INICIAR SESIÓNIsla berdecak kesal. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 21:47, dan ruang tamu suite hotel itu sudah mulai terasa sunyi. Hanya suara pendingin ruangan yang mengisi udara. Ia melirik koper yang sudah tertata rapi di dekat pintu, semuanya siap, kecuali satu hal, Kilan.
Padahal, ia sudah mengingatkan sejak pagi kalau penerbangan mereka ke Jakarta pukul sebelas malam. Tapi, seperti biasa, Kilan bertingkah seolah waktu adalah miliknya sendiri.
Isla menarik napas panjang, lalu mengambil ponsel dari meja. Ia menatap layar sebentar, nama Kilan Dhirendra terpampang di sana dengan foto formal yang sama sekali tak menggambarkan sifat aslinya.
Telpon pertama ia tekan.
Nada sambung berdering lama. Tidak diangkat.
Telpon kedua.
Masih sama. Hanya suara dingin operator yang muncul setelah beberapa kali nada berdering.
“Luar biasa,” gumam Isla sinis. “Mungkin dia pikir aku takkan berani meninggalkannya.”
Ia menatap jam lagi—21:58.
Dengan kesal, ia menekan tombol panggilan untuk ketiga kalinya. Kali ini nada sambung baru berjalan dua kali sebelum suara berat yang sangat dikenalnya terdengar dari seberang.
Namun, sebelum Kilan sempat bicara, Isla mendengar sesuatu lebih dulu.
“Ahhh... Kilan..”
Desahan pelan. Lembut, namun jelas. Diikuti oleh tawa perempuan yang terdengar dekat dengan mikrofon ponsel.
Isla membeku sejenak. Tidak kaget, lebih pada rasa muak yang sudah terlalu sering datang hingga kini tak lagi menggigit.
“Kilan” Panggil Isla dengan nada datar
“Apa? Oh Isla – apa yang... ” Suara Kilan terdengar agak terburu-buru, seperti seseorang yang baru menyadari kesalahannya.
'Ahhh Kilan.. kenapa berhenti?' suara perempuan memotong ucapan Kilan
“Kamu di mana?" tanya Isla pelan, nada suaranya datar tanpa nada marah.
Hening beberapa detik, hanya terdengar desahan tertahan dan langkah tergesa. Isla bisa membayangkan dengan jelas adegan di seberang sana tanpa perlu melihatnya.
“Aku sedang… rapat,” jawab Kilan akhirnya, berusaha menjaga nada suaranya agar tetap stabil. Tapi dari latar belakangnya, suara perempuan itu terdengar lagi, pelan, menggoda, dan jelas bukan dari ruang rapat.
Isla menghela napas ringan. “Rapat? Aku nggak tahu sekarang rapat bisa dilakukan jam sepuluh malam dan tepat di atas ranjang.”
Suara di ujung sana langsung hening. Lalu terdengar helaan napas panjang dari Kilan, entah kesal atau malu.
“Isla, jangan mulai—”
“Tenang saja,” potong Isla cepat. “Aku nggak bermaksud ganggu. Aku hanya ingin mengingatkan, penerbangan kita satu jam lagi. Kalau kamu nggak datang, aku akan berangkat sendiri dengan privat jet yang papa kirimkan”
“Hah? Papaku mengirim privat jet?” Tanyanya heran
“Ya"
“Isla.. kamu nggak—”
“Hustt... Jangan coba perintah aku, Kilan,” ucap Isla dingin, suaranya tenang namun tajam. “Aku sudah cukup lama mematuhi jadwalmu, menunggu tingkah lakumu, dan menutup mata dari kebodohan yang kamu sebut ‘hidup bebas’. Tapi, Malam ini tidak. Kalau kamu nggak datang dalam setengah jam, aku tinggal”
Lalu tanpa menunggu jawaban, Isla menurunkan ponselnya dan memutus sambungan. Suara beep pendek menggema di udara, menggantikan suara Kilan yang tertahan di ujung kalimatnya.
