Home / Romansa / Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra / 2. Berhenti menjadi hiburan

Share

2. Berhenti menjadi hiburan

Author: Strrose
last update Last Updated: 2025-10-10 14:07:38

Isla berdecak kesal. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 21:47, dan ruang tamu suite hotel itu sudah mulai terasa sunyi. Hanya suara pendingin ruangan yang mengisi udara. Ia melirik koper yang sudah tertata rapi di dekat pintu, semuanya siap, kecuali satu hal, Kilan.

Padahal, ia sudah mengingatkan sejak pagi kalau penerbangan mereka ke Jakarta pukul sebelas malam. Tapi, seperti biasa, Kilan bertingkah seolah waktu adalah miliknya sendiri.

Isla menarik napas panjang, lalu mengambil ponsel dari meja. Ia menatap layar sebentar, nama Kilan Dhirendra terpampang di sana dengan foto formal yang sama sekali tak menggambarkan sifat aslinya.

Telpon pertama ia tekan.

Nada sambung berdering lama. Tidak diangkat.

Telpon kedua.

Masih sama. Hanya suara dingin operator yang muncul setelah beberapa kali nada berdering.

“Luar biasa,” gumam Isla sinis. “Mungkin dia pikir aku takkan berani meninggalkannya.”

Ia menatap jam lagi—21:58.

Dengan kesal, ia menekan tombol panggilan untuk ketiga kalinya. Kali ini nada sambung baru berjalan dua kali sebelum suara berat yang sangat dikenalnya terdengar dari seberang.

Namun, sebelum Kilan sempat bicara, Isla mendengar sesuatu lebih dulu.

“Ahhh... Kilan..”

Desahan pelan. Lembut, namun jelas. Diikuti oleh tawa perempuan yang terdengar dekat dengan mikrofon ponsel.

Isla membeku sejenak. Tidak kaget, lebih pada rasa muak yang sudah terlalu sering datang hingga kini tak lagi menggigit.

“Kilan” Panggil Isla dengan nada datar

“Apa? Oh Isla – apa yang... ” Suara Kilan terdengar agak terburu-buru, seperti seseorang yang baru menyadari kesalahannya.

'Ahhh Kilan.. kenapa berhenti?' suara perempuan memotong ucapan Kilan

“Kamu di mana?" tanya Isla pelan, nada suaranya datar tanpa nada marah.

Hening beberapa detik, hanya terdengar desahan tertahan dan langkah tergesa. Isla bisa membayangkan dengan jelas adegan di seberang sana tanpa perlu melihatnya.

“Aku sedang… rapat,” jawab Kilan akhirnya, berusaha menjaga nada suaranya agar tetap stabil. Tapi dari latar belakangnya, suara perempuan itu terdengar lagi, pelan, menggoda, dan jelas bukan dari ruang rapat.

Isla menghela napas ringan. “Rapat? Aku nggak tahu sekarang rapat bisa dilakukan jam sepuluh malam dan tepat di atas ranjang.”

Suara di ujung sana langsung hening. Lalu terdengar helaan napas panjang dari Kilan, entah kesal atau malu.

“Isla, jangan mulai—”

“Tenang saja,” potong Isla cepat. “Aku nggak bermaksud ganggu. Aku hanya ingin mengingatkan, penerbangan kita satu jam lagi. Kalau kamu nggak datang, aku akan berangkat sendiri dengan privat jet yang papa kirimkan”

“Hah? Papaku mengirim privat jet?” Tanyanya heran

“Ya"

“Isla.. kamu nggak—”

“Hustt... Jangan coba perintah aku, Kilan,” ucap Isla dingin, suaranya tenang namun tajam. “Aku sudah cukup lama mematuhi jadwalmu, menunggu tingkah lakumu, dan menutup mata dari kebodohan yang kamu sebut ‘hidup bebas’. Tapi, Malam ini tidak. Kalau kamu nggak datang dalam setengah jam, aku tinggal”

Lalu tanpa menunggu jawaban, Isla menurunkan ponselnya dan memutus sambungan. Suara beep pendek menggema di udara, menggantikan suara Kilan yang tertahan di ujung kalimatnya.

