliat seperti ular. Pandangannya tertuju pada berkas di tangannya.

Sepotong foto terjepit di sudut halaman.

Blair Firenze.

Rambut cokelat gelap, mata sendu yang tak pernah sepenuhnya menatap kamera, dan senyum yang dipaksakan dalam potret hitam putih.

“Anak tunggal. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan saat ia masih sekolah. Tinggal di panti asuhan dua tahun sebelum keluar dan mulai bekerja. Dua pekerjaan, dua dunia.” Alex berdiri di hadapan Dimitri, suaranya datar.

Dimitri tidak mengangkat wajah. Tangannya membalik halaman berikutnya, membaca setiap detail. Tempat kerja, alamat rumah sewa, beberapa hal tentangnya.

“Kau yakin ini lengkap?” tanya Dimitri pelan.

“Ya, Tuan.”

“Tidak ada catatan kriminal, tidak terlibat utang, tidak terafiliasi dengan siapa pun dari kubu lawan?”

“Tidak, Tuan. Hanya seorang perempuan biasa. Tapi—” Alex ragu sejenak, lalu melanjutkan, “Dia tidur dengan Anda bukan karena keinginan.”

Dimitri menutup berkas itu dengan tenang.

“Aku tidak pernah peduli tentang alasan.”

Alex mengangguk, tahu kapan harus diam.

Senyap turun seperti kabut. Di ruangan itu, hanya suara pendingin udara dan detak jam dinding yang terdengar.

Lalu Dimitri berdiri, meraih jasnya yang tergantung di balik pintu.

“Kita akan ke klub itu malam ini.”

Alex tak bertanya apa-apa. Ia hanya mengikuti dari belakang, menyalakan komunikasi ke unit pengamanan.

Jika Dimitri Oliver ingin bergerak, seluruh lantai akan bersih sebelum ia tiba. Tak ada celah untuk celaka.

Di klub.

Blair merasa perutnya mual sejak siang. Entah karena kopi basi dari pagi atau karena kegelisahan terus merambat pelan, seperti racun yang menyusup lewat pori-pori.

Ia sedang mengganti pakaian di ruang ganti staf klub malam ketika Nia mengetuk pelan.

“Ada tamu di meja VIP, minta kamu yang antar minuman.”

Blair menoleh, alisnya bertaut.

“VIP? Bukannya biasanya ada pelayan khusus?”

“Iya. Tapi katanya khusus ingin kamu. Disebut nama, Blair Firenze.”

Blair menegang. Seluruh darah di tubuhnya seolah mengalir balik.

“Siapa yang menyuruhmu?”

“Manajer langsung. Dia juga bilang, kamu diminta sopan dan jangan membuat masalah.”

Jantung Blair berdetak lebih cepat. Ia merapikan rok hitam ketat dan atasan satin merah marun, menyesuaikan riasan seadanya. Bibirnya kering.

Lima menit kemudian, ia berdiri di depan ruang VIP yang diterangi lampu redup. Suara musik berdentum di kejauhan, tapi di dalam ruangan itu—semuanya senyap.

Saat ia membuka pintu, udara berubah tebal. Dimitri Oliver duduk di sofa kulit hitam, tangan satu di sandaran, satu lagi memegang gelas bourbon. Matanya langsung menatap Blair, tanpa kedip.

“Masuk,” ucapnya singkat.

Blair melangkah masuk. Setiap inci ruangan seolah menyusut saat pria itu berada di dalamnya.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”

Dimitri menaruh gelas, berdiri, dan berjalan mendekat.

“Sudah kau gunakan uangnya?” tanyanya, suara pelan tapi dalam.

Blair menegakkan bahu.

“Sudah. Terima kasih.”

“Lalu, kenapa kau terlihat seolah ingin mati malam ini?”

Blair menahan napas.

“Apa yang Anda inginkan?”

Dimitri memutar kepala sedikit, kemudian mengangkat dagu Blair dengan dua jarinya.

“Sekarang kau tidak berani menatapku?”

“Karena aku masih manusia, bukan barang.”

Dimitri terkekeh kecil, meski matanya tetap dingin.

“Kau tahu kau bisa pergi, kan? Tapi kau kembali ke klub. Masih berdiri di depanku.”

Blair menatapnya, tubuhnya sedikit gemetar.

“Karena hidupku tidak punya pilihan.”

Tatapan Dimitri menggelap. Tiba-tiba ia menarik pinggang Blair, mendekatkan.

Wajah mereka hanya terpisah sejengkal. Blair bisa mencium aroma tembakau halus dari leher pria itu.

“Kau yakin tidak ingin pilihan lain, Blair?”

Blair tidak menjawab. Dalam diamnya, air mata hampir jatuh. Tapi tubuhnya tetap berdiri, dan tidak mundur.

Dan itu cukup bagi Dimitri.

Detik berikutnya, bibirnya mendarat ke mulut Blair, kasar dan menuntut. 