Isla menatap ponsel itu sebentar, lalu meletakkannya di meja dengan gerakan tenang. Tidak ada amarah yang meledak, tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dingin dan tenang.
Ia melirik koper yang sudah siap di dekat pintu. Ketika jam sudah menunjukkan 22:35, dan tidak ada tanda-tanda Kilan akan datang. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dari duduknya. Pramugari pribadi keluarga Dhirendra sudah menjemputnya di lobi hotel dan membawanya langsung ke bandara.
Dia diarahkan pada gate keberangkatan dan dibimbing menuju salah satu pesawat yang cukup kecil dari pesawat lainnya yang ada di bandara
"Terima kasih" ucap Isla
Isla sudah duduk di dalam private jet berwarna putih dengan tulisan Dhirendra Group di sisi kanan dan kiri sayap. Interior kabin begitu mewah, lampu lembut, kursi kulit putih, aroma kopi dan parfum khas ruangan tertutup. Namun bagi Isla, semua kemewahan itu terasa hampa.
Ia membuka laptopnya, mencoba menatap laporan keuangan yang harus ia presentasikan di kantor pusat. Tapi pikirannya kosong. Matanya memandangi layar tanpa benar-benar membaca apa pun.
"andai Kilan bisa sedikit berguna" Gumamnya lelah
Sepuluh menit kemudian, suara mesin pesawat mulai dinyalakan.
Pramugari menatapnya sopan. “Nyonya Isla, apakah kita menunggu Tuan Kilan atau langsung take off saja?”
Isla menutup laptopnya perlahan, senyum tipis terlukis di bibirnya. "Berangkat saja" ucap Isla yang langsung diangguki sang pramugari
Begitu pintu pesawat hendak di tutup, seseorang langsung melesat masuk dengan cepat
"Woyy sialan!"
Suara langkah sepatu bergema cepat di lantai kabin. Helaan napas berat dan aroma parfum maskulin khas Kilan langsung memenuhi ruangan. Isla tidak menoleh. Ia tahu siapa yang datang.
“Hebat sekali kamu!!!” suara Kilan terdengar kasar, terengah-engah, penuh nada marah. “Kamu benar-benar akan berangkat tanpa menungguku?!”
Isla menatap ke depan tanpa ekspresi. “Sudah lewat jam sebelas. Aku pikir kamu nggak akan datang.”
Kilan melempar jasnya ke kursi seberang dan mendekat. “Kenapa tidak bilang dari awal kalau Papa mengirim jet pribadi?!” bentaknya, suaranya berat, penuh amarah yang tertahan.
Isla menatapnya datar. “Aku sudah bilang.”
“Tidak. Kamu hanya bilang berangkat jam sebelas.” Napasnya masih terengah “Kupikir pesawat komersil mana yang beroperasi jam segitu dan kamu sengaja menyebutnya di akhir, saat aku nggak bisa langsung pergi! Kamu tahu aku harus—”
Isla memotong dengan suara pelan tapi menusuk, “—menyelesaikan ‘rapat’-mu, kan?”
Kilan terdiam. Wajahnya menegang, matanya menatap tajam ke arah istrinya yang masih tenang. “Jangan mulai lagi, Isla. Aku sudah cukup lelah malam ini.”
Isla tersenyum tipis. “Aku juga, Kilan. Bedanya, aku lelah karena bertahun-tahun harus menutup semua kekacauanmu agar nama keluarga Dhirendra tetap bersih”
“KAMU-!!”
“Hustt, pelankan suaramu. Kamu nggak mau pramugari dan pilot papamu mendengarnya, kan?”
Kilan membeku di tempat. Rahangnya menegang begitu keras hingga otot di lehernya tampak menonjol. Suara Isla yang pelan namun tajam membuatnya seperti baru saja ditampar di depan banyak orang, meski ruangan itu hanya diisi mereka berdua.