Isla menatap ponsel itu sebentar, lalu meletakkannya di meja dengan gerakan tenang. Tidak ada amarah yang meledak, tidak ada air mata, hanya kelelahan yang dingin dan tenang.

Ia melirik koper yang sudah siap di dekat pintu. Ketika jam sudah menunjukkan 22:35, dan tidak ada tanda-tanda Kilan akan datang. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dari duduknya. Pramugari pribadi keluarga Dhirendra sudah menjemputnya di lobi hotel dan membawanya langsung ke bandara.

Dia diarahkan pada gate keberangkatan dan dibimbing menuju salah satu pesawat yang cukup kecil dari pesawat lainnya yang ada di bandara

"Terima kasih" ucap Isla

Isla sudah duduk di dalam private jet berwarna putih dengan tulisan Dhirendra Group di sisi kanan dan kiri sayap. Interior kabin begitu mewah, lampu lembut, kursi kulit putih, aroma kopi dan parfum khas ruangan tertutup. Namun bagi Isla, semua kemewahan itu terasa hampa.

Ia membuka laptopnya, mencoba menatap laporan keuangan yang harus ia presentasikan di kantor pusat. Tapi pikirannya kosong. Matanya memandangi layar tanpa benar-benar membaca apa pun.

"andai Kilan bisa sedikit berguna" Gumamnya lelah

Sepuluh menit kemudian, suara mesin pesawat mulai dinyalakan.

Pramugari menatapnya sopan. “Nyonya Isla, apakah kita menunggu Tuan Kilan atau langsung take off saja?”

Isla menutup laptopnya perlahan, senyum tipis terlukis di bibirnya. "Berangkat saja" ucap Isla yang langsung diangguki sang pramugari

Begitu pintu pesawat hendak di tutup, seseorang langsung melesat masuk dengan cepat

"Woyy sialan!"

Suara langkah sepatu bergema cepat di lantai kabin. Helaan napas berat dan aroma parfum maskulin khas Kilan langsung memenuhi ruangan. Isla tidak menoleh. Ia tahu siapa yang datang.

“Hebat sekali kamu!!!” suara Kilan terdengar kasar, terengah-engah, penuh nada marah. “Kamu benar-benar akan berangkat tanpa menungguku?!”

Isla menatap ke depan tanpa ekspresi. “Sudah lewat jam sebelas. Aku pikir kamu nggak akan datang.”

Kilan melempar jasnya ke kursi seberang dan mendekat. “Kenapa tidak bilang dari awal kalau Papa mengirim jet pribadi?!” bentaknya, suaranya berat, penuh amarah yang tertahan.

Isla menatapnya datar. “Aku sudah bilang.”

“Tidak. Kamu hanya bilang berangkat jam sebelas.” Napasnya masih terengah “Kupikir pesawat komersil mana yang beroperasi jam segitu dan kamu sengaja menyebutnya di akhir, saat aku nggak bisa langsung pergi! Kamu tahu aku harus—”

Isla memotong dengan suara pelan tapi menusuk, “—menyelesaikan ‘rapat’-mu, kan?”

Kilan terdiam. Wajahnya menegang, matanya menatap tajam ke arah istrinya yang masih tenang. “Jangan mulai lagi, Isla. Aku sudah cukup lelah malam ini.”

Isla tersenyum tipis. “Aku juga, Kilan. Bedanya, aku lelah karena bertahun-tahun harus menutup semua kekacauanmu agar nama keluarga Dhirendra tetap bersih”

“KAMU-!!”

“Hustt, pelankan suaramu. Kamu nggak mau pramugari dan pilot papamu mendengarnya, kan?”

Kilan membeku di tempat. Rahangnya menegang begitu keras hingga otot di lehernya tampak menonjol. Suara Isla yang pelan namun tajam membuatnya seperti baru saja ditampar di depan banyak orang, meski ruangan itu hanya diisi mereka berdua.

Isla kembali mengangkat gelasnya, menyesap pelan jus jeruk yang sudah mulai kehilangan dinginnya. Tatapannya lurus ke jendela oval jet pribadi itu, ke arah hamparan awan malam yang gelap dan sunyi.