Blair melawan, tapi lengan Dimitri mencengkeram kuat. Perlawanannya hanya menambah tensi liar yang meledak di dalam ruangan kecil itu.

Saat akhirnya ia menyerah, tersisa hanya suara napas tercekat, dan tubuh yang diangkat Dimitri lalu dibaringkan di sofa panjang.

Ia tahu, sekali lagi, tubuhnya akan jadi milik lelaki itu.

Dimitri Oliver bukan pria yang tahu cara mencintai. Ia hanya tahu cara memiliki.

Disentuh sesukanya, memperlakukan sebagaimana barang telah dibeli. Menindih tubuh lelah nan rapuh itu, menguasai dan mengatur ritme dalam napas memburu penuh hasrat liar.

"Hmm ...." Dimitri mengerang, menikmati penyatuan tubuh mereka.

Blair hanya bisa menangis, pasrah dan merelakan.

Beberapa jam setelahnya, Blair mengenakan kembali pakaian kerjanya.

Kulitnya penuh bekas. Beberapa merah, beberapa keunguan. Tapi, bukan rasa sakit yang membuat napasnya sesak. Melainkan perasaan hampa yang tidak hilang meski ia telah dibayar mahal.

Dimitri duduk di sudut ruangan, menyulut rokok, separuh wajah tenggelam dalam bayangan.

“Jangan berpikir kau bebas,” ucapnya. “Aku belum selesai denganmu.”

Blair mengangkat wajah.

“Apa itu berarti kau akan terus membeliku?”

Dimitri menatapnya, “Kau terlalu berharga untuk dilepaskan sekarang.”

Blair tertawa miris.

“Aku bukan berlian, Tuan. Aku hanya seorang perempuan yang kehilangan segalanya.”

“Justru itu.” Dimitri berdiri, perlahan menghampiri. “Orang seperti kamu, tidak akan pergi ke mana-mana. Karena kamu butuh tempat untuk bertahan.”

Ia meraih dagu Blair, menatap mata gadis itu dalam-dalam.

“Dan sekarang, tempat itu adalah aku.”

Blair mengepalkan tangan, ia benci dunianya sekarang.

Seakan tahu jadwal, pengawal Dimitri masuk ke ruang VIP dengan membawa seorang pria. Memaksa duduk, berlutut di hadapan pria kejam itu, dalam suasana ketakutan dan tangisan menyayat hati.

"Kau ingin melihatnya mati?" Dimitri menatap Blair tajam.

Dalam ketakutan juga rasa perih masih menjalar, Blair berjalan gemetaran keluar dari ruangan.

Di hari keesokan, Blair menemukan surat kabar pagi yang tergeletak di meja bar.

Tajuk berita tentang kasus pembunuhan di distrik pelabuhan. Tidak disebutkan nama, tapi Blair ingat wajah pria yang berlutut di depan Dimitri malam lalu.

Pria yang kini mungkin tinggal nama.

Dunia Dimitri begitu gelap. Dan ia sudah terlalu dalam untuk keluar.

Tapi ia harus melindungi satu hal yang tersisa: Mateo, pria yang masih hidup di tempat tidur rumah sakit, yang tidak tahu bahwa tunangannya kini hidup di bawah bayang-bayang mafia berdarah dingin.

Blair menggenggam cek yang belum dicairkan dari Dimitri. Satu lagi.

“Ini akan jadi yang terakhir,” bisiknya.

Tapi jauh di lubuk hati, ia tahu: dunia seperti milik Dimitri tidak mengenal kata terakhir.

Dan dirinya—Blair Firenze—telah menjadi bagian dari permainan yang tak bisa dihentikan dengan air mata atau doa.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 5

    Dimitri Oliver duduk di belakang meja kerjanya yang besar dari kayu mahoni gelap, di dalam kantor pribadi di lantai tertinggi Vespera Tower.Di balik jendela kaca setebal sepuluh sentimeter, pemandangan kota terbentang tanpa batas.Tapi, matanya tak tertarik pada kilau lampu malam atau lalu lintas yang menggeliat seperti ular. Pandangannya tertuju pada berkas di tangannya.Sepotong foto terjepit di sudut halaman.Blair Firenze.Rambut cokelat gelap, mata sendu yang tak pernah sepenuhnya menatap kamera, dan senyum yang dipaksakan dalam potret hitam putih.“Anak tunggal. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan saat ia masih sekolah. Tinggal di panti asuhan dua tahun sebelum keluar dan mulai bekerja. Dua pekerjaan, dua dunia.” Alex berdiri di hadapan Dimitri, suaranya datar.Dimitri tidak mengangkat wajah. Tangannya membalik halaman berikutnya, membaca setiap detail. Tempat kerja, alamat rumah sewa, beberapa hal tentangnya.“Kau yakin ini lengkap?” tanya Dimitri pelan.“Ya, Tuan.”“Tida