Isla kembali mengangkat gelasnya, menyesap pelan jus jeruk yang sudah mulai kehilangan dinginnya. Tatapannya lurus ke jendela oval jet pribadi itu, ke arah hamparan awan malam yang gelap dan sunyi.
“Aku tahu caramu marah, Kilan” ucapnya datar. “Kamu akan berteriak, lalu menyesal lima menit kemudian, lalu kembali berperilaku seolah tidak terjadi apa-apa. Siklus yang membosankan.”
“Kamu jauh lebih membosankan Isla!” tekan Kilan, suaranya dalam, nyaris seperti geraman. Ia menatap istrinya dari jarak beberapa langkah, rahangnya mengeras, urat di lehernya menonjol.
Isla berbalik perlahan, mengangkat alis tipisnya, tersenyum tanpa rasa. “ “Benarkah?” matanya menatap Kilan dengan senyum tipis yang lebih mirip penghinaan daripada ramah. “Mungkin karena aku sudah berhenti jadi hiburan untukmu.”
“Ahh, Kak Kilan… pelan…” bisik Ferania dengan suara gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup menahan intensitas dari sentuhan Kilan. Air matanya jatuh, namun bibirnya tetap melengkung samar, menutupi kepuasan licik yang ia rasakan.Kilan menggeram, menahan rahang hingga uratnya tampak menegang.“Ck… berhenti merintih, Ferania” desisnya kasar, jemarinya mencengkeram lengan halus gadis itu dengan kuat. “Kamu bahkan… nggak perawan.”Ferania terhenyak sepersekian detik, tubuhnya menegang, namun ia segera menutupinya dengan tangis kecil yang terdengar memilukan. Ia menatap Kilan dengan mata berkaca-kaca, membuat dirinya tampak rapuh, lemah, dan menyedihkan.“Jangan katakan begitu, Kak… kau menyakitiku…bagaimana bisa kakak mengatakannya saat kak Kilan adalah orang pertama yang menyentuhku” suaranya lirih, pecah seperti helaan napas yang patah. Tangannya menggenggam kemeja yang masih Kilan gunakan, menariknya lebih dekat, seolah mencari perlindungan. Padahal dalam hati, ia menyimpan senyum kemen
Kilan menekan pedal gas lebih dalam. Suara mesin mobil sportnya meraung keras, menggema di sepanjang jalanan kota yang basah oleh gerimis sisa hujan. Lampu-lampu kota memantul di kaca depan seperti serpihan cahaya yang menari cepat, tapi di matanya, semuanya kabur.Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Ferania.Nama itu bergema di kepalanya, mengalahkan dentuman musik dari radio yang belum sempat ia matikan. Ferania dengan suara bergetar, air mata yang bahkan lewat telepon terdengar tulus, dan cara dia menyebut “Kak Kilan…” dengan nada begitu lemah, seolah seluruh dunia sedang menindasnya.Tapi Kilan tahu wanita itu bukan tipe yang mudah hancur. Ia tahu persis bagaimana Ferania bisa memelintir emosi orang dengan ketepatan seperti senjata.Namun tetap saja, ada sesuatu di dirinya yang tidak bisa berpaling. Bukan hanya karena ia kasihan. Tapi karena setiap kali Ferania menangis, ada bagian dalam dirinya yang ingin menenangkan… dan bagian lain yang ingin menghancurkan.“Persetan…” guma
Kilan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, mesin meraung keras di jalanan yang masih ramai sore itu. Jemarinya mengetuk setir mengikuti irama lagu EDM yang diputar kencang, seolah mencoba menutupi kekacauan di dalam kepalanya.Bangunan kaca berlampu neon biru-ungu mulai terlihat di ujung jalan, klub miliknya, Euphoria. Dari luar tampak megah, papan nama besar menyala bahkan sebelum matahari benar-benar tenggelam. Orang-orang yang melintas di trotoar berhenti sejenak hanya untuk menatap, seolah tempat itu adalah magnet malam yang tak bisa diabaikan. Tapi hanya Kilan yang tahu, gemerlap lampu itu tidak sebanding dengan isi brankasnya yang makin menipis.Ia memarkir mobil sport-nya di area khusus VIP, lalu turun tanpa menunggu staf keamanan membukakan pintu. Sepatu hitam menginjak lantai marmer yang berkilau oleh pantulan cahaya. Musik dari dalam klub menggema samar, bercampur dengan suara tawa dan denting gelas.“Bos datang,” ucap salah satu pen