“Aku tahu caramu marah, Kilan” ucapnya datar. “Kamu akan berteriak, lalu menyesal lima menit kemudian, lalu kembali berperilaku seolah tidak terjadi apa-apa. Siklus yang membosankan.”

“Kamu jauh lebih membosankan Isla!” tekan Kilan, suaranya dalam, nyaris seperti geraman. Ia menatap istrinya dari jarak beberapa langkah, rahangnya mengeras, urat di lehernya menonjol.

Isla berbalik perlahan, mengangkat alis tipisnya, tersenyum tanpa rasa. “ “Benarkah?” matanya menatap Kilan dengan senyum tipis yang lebih mirip penghinaan daripada ramah. “Mungkin karena aku sudah berhenti jadi hiburan untukmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   131. Semakin berani

    “Hallo, kita ketemu lagi”Isla menatap lelaki di depannya dengan ekspresi heran, alis terangkat tinggi.“…kita?” ulangnya pelan, masih mencoba menghubungkan wajah pemuda itu dengan memori yang tak kunjung muncul.Kai, lelaki muda yang masih tersenyum seakan ini skenario yang ia tunggu langsung mengangguk santai.“Tadi pagi. Kita hampir bikin drama kecelakaan” ujarnya sambil menunjuk ke arah luar kafe.Isla spontan melirik ke jendela kaca besar di samping mereka.Benar saja, mobilnya dan sebuah mobil sedan hitam Kai sama-sama terparkir di sana.“Oh…”Ia mendapati suaranya sendiri terdengar bodoh.“Pantas saja wajahmu agak familiar” gumam IslaKai tampak jelas menahan tawa melihat kepolosan kebingungannya.“Aku pikir kamu akan langsung ingat” sambung Kai. “ternyata kamu langsung lupa”Isla membuka mulut ingin menjawab, tapi berhenti saat merasakan hawa aneh menyelimuti tengkuknya.Seseorang… memperhatikannya.Insting Isla otomatis membuatnya menoleh dan jantungnya seakan berhenti.Di su

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   130. Modus orang asing

    Isla mengemudikan mobilnya dengan satu tangan di setir dan satu lagi menopang dagu, bibirnya terangkat menjadi senyum paling puas yang pernah ia tunjukkan dalam beberapa minggu terakhir.Jalanan pagi masih ramai, tapi Isla melaju santai, seolah dunia sedang memainkan musik latar khusus untuk kemenangannya.Ia menyalakan lagu, volume dibuat cukup keras sampai bass-nya bergetar ringan di jok mobil.Dan ketika lirik pertama mengalun…Isla tertawa kecil.“Aku akan membiarkan Kilan selalu ada untukmu…” Ia mengulang kata-katanya sendiri dari meja makan tadi dengan nada mengejek. “Tentu saja. Itu kalau dia berani.”Tangannya menepuk-nepuk kemudi mengikuti irama.Bagaimana tidak senang? Ferania benar-benar mengira Isla sedang menyerah.Padahal…“Kunci rantai ada di aku, bodoh” gumam Isla sambil tersenyum sinis.Ia bisa membayangkan wajah Ferania yang memerah karena malu, juga tatapan Kilan yang kosong seperti boneka rusak.Sempurna.Namun ada satu hal lain yang mengusik pikirannya sesaat.Tat

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   129. Kemenangan Isla

    Keesokan paginya, ruang sarapan keluarga Dhirendra agak berbeda dari hari biasanya.Semua itu karena kehadiran Ferania yang ceria.Ceria bukan dalam arti yang menyenangkan, tetapi berisik.Wanita yang kemarin sudah resmi menjadi istri kedua Kilan itu duduk di meja makan dengan santainya. Dia masih mengenakan gaun tidur sutra yang sedikit terlalu mencolok untuk suasana sarapan formal keluarga DhirendraFerania berusaha keras mengisi keheningan dengan cerita-cerita tentang dirinya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan berlebihan tentang sejarah keluarga, dan sesekali memanggil Kilan dengan sebutan 'Sayang' dengan volume yang tidak perlu.Sedang Kilan duduk di seberang meja, terlihat seperti mayat hidup. Dia menghindari kontak mata dengan siapa pun dan hanya menyeruput kopinya dengan cepat.Kehadiran Ferania, yang secara resmi adalah istrinya yang baru, di meja sarapan ini terasa seperti duri di tenggorokannya, apalagi setelah malamnya ia habiskan sendirian di sayap timur.Sarai sendiri terl