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 4

    Di setiap langkah, rasa perih masih terasa di antara paha.Sakitnya tak seberapa dibandingkan gemuruh di kepala—suara Dimitri, napas, tatapan gelap, dan bunyi detak jam di lounge yang beradu dengan detak jantungnya sendiri.Semua terasa menempel di kulit, menolak luruh meski hujan membasahi rambutnya di perjalanan.Hujan sisa malam masih menempel di ujung rambut Blair ketika ia menata gelas kopi di meja bar. Suara gerimis di luar jendela kafe berpadu dengan denting sendok, aroma kopi robusta, dan bisik tawa tamu di sudut ruangan."Kopi," pinta salah satu pelanggan mengingatkan.Blair tersenyum pahit, tetap bersikap professional.Di balik apron hitam, pundaknya terasa berat seolah hujan semalam tidak hanya membasahi rambut, tapi juga hati yang belum kering.Angeline, rekan kerjanya, berdiri di belakang mesin espresso. Gadis itu sesekali mencuri pandang ke arah Blair yang berdiri terpaku di ujung meja kasir.“Wajahmu sangat pucat. Kau yakin mau tetap kerja hari ini?” tanya Angeline pela

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 3

    Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa panas, menyesakkan dada Blair. Dari jarak ini, Blair bisa mencium aroma parfum maskulin pria di hadapannya, membuat ia menahan napas tanpa sadar.Tangan pria itu yang terasa kasar di pipi Blair yang halus terasa mengekang, seakan tidak berniat melepaskan Blair dalam waktu dekat.Blair terjebak di sana.Tangan Blair mencengkeram dompet yang masih ada di tangannya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Maafkan … maafkan saya, Tuan. Kemarin saya sungguh tidak bermaksud–”“Diam.”Takut. Itu yang ia rasakan sekarang setelah mengetahui ia telah mengganggu pria ini kemarin dan kini sedang menanggung akibatnya. Kini, bahkan Blair sendiri tidak yakin Dimitri akan membayarnya. Pria itu bisa saja memang dengan sengaja ingin menjebak Blair seperti ini.Tanpa sadar, satu bulir air mata mengalir di pipi Blair saat mengingat kekasih yang mungkin sedang menunggu biaya operasi tersebut.‘Mateo,’ batin Blair. ‘Maafkan aku.’Mereka tetap dalam posisi itu sela

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 2

    Sepasang mata Blair yang penuh harap itu melebar. Tidak menyangka pertanyaan itu ditanyakan secara frontal oleh rekan kerjanya tersebut.“Nia–”“Dengar dulu,” potong Nia. Wajahnya serius. “Aku dengar ada permintaan dari tamu VVIP. Pria itu minta dicarikan seorang gadis untuk menemaninya semalam saja. Tapi syaratnya … itu. Gadis perawan.”Dada Blair seketika sesak. “Maksudmu … tidur dengannya?”Nia menatap Blair tanpa berkedip.“Iya. Kamu tidak seperti gadis-gadis lain di sana. Kamu hanya bekerja. Kamu tidak pernah menjual diri, dan dia suka yang seperti itu. Sekali saja, Blair. Kamu bisa dapat tiga ratus juta, bahkan lebih.”“Aku tidak bisa,” bisik Blair.Napasnya tercekat di tenggorokan.“Aku bukan perempuan seperti itu, Nia.”“Aku tahu,” potong Nia cepat. “Tapi memangnya kamu mau melihat kekasihmu pergi hanya karena kamu menolak satu malam?”Blair menunduk. Matanya panas. Bayangan Mateo di ranjang besi muncul lagi di kepala, wajah pucat, tangan dingin, janji pernikahan yang tak pern

  • Gelora Hasrat Bos Mafia Berbahaya   Bab 1

    “Aahh–jangan khawatir, Tuan. Aku akan memuaskanmu malam ini.”Langkah Blair terhenti saat mendengar suara tersebut. Desahan penuh kenikmatan, disertai kalimat menggoda itu membuat matanya tak tahan untuk melirik ke kiri. Pintu ruangan itu terbuka sedikit—tidak lebar, hanya beberapa sentimeter. Tapi cukup untuk melihat.Dari posisinya, Blair bisa melihat seorang pria duduk di sofa kulit gelap. Bajunya terbuka sebagian. Tangannya mencengkeram rambut panjang seorang perempuan yang berada di atas pahanya, berlutut di antara kedua kakinya. Kepala perempuan itu bergerak naik-turun, menghasilkan suara-suara asing dair dalam mulutnya.Tubuh Blair seketika membeku. Ia tidak menyangka akan menyaksikan hal tersebut.Memang, ia bekerja di kelab malam yang sering dijadikan tempat bercumbu, tapi Blair tidak menyangka ia akan menjadi saksi malam ini.Padahal Ia hanya berniat mengambil baki kosong di ujung lorong VIP ini.“Aaahh–”Suara desahan nyaring di dalam ruangan seketika menyadarkan Blair–ia t

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status