Setelah kematian ibunya, Isla tak pernah lagi mengharapkan kasih sayang. Ia sudah terbiasa menyimpan jarak, karena sadar ayahnya selalu menghabiskan perhatian dan kasih sayangnya untuk selingkuhan serta anak tirinya.Kenangan itu masih segar di pikirannya. Seminggu setelah ibunya dikebumikan, ayahnya menikah dengan Yuria dan membawa Ferania tinggal di rumah yang sama.Dunia Isla terasa hancur, tidak ada satu pun yang benar-benar peduli padanya. Ia belajar untuk menahan diri, menelan kecewa, dan menganggap cinta atau perhatian hanyalah sebuah ilusi.Namun, mendapat perlakuan yang luar biasa hangat dari mertuanya membuat Isla diam-diam terkejut. Setiap senyum, kata lembut, bahkan perhatian kecil seperti menanyakan preferensi pakaian, kebiasannya atau menyapanya dengan hangat, menembus tembok perlindungan yang selama ini ia bangun sendiri.Isla merasa bingung, antara ingin percaya dan takut akan kecewa lagi. Ada bagian dirinya yang ingin menolak, tapi ada juga bagian lain yang ingin memb
Dirinya dijual.Sederhana. Kasar. Menyakitkan.Semua potongan hidupnya seakan berjatuhan di depan mata. Setiap tatapan dingin Adnan, setiap kalimat tajam yang ia lontarkan dulu, setiap sikap tak peduli pada luka-luka kecil yang Isla kumpulkan sejak kecil, semua akhirnya masuk akal. Ia bukan putri yang disayang. Ia hanyalah barang dagangan yang kebetulan lahir sebagai anak kandung Adnan.Napas Isla tercekat. Saat ia mencoba menarik udara, yang masuk ke paru-parunya hanyalah rasa getir dan pengkhianatan. Kata-kata Joseph masih menggaung di telinganya, bercampur dengan suara Adnan di masa lalu, suara ayah yang selama ini ia pikir hanya pilih kasih, ternyata juga tega menukarnya dengan angka, dengan mahar.Yang membuat Isla tak habis pikir adalah ucapan Adnan yang menekankan jika keluarga Dhirendralah yang memaksakan pernikahan ini tiga tahun lalu. Padahal ayahnya sendiri yang menjualnya.“Isla sayang...” suara lembut itu terdengar dari arah ruang tengah.Langkah Isla terhenti. Kepalanya
Suasana di ruang kerja Joseph, sang kepala keluarga Dhirendra begitu hening. Hanya suara jam antik di dinding yang berdetak pelan serta aroma tembakau yang samar masih tertinggal di udara, menambah berat atmosfer perbincangan itu.Netra coklat Isla menatap lurus pada sang kepala keluarga Dhirendra, sorot matanya tetap tenang, meski dalam dirinya bergolak perasaan yang sulit dijelaskan, antara rasa hormat, takut, dan lelah.Pria itu duduk di balik meja kayu jati besar, tubuhnya tegap meski usianya sudah melewati setengah abad. Setiap gerakannya penuh wibawa, bahkan ketika hanya menyandarkan tubuh pada kursi kulit hitamnya.“Isla…” suaranya rendah, bukan lagi nada tegas penuh kuasa yang biasa ia lontarkan.Isla menatapnya lekat, menanti kalimat apa yang akan keluar dari bibir pria paruh baya yang adalah mertuanya itu.“Aku meminta maaf padamu.”Isla tertegun. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.Permintaan maaf itu terasa janggal, bukan karena ia tak menginginkannya,