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   128. Yang tersembunyi

    “Ckkk... sialan!” Maki KilanKilan turun ke lantai bawah dengan langkah tergesa-gesa. Ia tidak jadi mengambil kunci mobilnya. Ia malah beranjak menuju kamar Isla.Sayangnya, begitu pintu kamar Isla terkunci saat dia mencoba membukanya. Saat Kilan mencoba untuk mengetuk pun tetap tak ada jawaban“Isla! Sudah tidur?” Panggil KilanSemenit tak ada respon, Kilan meraih ponselnya dari saku dan menekan nomor Isla, tetapi sang Istri juga tidak mengangkat.“Angkat, Isla! Sial!” gerutunya sambil berjalan mondar-mandir di depan kamar IslaSementara di dalam kamar, Isla tidak bisa bergerak karena pelukan Kavian yang sangat erat. Sejak tadi, sang kakak ipar membisikkan kata-kata mesra di telinganya“kak.. lepas dulu, Kilan ada di depan” ucap IslaKavian tak mengendurkan pelukannya sedikit pun. Bibirnya menyentuh pucuk telinga Isla, senyumnya terdengar dalam bisikan rendah yang menggetarkan punggung Isla.“Memangnya kenapa kalau ada Kilan?” Tanyanya santaiIsla terkekeh pelan “Nggak takut ketahuan

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   127. Bukan suami yang baik (21+)

    Kilan menatap nanar kamar baru yang ia tempati malam ini. Kamar itu memang mewah, tetapi ukurannya hanya seperempat dari kamar utama yang ditinggalkannya. Furnitur yang dingin, tanpa sentuhan pribadi, terasa seperti sel penjara yang mahal.Ferania, di sisi lain, tampak sibuk mondar-mandir, mencoba mengatur koper-koper miliknya.“Kak Kilan kenapa malah diam di sana? bantu aku rapikan pakaian dong!” ucap Ferania merengek.“Rapikan sendiri! Tugas istri itu melayani suami, jadi sudah kewajibanmu menyiapkan semuanya” Seru Kilan ketusFerania mengganga “Kakak kok tega sama aku? Aku lagi hamil loh!” rengeknyaKilan tidak bergerak. Dia membuka sebotol whisky dan menyesapnya langsung dari botol.“Kak!”“Berisik! Aku sudah memberimu anak dan status, Ferania,” jawab Kilan dingin. “Jangan menuntut lebih dari itu. Urusan koper bukan masalahku. Panggil saja pelayan buat rapikan baran

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   126. Posisi yang sempurna

    Setelah kepergian mereka, kini ruang tamu itu hanya diisi oleh empat orang.Joseph, Sarai, Isla, dan Kavian.“Kamu yakin membiarkan Kilan memiliki istri lain?” Tanya Sarai, suaranya dipenuhi kekhawatiran dan ketidaksetujuan. Ia memeluk Isla, seolah meminta kepastian bahwa menantunya baik-baik saja. “Terlebih dia adik tirimu sendiri” sambung SaraiIsla melepaskan pelukan Sarai dengan lembut, pandangannya lurus ke depan, ke arah pintu yang baru saja dilewati Kilan dan Ferania.“Aku nggak punya pilihan, Mama,” jawab Isla, nadanya datar.“Jika Kilan menolak pernikahan, Papaku akan membawanya ke pengadilan dan media, membongkar aib Kilan dan Dhirendra. Kita nggak bisa membiarkan nama Dhirendra tercoreng di tengah merger besar yang sedang papa Joseph dan kak Kavian urus.”Isla menoleh ke Joseph lalu fokus pada Kavian“Solusi ini memang memalukan, tapi ini yang paling cepat dan paling sed

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status